Aku selalu membutuhkan seseorang di setiap kota yang kukunjungi. Aku selalu merasa takut sendirian, kesepian dan tak dibutuhkan. Kota yang riuh terlihat seolah-olah sebagai binatang buas yang hendak merobek tubuhku dengan taring-taringnya yang tajam. Aku butuh pelindung. Aku butuh kekasih. Karenanya aku selalu memiliki seorang kekasih di setiap kota yang kukunjungi. Ada orang-orang yang bersedia menjadi kekasih hanya pada saat aku berada di kota itu. Mereka pun pasti memiliki kekasih lain di kota yang sama atau bahkan di kota lain tetapi aku tidak peduli. Di antaraku dan kekasihku di setiap kota telah terjalin pengertian yang cukup, bahwa kami adalah sepasang kekasih hanya jika aku berada di kota lelaki itu. Kami akan mengabaikan kekasih-kekasih lain pada saat itu dan membiarkan hati mengembara lepas dari tataran norma.
Maka hal itu pula yang membawaku mengenal An. Lelaki pendiam yang perfeksionis. Ibarat sungai, An adalah permukaan tenang namun menyimpan arus bawah yang deras. Arus bawah itu tak mampu kuhalang dengan bendungan yang selama ini aku siapkan di depan kekasih-kekasihku yang lain. Arus An terlampau kuat dan menyeretku ke palung yang berpusar-pusar ketika aku mencoba berenang melawannya. Maka aku terseret semakin dalam. Dan An adalah kekasih yang kutemukan di kotaku sendiri. Sesungguhnya ia kekasih yang kusembunyikan sebab di kotaku aku telah memiliki seorang kekasih lain yang kuperlihatkan kepada umum.
Suatu malam ketika matahari telah lama pulang, di pantai di belakang rumah, di kotaku, aku berpelukan dengan An memandang ke langit di atas laut lepas. Siapapun akan melihat kami sebagai sepasang kekasih yang mabuk, dan memiliki seluruh yang ada di muka bumi ini sebab kami tak peduli apapun yang bernyawa di sekitar.
“Waktu aku kecil, aku sering berbaring di halaman belakang menatap langit bersama kakekku. Kau tahu apa yang diajarkannya padaku?”
Aku menggeleng.
“Rasi.”
Aku memandang langit. Bintang-bintang bertebaran membentuk gugus-gugus. Aku tak bisa membaca rasi.
“Kau tarik garis antara bintang-bintang itu.” An menunjuk ke arah bintang-bintang yang dimaksud, tetapi terlalu banyak bintang yang tak bisa kubedakan. “Itu rasi layang-layang.”
“Oh.”
“Kau tak mengerti kan?” An tertawa kecil membaca ketakmengertianku. Pelukannya menguat.
“Nikmati saja bintangnya.”
Dan kami berpelukan dalam diam. Dalam desauan angin pantai malam hari. Aku tak pernah menyangka malam itu adalah malam terakhir di pantai bersama An.
Aku memang sering pergi ke kota-kota lain dan memiliki kekasih-kekasih yang lain. Di kota Y, aku memiliki kekasih pemain band kafe yang cukup digandrungi perempuan. Aku tahu kekasihnya bertebaran dimana-mana sebab ia tipe lelaki yang mudah mendapatkan perempuan untuk diajak berhubungan serius atau hanya sekedar berhubungan semalam saja.
“Kapanpun kau ke kota Y, hubungi aku. Buat kau, aku selalu ada.”
Dibuktikannya dengan hampir tak pernah menolak permintaanku jika aku berkunjung ke kotanya, dari mulai minta dijemput hingga dicarikan tempat menginap yang secure. Kadang ia bersedia membatalkan janji dengan seorang perempuan lain demi aku. Aku cukup senang dengan cara-cara dia memperlakukan aku. Aku sangat merasa aman dan terlindungi di kota Y. Sedangkan di kota K, kekasihku adalah seorang suami dan calon ayah dari janin yang dikandung istrinya. Sejak sebelum dia menikah,ia telah ada sebagai kekasihku di kota itu. Semula aku hendak berhenti menjadikannya kekasih sebab aku merasa sangat berdosa terhadap istrinya dan aku sendiri sebetulnya jijik terhadap perempuan yang berkasih-kasihan dengan suami orang. Tetapi ia menyampaikan keberatan. Ia mau aku tetap sebagai kekasihnya jika aku berkunjung ke kota K.
