Senin, 17 Agustus 2009

Perempuan Yang Bercerita Tentang Seseorang Yang Dipanggilnya D

How can I just let you walk away, just let you leave without a trace
When I stand here taking every breath with you
You're the only one who really knew me at all

How can you just walk away from me, when all I can do is watch you leave
Cos we've shared the laughter and the pain, and even shared the tears
You're the only one who really knew me at all

So take a look at me now, 'cos there's just an empty space
And there's nothing left here to remind me, just the memory of your face
Take a look at me now, 'cos there's just an empty space
And you coming back to me is against all odds and that's what I've got to face

I wish I could just make you turn around, turn around and see me cry
There's so much I need to say to you, so many reasons why
You're the only one who really knew me at all

So take a look at me now, 'cos there's just an empty space
And there's nothing left here to remind me, just the memory of your face
Take a look at me now, 'cos there's just an empty space
But to wait for you, well that's all I can do and that's what I've got to face
Take a good look at me now, 'cos I'll still be standing here
And you coming back to me is against all odds
That's the chance I've got to take

Just take a look at me now

(Phil Collins)



Perempuan itu bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D. Sudah satu jam aku duduk di atas pasir, di dekatnya, mendengarnya. Saat dia bercerita mendadak lautan seolah bisu. Angin diam. Ombak diam. Bagai melihat sebuah film bisu. Aku merasakan angin, merasakan jilatan ombak di kakiku yang telanjang. Tapi indera pendengarku tak bekerja selain menangkap suara perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D. Suaranya menyihirku. Suara itu terdiri dari nada-nada yang cenderung rendah. Seharusnya timbul tenggelam di antara suara deburan ombak di saat normal.

Perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D, kukenal beberapa saat yang lalu. Aku menyusuri pantai ini untuk mengenang kekasihku, lalu bertemu dengan perempuan itu. Ia sedang berusaha menyalakan pemantik ketika aku lewat di sampingnya. Ia tidak peduli denganku. Ia tidak memandangku. Bahkan matanya menembus tubuhku saat kusengaja berdiri di jurusan pandangnya. Akhirnya kudekati dia. Kuhalangi angin agar dia bisa menyalakan pemantik itu. Ia tidak berkata apa-apa, hanya matanya mengisyaratkan sesuatu semacam terima kasih. Ia membiarkan aku menjatuhkan tubuh di sampingnya.

“Sendirian?” Ah. Aku seharusnya menyapa dia dengan kata-kata yang lain. Tapi dia tersenyum. Dan tidak menjawab pertanyaan bodohku tadi. Bukankah memang sudah jelas dia sendirian?

“Harusnya tadi kau bertanya apa yang sedang ada dalam kepalaku.”

“Memangnya apa yang sedang ada dalam kepalamu?”

“Mau mendengar ceritaku?”

Aku mengisyaratkan tak keberatan. Kenapa tidak, aku juga sedang enggan mengingat kesedihan yang pernah menimpaku di sini. Lalu perempuan itu mulai bercerita. Cerita yang melompat-lompat . Cerita yang akan sulit dimengerti jika ditulis dalam sebuah cerita pendek. Cerita-ceritanya berupa mozaik yang terlepas satu sama lain. Aku menghubungkannya sendiri dengan kemampuanku melihat hal besar dari detail-detail yang kecil.

Perempuan itu menceritakan tentang seseorang yang dipanggilnya D. Perempuan itu tidak memberitahukan siapa seseorang yang dipanggilnya D itu dalam kaitan dengan kehidupan pribadinya. Tapi menilik dari kedalaman ia mengenal seseorang yang dipanggilnya D, aku menarik kesimpulan bahwa seseorang yang dipanggilnya D adalah sosok yang telah sangat ia kenal. Perempuan itu mengerti segala kebiasaan seseorang yang dipanggilnya D, mulai dari makanan dan minuman kegemarannya, buku yang dibacanya, serial yang tak pernah dilewatkannya, selera berbusananya, bahkan tahap-tahap saat ia tertarik untuk bercinta. Perempuan itu menuturkannya seperti seorang guru menyampaikan materi ajar yang sudah dikuasainya bertahun-tahun. Ia hanya jeda untuk mengisap rokok yang terselip di jarinya, atau menyalakannya lagi ketika angin membuatnya padam. Satu dua kepulan asap. Lalu mengalir lagi segala yang seolah sudah disiapkan dan dilatihnya untuk diceritakan padaku. Padahal kami baru saja bertemu.

