Rabu, 30 September 2009

Perempuan Yang Bercerita Tentang Seseorang Yang Dipanggilnya D (3)

It's the first thing you see as you open your eyes. The last thing you say as your saying goodbye. Something inside you is crying and driving you on…(Something Inside)


Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat di depan mata kepalaku sendiri , cinta dengan hebat telah mengubah kehidupan seseorang. Perubahan itu bukanlah terjadi semata pada apa yang dapat dilihat oleh indera, terkadang perubahan yang terjadi malah sama sekali tak dapat diindera oleh orang lain. Dan bersamaan dengan itu, untuk pertama kalinya pula dalam hidupku, aku menghabiskan malam dengan seorang perempuan. Bukan, bukan, jangan berpikiran negatif. Aku dan dia tidak melakukan apa-apa pada malam itu. Dan tak perlu bertanya siapa perempuan yang kumaksud. Aku telah dua kali bercerita tentangnya. Perempuan yang sama telah merebut sebuah sisi dari hatiku untuk peduli, untuk menaruh perhatian pada apa yang dilakukannya hari demi hari.

Memang, kami menjadi dekat sejak pertemuan kami yang kedua. Perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D itu masih tetap bercerita tentang orang yang sama dalam berbagai kesempatan. Pun pada malam yang panjang itu, ketika ia berbaring meringkuk di sofa warnet berbagi dengan dudukku, pada pukul setengah tiga pagi. Ia berkisah dalam gumam. Ia berkisah tentang warnet pada awalnya. Tetapi dapat ditebak kemana kisahnya akan berujung. D. Yang seolah melekat di otak dan tak dapat dia lepaskan. Aku hampir-hampir tak mampu menahan kesabaranku untuk bertanya siapa sebenarnya seorang yang dipanggilnya D itu. Seberapa hebatnyakah dia, seberapa sempurna, sampai seorang perempuan harus memilih jalan seperti yang ia tempuh. Tapi aku menahan diri tak bertanya sampai ia selesai berkisah. Dan ia tertidur. Lalu dalam igauan yang parah pada pukul setengah lima subuh, aku mendapatkannya. Aku mendapatkan sebuah nama yang lalu kucatat dalam ingatanku.

Pukul setengah tiga dinihari itu kami memutuskan menghabiskan sisa malam di warnet. Ia telah kusarankan pulang ke rumah kostnya, tetapi ditolaknya dengan berbagai alasan. Maka di sanalah kami berakhir hingga matahari mulai menampakkan diri, menuntaskan satu paket akses internet selama lima jam. Sebelumnya, kami menjelajah kota sejak lepas isya. Bermula dari sebuah balasan yang kukirim atas smsnya yang bertanya apa rencanaku malam itu.

Tak ad ide mw kmn. Tp ak mw kluar mlm ni. Bgadang x.

Ajak ak. How bout ke alun2 kota?

Utara or selatan?

Both. Pick me up.

Aku menjemputnya pada pukul tujuh malam. Ia membiarkan rambutnya tergerai. Basah. Tentunya habis mandi. Malam itu dia mengenakan t-shirt hitam yang makin membentuk siluet kurus tubuhnya. Wajahnya hampir selalu tampak pucat. Ia jarang berbedak. Ketika aku tiba, ia sudah berdiri di muka teras rumah kosnya. Bergegas menyambar jaket. Lalu sesaat kemudian kami sudah berkendara di jalan raya. Malam itu terang meskipun bulan hanya separuh. Ia mengajakku makan di warung lesehan yang terkenal dengan sambal mentahnya yang enak. Ia makan seperti orang yang benar-benar kelaparan.

“Aku sering lupa makan. Jadi sekalinya makan biasanya langsung kemaruk.” Ia tertawa. Aku tersenyum dan bilang aku suka melihatnya makan seperti itu. Sesungguhnya aku suka karena saat itu aku melihatnya tertawa tanpa beban. Lepas makan, aku mengarahkan sepeda motor ke alun-alun utara kota. Musim liburan begini, alun-alun utara yang pada hari biasa saja sudah selalu ramai semakin terlihat sesak malam itu. Di beberapa sudut terlihat orang berkumpul. Melihat baju-baju yang dijual pedagang di satu pojok, atau melihat penjual kembang api dan mainan-mainan berdemonstrasi di sudut yang lain. Ada pertunjukan kesenian rakyat malam itu, di sebuah kerumunan yang lain. Tanpa bermusyawarah, kami langsung tahu tujuan kami. Perempuan seperti dia, sedikit banyak aku telah mengenalnya, lebih menyukai kesenian rakyat ketimbang berburu baju-baju yang dijual di sana. (Aku mengetahuinya sebab ia sering sekali mengungkapkannya keinginannya untuk berkunjung ke bangunan-bangunan semacam keraton atau pemandian putri dan selir-selir. Suatu hari aku akan memuaskan keinginannya itu.)