“Bisa kan kita bersembunyi di celah kesempatan?” tawarnya suatu hari ketika aku telah berniat meninggalkannya. Matanya adalah mata yang magis. Yang tidak pernah mampu kukatakan tidak pada sinar mata yang seperti itu. Maka hingga kini kami masih saling menganggap sebagai kekasih meskipun dengan frekuensi pertemuan yang hampir tak pernah. Kadang-kadang aku berkunjung ke kota K tetapi tidak lagi mengabarinya. Terpikir akan menggeser posisinya dengan kenalanku yang lain di kota K.
Di kota S, seorang lelaki ambisius menyediakan dirinya untukku. Ia tipe lelaki yang bisa melakukan apa saja untuk menyenangkan dan mengambil hati pasangannya, menggelapkan uang kantor pun dilakoninya. Aku geli sekaligus kasihan ketika ia menerima surat peringatan dari kantornya yang terakhir sebab memakai uang kantor tanpa alasan jelas. Kadang, pasak memang terpaksa lebih besar dari tiang, tetapi sesungguhnya aku bukan perempuan materialistis. Hanya saja jika seorang lelaki memberikan apa-apa untukku, kukira tak ada alasan untuk menolaknya. Lagipula orang tak bisa hidup hanya dengan berkasih-kasihan saja, semua akan kembali pada materi. Kekasih di kota S ini sepertinya benar jatuh cinta padaku. Tapi aku hanya membutuhkan perasaan dilindungi, dicintai dan dibutuhkan, aku menolak hubungan serius yang ditawarkannya. Aku belum ikhlas menyerahkan diriku dalam ikatan yang erat hanya pada satu kekasih. Aku terbiasa memiliki banyak kekasih dan banyak cinta. Aku ragu apakah aku akan merasa cukup hanya dengan memiliki semua itu dari satu orang.
Dan di kotaku sendiri, aku memiliki seorang kekasih yang kuumumkan kepada publik. Di kota ini, aku membutuhkan status sebagai kekasih seorang lelaki yang sering terlihat bersamaku kemana-mana. Aku tak ingin dikata-katai buruk oleh lingkungan sekitarku jika aku terlihat sangat sering bersamanya tetapi tak terjalin sesuatupun. Tentunya ia pun keberatan untuk terus bersamaku jika tak ada hubungan yang jelas. Keberadaan kami dalam satu kota menjadikan ia kekasih yang paling intens pertemuannya denganku. Ia sepertinya terlihat cukup dengan ini; kuakui keberadaannya sebagai kekasih dan kuperkenalkan kepada keluargaku. Sejujurnya, tentang cinta, aku cukup pusing dan tak mengerti. Banyak cinta yang diberikan padaku, tetapi aku tak yakin apakah aku pernah benar-benar jatuh cinta dalam hubungan-hubungan itu. Dengan kekasih di kotaku sendiri pun, aku tak yakin aku pernah jatuh cinta meskipun ia kekasihku yang kuakui di muka umum.
Semua itu sebelum aku mengenal An. An yang tak antusias, tak perhatian, tak peduli. An yang jarang bilang cinta tapi katanya mencintaiku dengan sungguh-sungguh. Perlahan tapi pasti, sikap An yang tak menganggap itu membuatku menyadari bahwa sesuatu sedang terjadi di dalam hatiku. Seperti perut bumi yang semula diam, kini bergolak memunculkan kepundan. Kepundan yang semakin lama membuat hawa semakin panas itu akhirnya meledak suatu ketika. Aku jatuh cinta pada An. Sebenar-benar orang jatuh cinta, sebenar-benar orang mabuk sesuatu yang belum pernah disentuhnya selama ini. Akibat yang tak terduga, aku mulai perlahan meninggalkan kekasih-kekasihku yang lain. Juga kekasih di kotaku sendiri. Mereka tentu saja bertanya-tanya, dan aku menjawab bahwa aku sedang jatuh cinta. Kekasih-kekasih di kota-kota lain cukup mengerti meskipun aku tahu mereka keberatan kehilangan aku. Sebaliknya, lahar panas dari kepundanku yang meledak itu seketika menyapu pohon-pohon besar ketika kekasih yang kuakui di depan umum mengetahui alasanku. Untung saja aku masih menyembunyikan An, sehingga tak perlu terjadi pertikaian. Tapi An, tanpa kumengerti, menarik diri. Perlahan memang, tapi aku sangat merasakannya.