Dari mozaik-mozaik yang tidak beralur itu aku menangkap kepedihan. Perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D itu kadang tertawa lepas saat sampai pada bagian-bagian lucu, tetapi pada saat yang bersamaan matanya terlihat berkaca-kaca. Aku melihat ada yang bertolak belakang antara mimik yang berusaha dimunculkannya, dengan ekspresi yang tersirat di kedalaman matanya. Ada yang bilang bahwa mata tak bisa menyimpan kebohongan.

Memang, kemudian ia jujur pada mozaik yang terakhir. Ia tengah dirundung kesedihan . Ia telah kehilangan seseorang yang dipanggilnya D, yang diceritakannya itu.

“Apa ia pergi dengan wanita lain?”

“Mungkin.”

“Atau ia membohongimu?”

Ia membuang rokok yang tinggal puntung. Meraba ke dalam tas kecilnya, mengeluarkan kotak rokok lalu menarik sebatang dari dalam sana. Beberapa detik kemudian suara pemantik terdengar berulang-ulang. Aku menghalangi angin dengan telapak tanganku agar pemantiknya menyala.

“Mungkin ia membohongiku. Eh, kau tidak merokok?”

Aku menggeleng. Aku menatapnya memberi isyarat bahwa aku ingin tahu kelanjutan jawabannya.

“Aku merasa dia membohongiku. Itu saja. Tak banyak yang bisa kukatakan.”

Angin terasa bertiup menerbangkan pasir ke wajahku. Tapi aku masih tidak mendengar suara angin ataupun suara laut dan orang-orang yang berkejaran di sana. Suara perempuan itu magis. Maka ketika ia terdiam sejurus lamanya setelah mengucapkan kalimat itu, kehidupan terasa mati di sekelilingku.


Perempuan yang sedang berhenti bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D kini menghembuskan asap rokok ke atas, yang segera tersapu angin pantai yang bertiup cukup kencang. Rokoknya berkali-kali padam sepanjang kami duduk di sana. Lalu seperti tadi, ia memandang kosong ke laut lepas. Kami sama-sama diam. Aku menunggu. Akhirnya suara itu memupus kesepian di sekelilingku.

“Apakah perhatianku membuatnya tidak nyaman? Aku selalu ingin memberi, tidak pernah memperhitungkan berapa banyak. Jika ia menginginkan sesuatu, aku selalu berusaha mendapatkannya untuk dia. Apakah aku bersalah? Mengapa ia dengan mudahnya melakukan itu, setelah kuberikan padanya hampir semua yang kumiliki dan semua yang bisa kuusahakan? Sampai detik aku bercerita padamu ini, aku masih tak sanggup membenci dia. Aku hanya bisa memilih untuk tidak mengenalnya lagi. Tidak sedikitpun. “

Perempuan itu memuntahkan semuanya. Itu adalah bentuk nyata dari bayangan kepedihan yang ditekan di balik sinar matanya. Ia tidak menangis. Tetapi aku melihat tangisan yang mahahebat di balik pancaran sinar matanya. Mungkin ia telah menangis berkali-kali sebelum ini. Ia hanya menghirup udara banyak-banyak untuk memenuhi paru-parunya. Aku tiba-tiba menggenggam tangannya. Perempuan itu tidak menepiskan genggamanku. Aku teringat kekasihku. Kekasihku hanyut di pantai ini hanya sesaat setelah kami memerankan sebuah kisah tentang laut dalam pementasan terakhir teater kami. Setelah itu teater kami bubar. Masing-masing berpencar menjelajah kehidupan nyata dengan membawa sebuah kenangan ganjil yang menyakitkan. Terlebih-lebih aku. Aku terkungkung dalam kesedihan yang tak mampu kuungkapkan. Kesedihan itu bergumpal makin masif menjajah tubuhku. Berkala, aku menghidupkan kekasihku dengan menyusuri pantai ini sendirian.

Aku mencium jemari perempuan yang duduk di sampingku. Terlarut dalam tangisan yang terperangkap di dalam matanya, aku seperti melihat diriku sendiri. Aku mendadak terisak. Air mataku turun. Tuhan, aku ingat belum pernah bisa menangis sejak kehilangan kekasihku.

“Hei, kau menangis?”

Aku menantang pandangan matanya. Ia bertanya dengan tatapan yang aneh.


*

D, siapapun kau, di manapun kau, aku hanya ingin menuliskan sesuatu setelah pertemuanku yang hanya sekali itu dengan seorang perempuan yang memanggilmu D.