Ia duduk diam di boncengan sepeda motorku. Pukul sepuluh malam kesenian itu usai dan kami masih tetap di sana. Rupanya para penjual kembang api telah kelarisan. Malam itu kami melihat puluhan kembang api dibakar dan berpijaran di angkasa, di atas alun-alun utara kota. Ada binar kesenangan seperti di mata anak-anak saat aku mendapati ia menatap ke angkasa yang berpendaran. Entah siapa yang memulai, kami bergenggaman tangan di bawah pijaran kembang-kembang api itu. Seperti sebuah adegan dalam drama Korea. Orang masih ramai di sana, membakar kembang-kembang api yang lain saat pada sebelas malam ia mengajakku berpindah. Sepasang muda-mudi berpelukan dan berciuman tepat di depan mata membuatnya tak nyaman. Ia bergumam bahwa di kota ini kebebasan sudah mencapai titik yang harus diperhatikan. Tak mau membuatnya lebih jengah, aku membawanya meninggalkan alun-alun utara.

Alun-alun Selatan kota. Ternyata tengah malam di sana lebih ramai. Setelah memarkir sepeda motor, ia menyeretku ke sebuah sudut dan kami duduk bersisian.

“Siapa yang kau harapkan ada bersamamu saat ini?” Ia bertanya. Aku tiba-tiba teringat kekasihku. Lalu aku menyebutkan namanya. Ia mengangguk-angguk.

“Kau tak menanyaiku?” . Ia bertanya lagi. Tangannya memilin-milin bunga rumput yang basah oleh embun yang mulai turun.

“Aku tak mau bertanya untuk mendapatkan jawaban yang sudah kuketahui.”

Sejurus ia terdiam. Matanya memandang orang-orang, sepasang kekasih, ayah dan anak, siapa saja yang melintas di depan kami mengayuh sepeda tandem sewaan di dalam alun-alun sambil tertawa-tawa. Ternyata diamnya berlanjut. Ia malah terlihat melamun. Akhirnya aku memecahkannya, kebisuan itu.

“Mengapa kau kesulitan melupakannya?”

“Aku sendiri heran. Aku berpikir aku sudah melupakannya. Kau ingat kan kejadian yang kuceritakan itu?”. Ya. Aku mengingatnya. Ia meneleponku hanya untuk menceritakan bahwa ia bermimpi tentang seorang yang dipanggilnya D dan dalam mimpi itu ada hal yang membuatnya sedih kemudian menangis. Ia tiba-tiba terbangun ketika merasa wajahnya basah. Ia bermimpi, ia menangis dalam mimpi itu, dan yang terjadi pada saat itu dalam tidurnya, air matanya benar-benar mengalir. Ia terjaga dengan heran sebab tak pernah ia mengalami hal itu sebelumnya. Sepanjang hari itu pun ia tak memikirkan apa-apa tentang seorang dalam mimpinya, dan telah beberapa minggu ia sanggup tak menangis. Ia menekannya, ia selalu mengalihkannya pada hal lain jika kesedihan itu mendatanginya. Tetapi air matanya mencari jalan sendiri. Dalam tidur lelap dan bermimpi, air matanya membebaskan diri.

Cinta banyak membawa keajaiban. Permusuhan dapat dilerai, orang dapat berubah menjadi lebih baik atau malah sebaliknya, dunia dapat berubah, arah angin dapat dibelokkan. Ajaib sekali ada hal-hal terjadi di luar jangkauan pikiran kita. Ajaib sekali cintaku pada kekasihku telah membawaku sejauh ini, menemukan sosok perempuan kalut di pantai itu, mendengarnya bercerita juga tentang cinta, melihatnya demikian bahagia namun juga demikian tersiksa mengalami cinta, aku kemudian memahami bahwa aku pun berubah menjadi lebih kuat dan tegar karena cinta, cinta pada dia yang lebih dulu meninggalkanku dari dunia.

Kami bergeser ke tengah alun-alun Selatan ketika jam telah menunjuk pukul satu malam. Masih banyak orang di sana, mencoba-coba kemampuan melintas tepat di antara dua pohon beringin besar dengan mata tertutup. Ada kepercayaan setempat bahwa hanya orang terpilih yang mampu melintasinya tanpa berbelok arah. Kami berdiri saja. Melihat sekian banyak orang melangkah ke berbagai arah yang menurut mereka lurus ke depan. Perempuan itu tak mau mencoba. Ia enggan. Akhirnya kami melintas di antara kedua pohon beringin besar itu tanpa penutup mata. Tentu saja kami sukses. Kami bergerak lurus dan berakhir di sebuah warung tenda. Aku memesan segelas jahe susu sementara ia memilih segelas jahe hangat. Saat itu pukul setengah dua dinihari.