“Mengapa?” tanyaku suatu hari. Ia tak memberikan alasannya. Berhari-hari aku mengejar untuk sebuah jawaban dari pertanyaan apakah dia tak lagi mencintaiku. An bilang, aku boleh percaya atau tidak, ia masih mencintaiku. Ia bahkan teramat sangat mencintaiku, tetapi ia memohon aku untuk meninggalkannya (aku sempat berpikir mungkin aku terlalu tak baik di mata An, hingga ia menghendaki itu). Aku berkata padanya bahwa apapun yang dia lakukan untuk membuat aku meninggalkannya, aku tak akan pernah meninggalkannya. Kecuali ia berkata bahwa ia tak lagi mencintaiku. Pada kondisi seperti itu tak mungkin aku terus menyakiti diri sendiri dengan memberikan cinta yang tak dibutuhkannya, bukan? Seperti menggarami lautan. Aku tak akan mempertahankan orang yang memang sudah tak mencintaiku, karena semua akan percuma, betapapun aku sangat mencintai dia. Dan entah sebab An membaca sinyal atau memang menuruti kata hatinya, suatu hari ia mengatakannya padaku tanpa bertatap muka (teramat hancur aku! Apakah ini adalah balasan akibat aku terlalu sering mempermainkan orang-orang yang jatuh cinta padaku?).
Jgn hub aku lg. Ak g cinta lg.
Itu adalah pukulan terhebat. Aku sampai pada sebuah titik dimana ketakutanku berkumpul, rasa gamang menapaki hidup semakin tajam tanpa yang kucintai berada dalam genggamanku. Aku seperti mencapai sebuah puncak lalu kembali ke awal lagi. Aku dilempar ke atas dengan kekuatan penuh. Lalu jatuh dengan keras. Teramat aku mencintai An, hingga detik ini aku masih tak tahu harus berbuat apa.Aku telah meninggalkan semua kekasihku, demi cinta yang kurasakan, yang akhirnya meninggalkan aku. Maka di sinilah aku sekarang, di sebuah kota lain yang hiruk pikuk, yang lebih buas dari binatang buas manapun. Jauh dari siapapun. Sendirian. Setiap malam menatap langit dari jendela di lantai dua, berharap bisa membaca sebuah rasi bintang, lalu tidur dan bermimpi kembali ke pantai malam itu, dan tak pernah bangun lagi.
Maka hal itu pula yang membawaku mengenal An. Lelaki pendiam yang perfeksionis. Ibarat sungai, An adalah permukaan tenang namun menyimpan arus bawah yang deras. Arus bawah itu tak mampu kuhalang dengan bendungan yang selama ini aku siapkan di depan kekasih-kekasihku yang lain. Arus An terlampau kuat dan menyeretku ke palung yang berpusar-pusar ketika aku mencoba berenang melawannya. Maka aku terseret semakin dalam. Dan An adalah kekasih yang kutemukan di kotaku sendiri. Sesungguhnya ia kekasih yang kusembunyikan sebab di kotaku aku telah memiliki seorang kekasih lain yang kuperlihatkan kepada umum.
Suatu malam ketika matahari telah lama pulang, di pantai di belakang rumah, di kotaku, aku berpelukan dengan An memandang ke langit di atas laut lepas. Siapapun akan melihat kami sebagai sepasang kekasih yang mabuk, dan memiliki seluruh yang ada di muka bumi ini sebab kami tak peduli apapun yang bernyawa di sekitar.
“Waktu aku kecil, aku sering berbaring di halaman belakang menatap langit bersama kakekku. Kau tahu apa yang diajarkannya padaku?”
Aku menggeleng.
“Rasi.”
Aku memandang langit. Bintang-bintang bertebaran membentuk gugus-gugus. Aku tak bisa membaca rasi.
“Kau tarik garis antara bintang-bintang itu.” An menunjuk ke arah bintang-bintang yang dimaksud, tetapi terlalu banyak bintang yang tak bisa kubedakan. “Itu rasi layang-layang.”
“Oh.”
“Kau tak mengerti kan?” An tertawa kecil membaca ketakmengertianku. Pelukannya menguat.
“Nikmati saja bintangnya.”