Masa lalu. Ada orang-orang yang ketika diingatkan akan sesuatu yang telah terjadi dan terlipat di dalam waktu, mereka berkata; ah, itu masa lalu. Hei, bukankah seseorang tak akan pernah menjadi dirinya kini jika tidak melewati sesuatu bernama masa lalu itu? Tidak ada yang pernah terbuang percuma di dalam hidup, meskipun ada kejadian-kejadian yang membuatmu merasa membuang waktu. Kenangan. Itu adalah hal lain yang berbanding lurus dengan masa lalu. Kenangan akan membentuk dirimu menjadi manusia yang utuh. Mungkin kau memang akan merasa terperangkap di dalamnya. Mungkin kau pernah berpikir untuk melupakannya, bahkan mengingkarinya, menyangkalnya ketika teman-temanmu mengingatkanmu tentang kenangan itu. Mungkin kau mempunyai seribu satu macam alasan untuk menekannya dalam-dalam. Tetapi, D, kenangan tidak akan pernah mati. Apa yang tak abadi, ia akan abadi dalam kenangan, ia akan abadi bersama waktu. Saat segalanya mati di bumi ini, waktu tidak mati.

*

Setelah membuang kotak rokoknya yang telah kosong, perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D, menepiskan genggamannya, dan beranjak.

“Aku ingin pulang.”

Aku berdiri. Tepat di hadapannya. Aku menawarkan sebuah pelukan, karena aku sendiri merasa membutuhkan pelukan. Entah mengapa kenangan membuncah-buncah tentang kekasihku saat aku berdiri di hadapannya; seolah-olah kepedihannya mewakili apa yang menggumpal masif di dalam diriku. Ia menyambut pelukanku, dan berbisik.

“Suatu waktu, aku pernah berharap ia akan memelukku seperti ini, sekali saja untuk saat yang terakhir, agar aku bisa melepaskan himpitan yang menyesakkan dadaku. Tetapi tidak. Begitu saja. Maka aku meraba dalam gelap, aku berenang menggapai permukaan tanpa pedoman.”

Lalu aku dan perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D berpisah. Seperti pertemuan kami, laut dan semesta masih diam. Langit diam. Pasir diam. Angin diam. Perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D lebih dulu meninggalkan pantai. Aku melihat lambaian rambutnya untuk yang terakhir kali di tikungan, sedikit terhalang pokok cemara laut yang tumbuh sedang. Lalu aku pulang.

...masih terasing di 709, 13 Agustus 2009



Selasa, 11 Agustus 2009

Kota dan Kekasih

Aku selalu membutuhkan seseorang di setiap kota yang kukunjungi. Aku selalu merasa takut sendirian, kesepian dan tak dibutuhkan. Kota yang riuh terlihat seolah-olah sebagai binatang buas yang hendak merobek tubuhku dengan taring-taringnya yang tajam. Aku butuh pelindung. Aku butuh kekasih. Karenanya aku selalu memiliki seorang kekasih di setiap kota yang kukunjungi. Ada orang-orang yang bersedia menjadi kekasih hanya pada saat aku berada di kota itu. Mereka pun pasti memiliki kekasih lain di kota yang sama atau bahkan di kota lain tetapi aku tidak peduli. Di antaraku dan kekasihku di setiap kota telah terjalin pengertian yang cukup, bahwa kami adalah sepasang kekasih hanya jika aku berada di kota lelaki itu. Kami akan mengabaikan kekasih-kekasih lain pada saat itu dan membiarkan hati mengembara lepas dari tataran norma.

Maka hal itu pula yang membawaku mengenal An. Lelaki pendiam yang perfeksionis. Ibarat sungai, An adalah permukaan tenang namun menyimpan arus bawah yang deras. Arus bawah itu tak mampu kuhalang dengan bendungan yang selama ini aku siapkan di depan kekasih-kekasihku yang lain. Arus An terlampau kuat dan menyeretku ke palung yang berpusar-pusar ketika aku mencoba berenang melawannya. Maka aku terseret semakin dalam. Dan An adalah kekasih yang kutemukan di kotaku sendiri. Sesungguhnya ia kekasih yang kusembunyikan sebab di kotaku aku telah memiliki seorang kekasih lain yang kuperlihatkan kepada umum.

Suatu malam ketika matahari telah lama pulang, di pantai di belakang rumah, di kotaku, aku berpelukan dengan An memandang ke langit di atas laut lepas. Siapapun akan melihat kami sebagai sepasang kekasih yang mabuk, dan memiliki seluruh yang ada di muka bumi ini sebab kami tak peduli apapun yang bernyawa di sekitar.