“Manis?” Aku sedang mengaduk gelasku saat ia bertanya. Aku menyeruput.

“Ya.”

“Dia suka jahe susu, tapi tak suka yang manis. Tadi, aku hampir saja mengingatkan penjualnya untuk memberi tak banyak gula, lalu aku ingat aku sedang denganmu.” Ia tertawa. Tapi getir. Aku menatapnya. Kadang-kadang, aku iba padanya. Ia cantik. Ia menarik. Ia cerdas dan bekerja di sebuah bidang yang kebanyakan dipegang kaum adam. Ia satu-satunya perempuan di sana dan mampu menjalani pekerjaan itu. Aku iba karena ia mempunyai banyak pilihan tetapi terjebak di tempat. Tak kemana-mana, tak membuka mata untuk melihat. Malah, ia memilih cara-cara itu. Masih ingat kan tentang konsep cinta sejati yang sudah bergeser itu? Ia memang, kulihat, menikmati kebersamaannya dengan macam-macam orang akhir-akhir ini. Mereka yang membawa cinta semu seperti yang dia bilang dulu. Aku iba, sebab ia sedang merendahkan dirinya sendiri. Aku tahu ia tak melacurkan apa-apa dari raganya, tetapi ia sedang melacurkan harga dirinya!

*

D, siapapun kau, di manapun kau, mungkin kau pun bertanya apakah aku termasuk dalam jajaran cinta yang semu itu. Aku tak tahu apa posisiku dalam kehidupannya. Perempuan yang memanggilmu D itu seolah telah menjadi orang terdekatku. Padanya aku membaca cinta, kesungguhan dan luka. Darinya aku mendapat cahaya untuk menemukan jalan, untuk membuang kesedihanku dan menggantinya dengan harapan-harapan baru akan masa depan. Ajaib. Padahal ia masih jalan di tempat, entah kapan keluar dari masalahnya sendiri. Aku merasa ia demikian dekat, demikian dekat. Kau pun mungkin pernah merasakan ia begitu dekat denganmu, dan sangat dekat.

Tak usah menyangkal. Perempuan itu pernah berkisah pada waktu yang lain, tentang malam kalian melihat purnama di tepian rel kereta api di mana di hadapan membentang persawahan. Mungkin kau lupa, maka aku mengingatkanmu. Saat itu kau berkata padanya bahwa perempuan yang memanggilmu D itu adalah sosok perempuan terdekat denganmu, dalam kehidupanmu, setelah ibumu. Kau mungkin tak tahu ia begitu bahagia saat mengingat itu. Ia bertanya di ujung kebahagiaannya, masihkah tempat itu untuknya ataukah ia telah tergantikan. Aku tak dapat menjawab, D, sebab aku tak tahu. Tapi aku menghiburnya bahwa tempat seseorang di dalam hati tak akan tergantikan oleh orang lain. Seperti ruang maya, hati memiliki jumlah ruang tak berbatas untuk meletakkan setiap orang yang masuk ke ruang-ruang tersendiri tanpa harus menyisihkan seseorang. Mungkin, D, kau masih meletakkannya di hatimu meskipun di sudut yang jauh. Mungkin. Aku tak tahu tentang itu. Tetapi mungkin pula kau berusaha menguncinya di sebuah ruangan yang tak dijangkau. Mungkin kau berusaha menghapusnya dengan menghubungi lagi bekas kekasihmu, membangun kontak dengannya, lalu membangun lagi ruangan baru untuk bekas kekasihmu, demi benar-benar menghapus perempuan yang memanggilmu D.

Ia bilang bahwa ia merasakannya, D. Ia tak tahu darimana ia tahu tetapi ada suara di dalam hatinya.

Sampai di sini, kadang-kadang aku ingin marah. Mengapa ada orang yang mencintai dan tak mendapatkan balasan yang indah dari rasa cintanya? Apa yang telah dilakukannya di masa lalu sehingga alam menghukumnya?

‘Aku bukan orang baik’. Ia selalu berkata begitu.

*

Selesai dengan segelas jahe hangatnya, ia memantik rokok. Semalaman ini, baru saat ini ia memantik rokok.

“Aku pernah mengalami bahagia yang hebat saat dengannya. Aku berterimakasih untuk itu. Bahagia yang paling puncak dibanding bahagia-bahagiaku yang lain. Aku pernah dapat mencintai dengan keseluruhan jiwa ragaku, dengan kesediaan untuk melakukan apapun, dan itu jarang terjadi padaku. Aku berterimakasih aku pernah memiliki rasa cinta yang hebat dan kuat. Meskipun segalanya berakhir tak seperti yang aku kehendaki, aku tetap berterimakasih. Tanpanya, aku tak akan menjadi diriku yang sekarang.”