Dan kami berpelukan dalam diam. Dalam desauan angin pantai malam hari. Aku tak pernah menyangka malam itu adalah malam terakhir di pantai bersama An.
*
Aku memang sering pergi ke kota-kota lain dan memiliki kekasih-kekasih yang lain. Di kota Y, aku memiliki kekasih pemain band kafe yang cukup digandrungi perempuan. Aku tahu kekasihnya bertebaran dimana-mana sebab ia tipe lelaki yang mudah mendapatkan perempuan untuk diajak berhubungan serius atau hanya sekedar berhubungan semalam saja.
“Kapanpun kau ke kota Y, hubungi aku. Buat kau, aku selalu ada.”
Dibuktikannya dengan hampir tak pernah menolak permintaanku jika aku berkunjung ke kotanya, dari mulai minta dijemput hingga dicarikan tempat menginap yang secure. Kadang ia bersedia membatalkan janji dengan seorang perempuan lain demi aku. Aku cukup senang dengan cara-cara dia memperlakukan aku. Aku sangat merasa aman dan terlindungi di kota Y. Sedangkan di kota K, kekasihku adalah seorang suami dan calon ayah dari janin yang dikandung istrinya. Sejak sebelum dia menikah,ia telah ada sebagai kekasihku di kota itu. Semula aku hendak berhenti menjadikannya kekasih sebab aku merasa sangat berdosa terhadap istrinya dan aku sendiri sebetulnya jijik terhadap perempuan yang berkasih-kasihan dengan suami orang. Tetapi ia menyampaikan keberatan. Ia mau aku tetap sebagai kekasihnya jika aku berkunjung ke kota K.
“Bisa kan kita bersembunyi di celah kesempatan?” tawarnya suatu hari ketika aku telah berniat meninggalkannya. Matanya adalah mata yang magis. Yang tidak pernah mampu kukatakan tidak pada sinar mata yang seperti itu. Maka hingga kini kami masih saling menganggap sebagai kekasih meskipun dengan frekuensi pertemuan yang hampir tak pernah. Kadang-kadang aku berkunjung ke kota K tetapi tidak lagi mengabarinya. Terpikir akan menggeser posisinya dengan kenalanku yang lain di kota K.
Di kota S, seorang lelaki ambisius menyediakan dirinya untukku. Ia tipe lelaki yang bisa melakukan apa saja untuk menyenangkan dan mengambil hati pasangannya, menggelapkan uang kantor pun dilakoninya. Aku geli sekaligus kasihan ketika ia menerima surat peringatan dari kantornya yang terakhir sebab memakai uang kantor tanpa alasan jelas. Kadang, pasak memang terpaksa lebih besar dari tiang, tetapi sesungguhnya aku bukan perempuan materialistis. Hanya saja jika seorang lelaki memberikan apa-apa untukku, kukira tak ada alasan untuk menolaknya. Lagipula orang tak bisa hidup hanya dengan berkasih-kasihan saja, semua akan kembali pada materi. Kekasih di kota S ini sepertinya benar jatuh cinta padaku. Tapi aku hanya membutuhkan perasaan dilindungi, dicintai dan dibutuhkan, aku menolak hubungan serius yang ditawarkannya. Aku belum ikhlas menyerahkan diriku dalam ikatan yang erat hanya pada satu kekasih. Aku terbiasa memiliki banyak kekasih dan banyak cinta. Aku ragu apakah aku akan merasa cukup hanya dengan memiliki semua itu dari satu orang.
Dan di kotaku sendiri, aku memiliki seorang kekasih yang kuumumkan kepada publik. Di kota ini, aku membutuhkan status sebagai kekasih seorang lelaki yang sering terlihat bersamaku kemana-mana. Aku tak ingin dikata-katai buruk oleh lingkungan sekitarku jika aku terlihat sangat sering bersamanya tetapi tak terjalin sesuatupun. Tentunya ia pun keberatan untuk terus bersamaku jika tak ada hubungan yang jelas. Keberadaan kami dalam satu kota menjadikan ia kekasih yang paling intens pertemuannya denganku. Ia sepertinya terlihat cukup dengan ini; kuakui keberadaannya sebagai kekasih dan kuperkenalkan kepada keluargaku. Sejujurnya, tentang cinta, aku cukup pusing dan tak mengerti. Banyak cinta yang diberikan padaku, tetapi aku tak yakin apakah aku pernah benar-benar jatuh cinta dalam hubungan-hubungan itu. Dengan kekasih di kotaku sendiri pun, aku tak yakin aku pernah jatuh cinta meskipun ia kekasihku yang kuakui di muka umum.
