Minggu, 09 Agustus 2020

Dari Rusunawa ke Rumah Tapak

Menceritakan mimpi memiliki rumah pertama bagi kami adalah semacam menelusuri jalan panjang di dalam kenangan. Kami (saya dan suami) berasal dari keluarga biasa di kabupaten pinggiran wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Menikah dan bekerja di kota Yogya, memaksa kami harus memiliki tempat tinggal di sana. Tidak memiliki rumah dan saudara di kota, maka mengontrak kamar/rumah adalah satu-satunya pilihan. 

Di kota, seperti mereka yang senasib, kami menelusuri gang demi gang dalam kota dan sekitarnya, berbekal pariwara yang kami dapat dari koran lokal atau yang diunggah di internet. Berapa lama sampai kami memperoleh tempat tinggal yang sesuai dengan keinginan dan budget kami? Cukup lama. Kata orang, mencari tempat tinggal seperti mencari jodoh. Bagi kami - yang sudah ketemu jodoh -bagaikan mencari sebelah kaos kaki di dalam tumpukan pakaian menggunung yang belum dilipat. 

Di kota Yogya dan wilayah sekitarnya, hunian sewa sangat bervariasi ukuran dan bentuknya, dari kamar indekos kecil dengan kamar mandi komunal sampai kamar indekos eksklusif yang besar dan lengkap dengan fasilitas, dari rumah petak dalam kampung sampai rumah mewah di kawasan perumahan, dari rumah susun sederhana sewa sampai apartemen-apartemen yang berdiri belakangan. Tentu saja, ketersediaan dana menjadi pertimbangan utama bagi kami yang ingin menabung untuk kelak memiliki rumah sendiri sementara suami saat itu bekerja sebagai karyawan rendah. Dengan keterbatasan dana tersebut, kami harus pandai-pandai memilih hunian. Kami pernah menyewa hunian yang murah dan yang agak mahal, sebelum mendapat informasi tentang rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Pada akhirnya kami memutuskan mencoba mendaftar sebagai penghuni rusunawa.

Tentu saja alasannya karena tarif sewa rusunawa sangat terjangkau dibandingkan di tempat lain dengan fasilitas yang sama, dan kami termasuk dalam golongan yang berhak mendaftar dilihat dari besaran pendapatan. Maka setelah mendaftar dan menunggu urutan dalam daftar tunggu serta melengkapi beberapa persyaratan administrasi, kami akhirnya resmi menjadi penghuni sebuah unit di lantai dua rusunawa Jongke. Rusunawa itu berlokasi di wilayah Sleman, salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Hunian lima lantai ini dibangun oleh Departemen PU pada 2010, terdiri dari empat tower/bangunan paralel twin blok dengan masing-masing memiliki 96 unit hunian sehingga total berjumlah 384 unit hunian dengan masing-masing hunian seluas 24 meter persegi. Kondisi setiap unit cukup nyaman, terdiri dari satu kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi, dapur dan balkon belakang yang bisa digunakan sebagai tempat menjemur pakaian. Sirkulasi udara setiap unit juga baik. Fasilitas umum juga cukup lengkap. Ada tempat parkir di lantai dasar setiap blok, halaman (ruang terbuka) yang luas, pojok bermain anak dan lingkungan dijaga oleh petugas selama 24 jam. Selain itu, lokasi rusunawa pun mudah diakses dan dekat dengan pusat kota Yogya meskipun secara administratif berada di wilayah Sleman. 

Kesan kumuh dalam gambaran-gambaran yang sering dijumpai tentang rusunawa di kota, tidak dijumpai di rusunawa ini. Petugas kebersihan rutin bekerja, air dalam tampungan selalu dikuras dan diganti, truk sampah berkala mengambil sampah. Selama kami tinggal di sana, petugas selalu mengingatkan para penghuni agar sama-sama menjaga dan tidak melakukan hal-hal yang melanggar aturan. Beragam orang, beragam sifat dan sikap, namun kesadaran pribadi yang baik akan turut membentuk lingkungan. 

Bagi kami, tinggal di rusunawa turut membantu mencapai mimpi kami untuk memiliki rumah sendiri. Bagaimana rusunawa berperan dalam perjalanan mencapai impian kami? Uang sewa rusunawa yang murah dapat menekan biaya sewa rumah yang mahal, sehingga kami dapat menambah tabungan selama beberapa tahun. Tentu saja dibarengi dengan menyesuaikan gaya hidup. Untuk mencapai impian, selain tekad yang kuat juga dibutuhkan usaha, keberanian mengambil keputusan dan adakalanya pengorbanan.