“Kau benar. Itu yang harus kau lewati.”

“Kadang, aku merasa mendendam.”

“Apa yang kau ingin lakukan saat begitu?”

“Aku tak ingin mengenalnya lagi dan tak berharap berjumpa. Namun jika waktu membiarkanku berjumpa dengannya aku ingin melakukan satu hal.”

“Hm?”

“Menampar hingga bibirnya pecah dan berdarah, untuk semua yang telah kualami dan kurasakan hingga hari ini, meskipun itu tak akan pernah sebanding.”

“Kau sangat membencinya.”

“Kau salah. Aku mencintainya.”

Ia membuang puntung rokok ke jalanan. Digamitnya lenganku. Pukul dua lebih kami meninggalkan area alun-alun selatan yang mulai sepi.

Seperti yang kuceritakan di awal, aku telah menyarankannya pulang ke rumah kost, tapi ia beralasan. Matanya mulai memerah dan ia mulai menggigil. Sepanjang jalan kota kami yang mulai beralih diisi para pedagang yang menuju pasar untuk lebih gasik menggelar dagangannya, dinihari itu, ia memeluk pinggangku. Aku merasakan gigil tubuhnya. Aku menarik lengannya agar lebih mendekap tubuhku, dan kujalankan sepeda motor pelan-pelan.

Di warnet, ia membuka situs jejaring sosial dan membalas beberapa pesan. Lalu meringkuk berbagi sofa dengan dudukku. Aku membuka email sambil mendengar gumamnya, masih tentang D. Sampai ia mengigau parah subuh itu, aku masih duduk menjagai tidurnya, sesekali kupandangi wajahnya yang resah. Aku menyimpan igauan itu darinya. Hanya sebuah nama. Yang kucatat dalam hati. Kelak, aku akan membukanya jika waktunya tiba. Barangkali nama itu adalah D yang selalu diresahkannya atau mungkin orang lain. Perempuan itu meskipun sangat dekat denganku saat ini, ia masih demikian misterius. Kadang, aku tak mengerti mengapa ada orang yang bisa meninggalkan dia. Bukankah kemisteriusan itu adalah daya tarik? Ia hitam, gelap, penuh tanda tanya. Ia telah membuatku merasa ingin masuk lebih jauh untuk mengenalinya dan mengerti alasan pilihan-pilihan yang kadang berada di luar jalur nalarku.

Kami di warnet sampai pagi, menghabiskan satu paket akses internet selama lima jam. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menghabiskan penuh satu malam dengan seorang perempuan, bukan kekasihku, hanya seorang yang pernah kukenal di sebuah pantai, yang menunjukkan padaku kekuatan dan keganasan cinta dalam mengubah kehidupan seseorang.

I’ve been sitting, watching life pass from the sidelines. Been waiting for a dream to seep in through my blinds. I wondered what might happen if I left this all behind. Would the wind be at my back, could I get you off my mind, this time....(This Time)


29 September 2009, 22.56, 26A


(Something Inside & This Time, taken from August Rush OST, all by Jonathan Rhys Meyer )








Selasa, 15 September 2009

Confessions of A Broken Heart

September mengingatkanku tentang sebuah hari sebelum pertengahan bulan. Hei, aku sedang sakit. Sakit dada. Sakit jantung. Sakit ingatan. Ingatan tentang hari sebelum pertengahan bulan telah menambah gemetar dan keranyas di persendian. Kau mau membuat aku sekarat? Aku sudah dalam kesekaratan tingkat menengah beberapa bulan terakhir ini. Seperti kanker, jika tak segera ditangani stadiumku akan meningkat dengan cepat apalagi ditunjang gaya hidup tidak sehat yang sudah kujalani sejak hidupku menjadi semakin tidak teratur. Tak ada yang membangunkanku dengan telepon di pagi hari, tak ada yang mengingatkanku untuk makan dan menyuruhku mandi. Aku yang sejak semula sudah memiliki bakat hidup tidak teratur bagai memperoleh angin neraka; hidupku kacau balau. Waktu simpang siur. Jadwal tumpang tindih sehingga makan dan mandi menjadi prioritas kesekian. Hidupku berlari di antara program-program komputer, lelaki-lelaki minus status (dalam kehidupanku), dan jadwal-jadwal kegiatan sastra yang lebih sering tak sempat kuhadiri lagi. Hidup memaksa untuk memiliki sebuah pilihan. Dan aku memaksa untuk mengambil paling tidak dua pilihan sebab tak mungkin mengambil semua pilihan yang disediakan.