Semua itu sebelum aku mengenal An. An yang tak antusias, tak perhatian, tak peduli. An yang jarang bilang cinta tapi katanya mencintaiku dengan sungguh-sungguh. Perlahan tapi pasti, sikap An yang tak menganggap itu membuatku menyadari bahwa sesuatu sedang terjadi di dalam hatiku. Seperti perut bumi yang semula diam, kini bergolak memunculkan kepundan. Kepundan yang semakin lama membuat hawa semakin panas itu akhirnya meledak suatu ketika. Aku jatuh cinta pada An. Sebenar-benar orang jatuh cinta, sebenar-benar orang mabuk sesuatu yang belum pernah disentuhnya selama ini. Akibat yang tak terduga, aku mulai perlahan meninggalkan kekasih-kekasihku yang lain. Juga kekasih di kotaku sendiri. Mereka tentu saja bertanya-tanya, dan aku menjawab bahwa aku sedang jatuh cinta. Kekasih-kekasih di kota-kota lain cukup mengerti meskipun aku tahu mereka keberatan kehilangan aku. Sebaliknya, lahar panas dari kepundanku yang meledak itu seketika menyapu pohon-pohon besar ketika kekasih yang kuakui di depan umum mengetahui alasanku. Untung saja aku masih menyembunyikan An, sehingga tak perlu terjadi pertikaian. Tapi An, tanpa kumengerti, menarik diri. Perlahan memang, tapi aku sangat merasakannya.
“Mengapa?” tanyaku suatu hari. Ia tak memberikan alasannya. Berhari-hari aku mengejar untuk sebuah jawaban dari pertanyaan apakah dia tak lagi mencintaiku. An bilang, aku boleh percaya atau tidak, ia masih mencintaiku. Ia bahkan teramat sangat mencintaiku, tetapi ia memohon aku untuk meninggalkannya (aku sempat berpikir mungkin aku terlalu tak baik di mata An, hingga ia menghendaki itu). Aku berkata padanya bahwa apapun yang dia lakukan untuk membuat aku meninggalkannya, aku tak akan pernah meninggalkannya. Kecuali ia berkata bahwa ia tak lagi mencintaiku. Pada kondisi seperti itu tak mungkin aku terus menyakiti diri sendiri dengan memberikan cinta yang tak dibutuhkannya, bukan? Seperti menggarami lautan. Aku tak akan mempertahankan orang yang memang sudah tak mencintaiku, karena semua akan percuma, betapapun aku sangat mencintai dia. Dan entah sebab An membaca sinyal atau memang menuruti kata hatinya, suatu hari ia mengatakannya padaku tanpa bertatap muka (teramat hancur aku! Apakah ini adalah balasan akibat aku terlalu sering mempermainkan orang-orang yang jatuh cinta padaku?).
Jgn hub aku lg. Ak g cinta lg.
Itu adalah pukulan terhebat. Aku sampai pada sebuah titik dimana ketakutanku berkumpul, rasa gamang menapaki hidup semakin tajam tanpa yang kucintai berada dalam genggamanku. Aku seperti mencapai sebuah puncak lalu kembali ke awal lagi. Aku dilempar ke atas dengan kekuatan penuh. Lalu jatuh dengan keras. Teramat aku mencintai An, hingga detik ini aku masih tak tahu harus berbuat apa.Aku telah meninggalkan semua kekasihku, demi cinta yang kurasakan, yang akhirnya meninggalkan aku. Maka di sinilah aku sekarang, di sebuah kota lain yang hiruk pikuk, yang lebih buas dari binatang buas manapun. Jauh dari siapapun. Sendirian. Setiap malam menatap langit dari jendela di lantai dua, berharap bisa membaca sebuah rasi bintang, lalu tidur dan bermimpi kembali ke pantai malam itu, dan tak pernah bangun lagi.
Room 709, 21:19, 4 Agustus 2009
1 komentar:
kisah yang tak ingin kubaca...namun ternyata mata ini merunut satusatu
atas sebuah kisah yang telah terlewati, menjadi bagianku pula..
Posting Komentar