Seiring perjalanan waktu dan perkembangan pendapatan, mulailah kami melihat pariwara perumahan, tanah dan rumah-rumah dijual yang berlokasi di kota maupun di pinggiran. Kesimpulan dari tur perumahan kami adalah: kami tak mungkin menjangkau harga rumah tapak dalam kota, baik yang berlokasi di dalam gang ataupun perumahan. Maka kami menurunkan spesifikasi, kami mensurvey lokasi-lokasi pembangunan rumah bersubsidi yang tersebar di beberapa kabupaten/kapanewon di Daerah Istimewa Yogyakarta. Rata-rata harga rumah bersubsidi sangat terjangkau, dapat dibeli secara tunai maupun melalui kredit kepemilikan rumah (KPR). Perumahan-perumahan bersubsidi tersebut ada yang dibangun di lokasi strategis, ada yang membuka lahan di dalam kampung, meratakan dataran tinggi dan lain-lain, dengan akses jalan yang belum mulus. Berdasarkan survey yang kami lakukan, lokasi perumahan bersubsidi biasanya cukup mudah dijangkau, tidak terlalu masuk ke pelosok. Akses jalan yang belum mulus bukan hal yang perlu dirisaukan jika ingin membeli rumah bersubsidi, karena beberapa lama kemudian saat kami iseng-iseng kembali ke lokasi-lokasi yang pernah kami survey, telah banyak perubahan terjadi, termasuk perbaikan akses jalan dan lingkungan yang tumbuh lebih cepat dari yang kami perkirakan.

Cukup lama kami mencari dan menimbang-nimbang serta menyesuaikan ketersediaan dana, sebelum akhirnya memutuskan membeli sebuah kavling seluas 80 meter persegi yang terletak kurang lebih 20 kilometer ke arah Barat kota Yogya. Lokasi itu dikembangkan oleh pengembang perumahan swasta yang tak terlalu besar. Tentu kami juga telah mencari informasi tentang kredibilitas dan rekam jejak pengembang tersebut (sangat penting untuk mencari informasi terlebih dahulu sebab tak sedikit pengembang properti yang memiliki rekam jejak buruk dan merugikan konsumen). Pembangunan rumah kami, bangunan bertipe 45 dilakukan oleh pengembang dengan cepat dan lancar, sehingga kami pun dapat segera berpindah dari rusunawa yang kami tinggali selama hampir lima tahun. 

Impian dapat kita gantungkan setinggi langit, begitu pun dengan impian kami. Perjalanan kami memiliki rumah impian belum berakhir. Karena berbagai pertimbangan, kelahiran anak-anak, ruang untuk tumbuh kembang mereka dan faktor kenyamanan, kami pun berpikir untuk mengembangkan hunian. Membangun di lokasi rumah kami pada saat itu adalah tidak mungkin sebab lahan sangat terbatas. 

Kami menjual rumah itu dan membangunnya kembali di lokasi yang lain, di desa tumpah darah kami. Rumah tapak impian kami sudah berdiri dua tahun terakhir (tulisan ini ditulis pada 2020), memang belum sempurna sebab masih menunggu ketersediaan biaya untuk melaksanakan tahap finishing, tetapi sudah dapat dihuni. Terdiri dari tiga kamar tidur, ruang tamu, ruang tengah, dapur, garasi dan dua kamar mandi. Kami memiliki halaman luas berumput, ditanami bunga-bunga, pohon buah-buahan dan sayuran. Di sekelilingnya pohon-pohon kelapa tegak berdiri, diselingi pohon kakao dan rumpun-rumpun pisang. Khas pedesaan. Anak-anak leluasa berlarian dan bermain. 

Kami bahagia. Bagi kami, rumah impian bukanlah rumah bertingkat yang besar dan mewah. Ada kalimat yang mengatakan a house is not always a home, maka rumah impian bagi kami adalah yang ke dalamnya membuat kita benar-benar merasa pulang.. Kami mungkin tak akan sampai di titik ini jika saat itu mengambil keputusan lain, tidak menyesuaikan gaya hidup dan tidak tinggal di rusunawa. Sebab rusunawa yang kami tinggali cukup lama itu memang tak bisa dilepaskan dari perjalanan untuk memiliki rumah tapak impian. Pada suatu waktu di tahun-tahun yang telah lewat, rusunawa itu pun pernah menduduki posisi sebagai rumah impian (pertama) kami, paling nyaman dibandingkan semua hunian (indekos/kamar) yang pernah kami sewa sebelumnya.