Sebuah hari sebelum pertengahan bulan September membawaku memasuki sebuah lorong waktu. Ada aku. Ada dia yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan bulan itu di dalam dokumen-dokumen pribadinya. Dan ada kejadian-kejadian yang terekam dalam memori otak. Senja, pagi, malam. Seribu petualangan di alam, seribu percumbuan di bawah rembulan. Juga seribu pertengkaran yang terjadi di dalam batin, antara aku dan diriku, juga pertengkaran sunyi antara dia dan dirinya sendiri, terkait dengan seribu petualangan dan seribu percumbuan itu. Sebab karenanya seribu larangan telah dilanggar, seribu norma telah diabaikan, dan seribu perjanjian pernah dibuat. Pernah dibuat. Tetapi tak ada realisasi. Seperti sebuah mimpi yang adalah bunga tidur; angan-angan pernah dilepas dan diulur tinggi, lalu angin memberat dan makin memberat, memutus apa yang terulur tinggi itu.

Hei, aku sedang sakit. Aku ingin membaringkan tubuhku di ruang yang tenang dan tak ada cahaya yang menyilaukan. Aku ingin mengeluarkan semua suara bising yang berpusar, berkejar dan membelit-belit itu. Semua suara yang mengingatkan aku; alarm tentang sesuatu di sebuah hari sebelum pertengahan bulan September. Aku ingin beranjak dan mematikan alarm itu (rasanya aku sudah mematikannya sejak bulan Agustus). Tetapi hari ini alarm itu berdentang keras memekak di jantungku. Padahal jantungku sedang sakit. Dadaku sedang sakit. Dan ingatanku sedang sakit. Maka aku tambah sakit. Detak jantungku semakin cepat , dadaku panas. Ingatanku mau meledak. Aku telah menyediakan sebaskom es untuk mengompres. Aku mengompres sendirian. Kubasahi sapu tangan dari salah satu lelaki-ku, kuperas lalu kutempelkan di dadaku. Alarm itu tidak mati-mati. Ada bunyi sirine yang terus menerus di kepalaku.

Aku tersiksa. Sungguh tersiksa.

Aku meraba-raba dinding. Mencari tombol untuk mematikan suara itu. Tetapi tanganku tak menjangkau apa-apa. Aku sedang sakit. Aku tidak sanggup menemukan di bagian mana dalam otakku alarm itu terletak. Dia yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan bulan September bagaikan ideologi laten yang bersembunyi di dalam kepalaku. Tidak hilang. Ada. Dan muncul pada saat paling lemahku, paling sepiku, paling sendiriku dan paling sedihku. Dulu, ia yang pertama muncul dalam kepala di saat sedang bahagiaku. Tetapi beberapa bulan ini aku me-reset semua sehingga bukan dia yang muncul di kepala pada saat-saat bahagiaku. Bukan dia, bukan siapa-siapa. Aku membiarkannya kosong saja. Aku sudah tak perlu lagi membagi segala bahagiaku kepadanya sebab tak bakal ia peduli. Cerita- cerita kehidupanku hanya akan jadi angin lalu saja di telinganya. Melintas dan hilang. Orang-orang hanya peduli pada siapa yang mengambil peran besar di dalam hati dan kehidupan. Aku tidak mengambil peran yang besar, aku tidak memiliki ruang yang disediakan olehnya di dalam hati dan kehidupan, maka tahu dirilah jalan satu-satunya. Tahu diri adalah pilihan yang sulit. Tahu diri juga dapat berarti harus merelakan sesuatu. Tahu diri juga dapat berarti mundur, dan kehilangan kesempatan.

Ia sudah jarang muncul di kepala saat aku sedang bahagia. Tetapi masalah lain, ia justru sangat sering muncul saat aku sedang sedih. Ia adalah point kesedihan. Ia adalah momentum dimana aku tak sanggup mengatasi segala macam yang kurasakan dan kualami, dia adalah momentum hilangnya kontrol atas diriku sendiri. Dan, sekarang, mendekati hari-hari pertengahan September aku serasa dikekang dalam ruangan beton tanpa celah. Ruangan yang terbangun dari campuran kesedihan dan kenangan, kesakitan, kegagalan, keterpurukan. Selalu saja perasaan gagal dan terpuruk mengikuti segala bentuk ingatan tentang dia yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan bulan September. Gagal. Dan terpuruk. Betapa tidak nyamannya perasaan itu