“Waktu aku kecil, aku sering berbaring di halaman belakang menatap langit bersama kakekku. Kau tahu apa yang diajarkannya padaku?”

Aku menggeleng.

“Rasi.”

Aku memandang langit. Bintang-bintang bertebaran membentuk gugus-gugus. Aku tak bisa membaca rasi.

“Kau tarik garis antara bintang-bintang itu.” An menunjuk ke arah bintang-bintang yang dimaksud, tetapi terlalu banyak bintang yang tak bisa kubedakan. “Itu rasi layang-layang.”

“Oh.”

“Kau tak mengerti kan?” An tertawa kecil membaca ketakmengertianku. Pelukannya menguat.

“Nikmati saja bintangnya.”

Dan kami berpelukan dalam diam. Dalam desauan angin pantai malam hari. Aku tak pernah menyangka malam itu adalah malam terakhir di pantai bersama An.

*

Aku memang sering pergi ke kota-kota lain dan memiliki kekasih-kekasih yang lain. Di kota Y, aku memiliki kekasih pemain band kafe yang cukup digandrungi perempuan. Aku tahu kekasihnya bertebaran dimana-mana sebab ia tipe lelaki yang mudah mendapatkan perempuan untuk diajak berhubungan serius atau hanya sekedar berhubungan semalam saja.

“Kapanpun kau ke kota Y, hubungi aku. Buat kau, aku selalu ada.”

Dibuktikannya dengan hampir tak pernah menolak permintaanku jika aku berkunjung ke kotanya, dari mulai minta dijemput hingga dicarikan tempat menginap yang secure. Kadang ia bersedia membatalkan janji dengan seorang perempuan lain demi aku. Aku cukup senang dengan cara-cara dia memperlakukan aku. Aku sangat merasa aman dan terlindungi di kota Y. Sedangkan di kota K, kekasihku adalah seorang suami dan calon ayah dari janin yang dikandung istrinya. Sejak sebelum dia menikah,ia telah ada sebagai kekasihku di kota itu. Semula aku hendak berhenti menjadikannya kekasih sebab aku merasa sangat berdosa terhadap istrinya dan aku sendiri sebetulnya jijik terhadap perempuan yang berkasih-kasihan dengan suami orang. Tetapi ia menyampaikan keberatan. Ia mau aku tetap sebagai kekasihnya jika aku berkunjung ke kota K.

“Bisa kan kita bersembunyi di celah kesempatan?” tawarnya suatu hari ketika aku telah berniat meninggalkannya. Matanya adalah mata yang magis. Yang tidak pernah mampu kukatakan tidak pada sinar mata yang seperti itu. Maka hingga kini kami masih saling menganggap sebagai kekasih meskipun dengan frekuensi pertemuan yang hampir tak pernah. Kadang-kadang aku berkunjung ke kota K tetapi tidak lagi mengabarinya. Terpikir akan menggeser posisinya dengan kenalanku yang lain di kota K.

Di kota S, seorang lelaki ambisius menyediakan dirinya untukku. Ia tipe lelaki yang bisa melakukan apa saja untuk menyenangkan dan mengambil hati pasangannya, menggelapkan uang kantor pun dilakoninya. Aku geli sekaligus kasihan ketika ia menerima surat peringatan dari kantornya yang terakhir sebab memakai uang kantor tanpa alasan jelas. Kadang, pasak memang terpaksa lebih besar dari tiang, tetapi sesungguhnya aku bukan perempuan materialistis. Hanya saja jika seorang lelaki memberikan apa-apa untukku, kukira tak ada alasan untuk menolaknya. Lagipula orang tak bisa hidup hanya dengan berkasih-kasihan saja, semua akan kembali pada materi. Kekasih di kota S ini sepertinya benar jatuh cinta padaku. Tapi aku hanya membutuhkan perasaan dilindungi, dicintai dan dibutuhkan, aku menolak hubungan serius yang ditawarkannya. Aku belum ikhlas menyerahkan diriku dalam ikatan yang erat hanya pada satu kekasih. Aku terbiasa memiliki banyak kekasih dan banyak cinta. Aku ragu apakah aku akan merasa cukup hanya dengan memiliki semua itu dari satu orang.