Hei, kau, kau yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan September, kenapa tak membiarkan aku duduk tenang dan tidur nyenyak? Aku masih berputar-putar dalam labirin sementara waktuku sudah habis. Aku masih berputar-putar mencari jalan untuk pergi dari sini. Ruangan ini galau, pucat, perih. Hei, kau, aku hanya ingin merasakan tempatmu yang tenang, tidurmu yang lelap dan mimpimu yang indah. Kau pasti bisa tertawa lepas sebab tak ada lagi yang merecoki hidupmu, tak ada lagi yang merecoki makanan di piringmu, tak ada lagi yang mengganggumu dengan sms-sms atau telepon di waktu-waktu istirahatmu. Kau pasti juga menghapus namaku dari daftar orang-orang yang pantas kau ajak bicara. Kau sudah terbebas. Tak merasa perlu untuk sekedar menyapaku atau bertanya apa kabar. Kau, yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan September, kau memang tak perlu menyapa. Aku menghalangi diriku sendiri untuk mengenalmu lagi. Aku membuat halang rintang di depanku jika itu adalah tentang mengaksesmu, segala informasi atau jalan yang mengarah kepada dirimu. Aku telah dengan kesadaran dan keinginanku sendiri menutup semua celah itu.

Benarkah aku dapat melakukannya?

Di pagi hari, aku masih terbangun dengan resah setelah tidur malam yang selalu terlalu larut dan mendekati dinihari. Aku masih menatap hari dengan nanar. Aku masih diganggu denging dan suara beep di kepalaku yang mengingatkanku tentang dia yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan September. Aku masih diganggu bunyi beep di latar belakang dalam hari-hariku yang sangat padat. Aku masih diingatkan akan sebuah hari sebelum pertengahan September. Alarm sialan itu seperti tak mau patuh dengan perintah berhenti yang kuteriakkan hingga suaraku parau.

Aku memang sudah tak bernama. Tak terekam. Tak memiliki sesuatu yang patut diingat. Maka biarkan aku. Biarkan aku sembuh dan dapat berlari mengejar apa yang jadi impian. Biarkan aku sembuh dan kembali normal, detak jantungku normal, dadaku tidak sakit, ingatanku selalu mengingat yang bahagia. Aku sudah memberi terlalu banyak, aku ingin berhenti memberi. Memberi cinta. Memberi kasih. Aku mau membanting alarm itu seandainya kutemukan dimana letaknya. Aku akan membiarkannya jatuh berkeping-keping dan mati. Benar-benar mati. Segala yang mengingatkanku tentang dia hanya membawaku pada muara yang sama. Aku tambah sakit. Bertumpuk-tumpuk. Maka aku tak ingin mengenalnya. Tidak. Itu sangat menyakitkan. Itu berat. Itu juga menakutkan. Takut aku tak lebih kuat dari sekarang.

Hei, aku menutup telingaku dengan bantal. Aku membenam kuat-kuat di tempat tidur. Aku tak mau mendengar suara beep selirih apapun. Aku tak mau mengingat! Aku mau tepat di sebuah hari sebelum pertengahan September aku telah menemukan letak alarm sialan itu dan membuangnya jauh-jauh ke jalan raya, biar dilindas mobil-mobil yang lewat. Sampai remuk. Sampai lumat. Tak berbentuk. Seperti yang terjadi pada jantungku beberapa bulan yang lalu, dan masih menyisakan nganga yang menetes darah. Perih, tahu!

(seperti yang dikisahkan pelan-pelan kepadaku, waktu demi waktu)



Kamis, 10 September 2009

Perempuan Yang Bercerita Tentang Seseorang Yang Dipanggilnya D (2)

Semalam perempuan itu mengirimiku sms. Ini adalah sms kesekian kali setelah pertemuan kami di pantai waktu itu. Aku telah hampir melupakan wajahnya, tetapi aku tak pernah melupakan tatapan mata yang mampu membuatku kembali dari sebuah perjalanan tanpa ujung yang melelahkan. Aku telah kembali menjadi diriku yang utuh, tetap dengan kenangan menyakitkan itu, tetapi aku tak lagi merasakannya sebagai sebuah beban. Kenangan adalah sesuatu yang tak perlu diperlakukan berlebihan. Dengan sendirinya, dalam porsi yang cukup ia mengambil bagian dalam kehidupan kita. Kita akan menyimpannya dalam lipatan limbik, ia akan tetap di sana, diam, sampai kapanpun.


Ak membuatmu terinspirasi utk lbh mudah melewati kesedihanmu. Mengapa hal yang sama malah tdk kualami?


Mungkin, kenangan membutuhkan waktu untuk mengikhlaskan dirinya disimpan. Kenangan seperti segala sesuatu yang ingin selalu berada di puncak, tampak, terlihat dan tak mau disembunyikan. Kenangan juga memiliki kekuatan untuk menguasai. Kenangan, bersama-sama dengan waktu, pada saat tertentu, akan merampas kekinian dan melemparkan kita ke dalam lorong gelap masa lalu. Yang paling menyakitkan adalah jika kita tak mampu mengatasi kesedihan yang timbul; sebab dari berbagai kasus kenangan lebih kuat menghadirkan kesedihan ketimbang kebahagiaan. Jujurlah, sepanjang hidup sampai hari ini, berapa banyak kenangan yang membuat sedih? Bandingkan dengan kenangan yang membuat bahagia.


Bulsh*t kau bilang kesibukan bisa mengalihkanmu dari sesuatu! Tdk. Tdk. Aku mengalami hari-hari paling sibuk, tekanan , hdp dlm ketakberaturan mengejar deadline. Dan itu semua tak mengalihkan apapun. Dia hdir di dl *some text missing*


*some text missing* m baris-baris coding. Wajahnya jelas saat aku berada di dpn komputer mengerjakan apapun. Tnyata, ak msih dikuasai kenangan.


Aku tercenung. Betapa anehnya kehidupan. Betapa demikian cepat segalanya berubah. Dalam satu detik tawa lepas dapat menjadi tangisan sedu. Dan betapa anehnya pula, pengalaman orang lain dapat membawa kita mengambil jalan benar, tetapi orang lain yang kita jadikan cermin itu masih saja terkungkung dalam kegelapannya, dalam ruangnya sendiri.


Perempuan itu tak saja mengirimiku sms, ia juga menulis surat elektronik. Kotak masuk emailku menampilkan pesan-pesan baru setiap minggu. Dari sana aku tahu bahwa perempuan itu memiliki jadwal tetap online di tengah hari-hari sibuk. Ia barangkali semacam orang yang memiliki kehidupan ganda. Entah menjadi pribadi siapa ketika ia berselancar di dunia maya. Orang-orang berhak memilih untuk jadi diri sendiri atau jadi pribadi yang diinginkan di dunia maya, tak akan ada yang mengeluhkan.


Tahu tidak, Tuhan kan adil. Akan ada balasan bagi setiap perbuatan. Perbuatanku, perbuatanmu, siapa saja. Orang-orang akan menuai dari apa yang ia tanam. Dan tahu tidak, kebahagiaan adalah ketika orang lain menjadi bahagia atas apa yang kita lakukan, bukan menjadi bahagia sendiri tanpa mempedulikan dampak yang terjadi pada orang lain. Satu lagi, tahu tidak, kemerdekaan sejati hadir dari keberanian mengikuti kata hati (:D ini slogan dalam iklan rokok, kubaca di baliho pinggir jalan….) Apa coba kaitannya, kau pasti akan bilang begitu kan? Kapan-kapan aku kirim email lagi, tapi bukan untuk menjelaskan apa kaitan ketiga hal itu. :D


Aku menunggu. Dan email berikutnya memang tak membahas hal itu.


Hai, aku tak ingin lagi merasakan cinta sejati. Setelah kupikir-pikir, cinta semu lebih menyenangkan. Cinta sejati akan membuatmu dikejar-kejar pertanyaan apa kesalahanmu, apa kekuranganmu, dan selalu menuntut pengorbanan yang lebih besar serta pemberian maaf atas kesalahan sebesar apapun. Cinta semu akan melepaskanmu dari hal-hal itu dan akan membawamu bersenang-senang. Sungguh. Coba saja. Dan, tahu tidak, aku menginginkan cinta semu yang banyaaaak!


Itu adalah isi email yang menjadi tonggak perubahan caraku melihatnya. Kepribadian sendu dan teduh yang kubaca dari sikapnya di pantai hari itu, seolah-olah hilang. Aku seolah-olah tak berhadapan dengan perempuan yang sama, yang dengan menggebu-gebu namun sentimental menceritakan seseorang yang dipanggilnya D, yang kelak kusimpulkan sebagai cinta sejati yang ia sebut-sebut itu. Perempuan itu seolah telah jadi orang lain.


Org lain? Betapa cepat kau menyimpulkan sesuatu yg bahkan tak berada di dpn matamu.


Aku ingin menemuinya, setelah emailnya yang terakhir;