Dan di kotaku sendiri, aku memiliki seorang kekasih yang kuumumkan kepada publik. Di kota ini, aku membutuhkan status sebagai kekasih seorang lelaki yang sering terlihat bersamaku kemana-mana. Aku tak ingin dikata-katai buruk oleh lingkungan sekitarku jika aku terlihat sangat sering bersamanya tetapi tak terjalin sesuatupun. Tentunya ia pun keberatan untuk terus bersamaku jika tak ada hubungan yang jelas. Keberadaan kami dalam satu kota menjadikan ia kekasih yang paling intens pertemuannya denganku. Ia sepertinya terlihat cukup dengan ini; kuakui keberadaannya sebagai kekasih dan kuperkenalkan kepada keluargaku. Sejujurnya, tentang cinta, aku cukup pusing dan tak mengerti. Banyak cinta yang diberikan padaku, tetapi aku tak yakin apakah aku pernah benar-benar jatuh cinta dalam hubungan-hubungan itu. Dengan kekasih di kotaku sendiri pun, aku tak yakin aku pernah jatuh cinta meskipun ia kekasihku yang kuakui di muka umum.

Semua itu sebelum aku mengenal An. An yang tak antusias, tak perhatian, tak peduli. An yang jarang bilang cinta tapi katanya mencintaiku dengan sungguh-sungguh. Perlahan tapi pasti, sikap An yang tak menganggap itu membuatku menyadari bahwa sesuatu sedang terjadi di dalam hatiku. Seperti perut bumi yang semula diam, kini bergolak memunculkan kepundan. Kepundan yang semakin lama membuat hawa semakin panas itu akhirnya meledak suatu ketika. Aku jatuh cinta pada An. Sebenar-benar orang jatuh cinta, sebenar-benar orang mabuk sesuatu yang belum pernah disentuhnya selama ini. Akibat yang tak terduga, aku mulai perlahan meninggalkan kekasih-kekasihku yang lain. Juga kekasih di kotaku sendiri. Mereka tentu saja bertanya-tanya, dan aku menjawab bahwa aku sedang jatuh cinta. Kekasih-kekasih di kota-kota lain cukup mengerti meskipun aku tahu mereka keberatan kehilangan aku. Sebaliknya, lahar panas dari kepundanku yang meledak itu seketika menyapu pohon-pohon besar ketika kekasih yang kuakui di depan umum mengetahui alasanku. Untung saja aku masih menyembunyikan An, sehingga tak perlu terjadi pertikaian. Tapi An, tanpa kumengerti, menarik diri. Perlahan memang, tapi aku sangat merasakannya.

“Mengapa?” tanyaku suatu hari. Ia tak memberikan alasannya. Berhari-hari aku mengejar untuk sebuah jawaban dari pertanyaan apakah dia tak lagi mencintaiku. An bilang, aku boleh percaya atau tidak, ia masih mencintaiku. Ia bahkan teramat sangat mencintaiku, tetapi ia memohon aku untuk meninggalkannya (aku sempat berpikir mungkin aku terlalu tak baik di mata An, hingga ia menghendaki itu). Aku berkata padanya bahwa apapun yang dia lakukan untuk membuat aku meninggalkannya, aku tak akan pernah meninggalkannya. Kecuali ia berkata bahwa ia tak lagi mencintaiku. Pada kondisi seperti itu tak mungkin aku terus menyakiti diri sendiri dengan memberikan cinta yang tak dibutuhkannya, bukan? Seperti menggarami lautan. Aku tak akan mempertahankan orang yang memang sudah tak mencintaiku, karena semua akan percuma, betapapun aku sangat mencintai dia. Dan entah sebab An membaca sinyal atau memang menuruti kata hatinya, suatu hari ia mengatakannya padaku tanpa bertatap muka (teramat hancur aku! Apakah ini adalah balasan akibat aku terlalu sering mempermainkan orang-orang yang jatuh cinta padaku?).

Jgn hub aku lg. Ak g cinta lg.

Itu adalah pukulan terhebat. Aku sampai pada sebuah titik dimana ketakutanku berkumpul, rasa gamang menapaki hidup semakin tajam tanpa yang kucintai berada dalam genggamanku. Aku seperti mencapai sebuah puncak lalu kembali ke awal lagi. Aku dilempar ke atas dengan kekuatan penuh. Lalu jatuh dengan keras. Teramat aku mencintai An, hingga detik ini aku masih tak tahu harus berbuat apa.Aku telah meninggalkan semua kekasihku, demi cinta yang kurasakan, yang akhirnya meninggalkan aku. Maka di sinilah aku sekarang, di sebuah kota lain yang hiruk pikuk, yang lebih buas dari binatang buas manapun. Jauh dari siapapun. Sendirian. Setiap malam menatap langit dari jendela di lantai dua, berharap bisa membaca sebuah rasi bintang, lalu tidur dan bermimpi kembali ke pantai malam itu, dan tak pernah bangun lagi.

Room 709, 21:19, 4 Agustus 2009