Aku masih suka laut. Aku tak menjadi orang lain, tetapi memang ada hal-hal yang harus aku ubah dari pikiranku. Semisal konsep cinta sejati itu. Tak ada yang bisa menjamin bahwa setiap perubahan adalah menjadi lebih baik. Aku banyak mengalami kemajuan dalam kehidupanku, contohnya di bidang pekerjaan, aku juga punya teman-teman baru. Nah. Teman-teman baru membawaku pada cinta-cinta semu yang baru. Tahu tidak, setelah orang-orang dari masa lalu memasuki lagi kehidupanku, aku jenuh juga. Aku butuh sesuatu yang segar, seperti es buah mangga. Segar dan manis. Kemajuan di satu bidang, dan kemunduran di bidang yang lain juga katamu? Haha…kehidupan memang aneh. Tentang kejadian itu aku marah. Aku juga meredam. Aku luka dan jalang seperti Chairil. Aku juga terbuang dari kumpulanku. Asing. Entah bertemu siapa dan menjadi apa. Entah terbang mengikuti angin mana dan sampai ke mana. Aku berdarah. Aku ingin berteriak, memaki, membanting sesuatu, membunuh orang, mencincangnya dan membuangnya ke laut. Tapi hanya ingin. Aku tak mampu. Bahkan untuk meringankan rasa sakit itu aku tak mampu. Hei, kau benar bilang bahwa jangan menekan sesuatu ke dalam terlalu kuat sebab akan berbalik mendorong keluar sekuat kau menekannya. Bolehlah contohmu tentang artis sinetron yang merilis kemarahannya ke dalam video. Tetapi setidaknya aku lebih elegan merilis kemarahanku lewat tulisan-tulisan yang kukirim padamu. Aku sedang menuntaskan kemarahanku. Siapa coba yang mau hidup dengan kemarahan? Itu akan sangat menyiksa. Aku tak mau tersiksa dengan rasa apapun, pun rasa ‘sangat mencintai’. Persetan. Tidak persetan dengan ‘cinta’nya, coz cinta banyak memiliki sisi yang baik. Tahu tidak, aku masih mau bermain cinta, menanggapinya, tetapi tidak untuk cinta yang sejati itu. Sudah sakit-sakit, tidak selalu dihargai. Buka mata. Ada banyak cinta yang bisa mengajak bersenang-senang, tanpa rasa cemburu, tanpa rasa sakit, tanpa pengorbanan atau janji yang muluk-muluk sebab sudah saling tahu itu semu. Sudah ya….aku kasih tahu, sekarang aku sedang dekat dengan seseorang. Cinta semu yang entah keberapa kali kualami lagi sejak kejadian itu. Aku membutuhkan banyak pengalih perhatian, kau mengerti kan?




*


D, siapapun kau, di manapun kau, apakah kau melihatnya seperti aku melihatnya? Kehidupan itu maksudku, apakah kau melihatnya seperti aku melihatnya? Kehidupan itu begitu aneh. Pengalaman membuat orang bertumbuh, benar. Pengalaman juga yang membuat orang terpuruk atau kehilangan kemanusiaannya. Di rumah sakit jiwa, berapa perbandingan pasien yang sakit sebab pengalaman hidup dibanding kelainan genetis? Perubahan kepribadian dapat terjadi tanpa bisa kita duga. Ada orang-orang yang memang kuat menghadapi terpaan badai dalam kehidupannya, ada orang-orang yang tidak sekuat itu. Dalam kasus perempuan yang memanggilmu D, kupikir dan kau pikir mestinya bukan hal yang perlu dibesar-besarkan. Kau percaya, aku pun percaya perempuan itu memiliki kekuatan atas apa yang ditimpakan padanya sebab Tuhan tidak akan mencoba di luar batas ukuran kekuatan. Dia hanya belum dapat kembali dari lorong itu. Dia belum dapat utuh lagi menemukan dirinya sendiri. Dia masih berupa kenangan-kenangan yang terpecah-pecah, dia masih berupa gasing yang belum berhenti berputar meskipun kesibukan menghalanginya dari segala arah. Mungkin, akan butuh waktu lama seperti menyembuhkan cedera.


D, ada kala seseorang berada pada titik seperti daun kering tertiup angin. Tak mengerti dan tak peduli kemana angin akan membawanya. Tak ada rencana. Segala gagasan hanya menjadi gagasan saja. Waktu, lagi-lagi waktu, katanya mampu mengembalikan semua menjadi normal. Benarkah? Selalu ada keraguan; apakah waktu dapat membuat gelas yang pecah kembali utuh, atau membuat buah yang busuk kembali ranum dan harum? Dia, perempuan itu, sedang berada pada kala yang kusebutkan tadi. Perempuan yang bercerita tentangmu itu sedang melayang-layang sebagai daun yang diseret angin kemana-mana dan tak berdaya memenuhi keinginannya untuk jatuh di tempat yang indah. Gagasan-gagasan baik hanya tertinggal sebagai gagasan, sementara ia memilih cara lain untuk menjalani kehidupannya.


Apakah kau melihatnya? Atau kau bahkan tak peduli sama sekali?


*


Aku benar-benar mengambil keputusan untuk menemuinya. Berbekal beberapa baris alamat yang kucatat dalam handphone aku menemukan rumah kostnya. Sepi. Seperti hunian mati. Mungkin sebab aku kesana pada malam, dan orang-orang mulai berangkat tidur. Aku mengetuk. Tak ada jawab. Aku mengetuk lagi. Tak ada jawab lagi. Aku memutar pegangan pintu. Terbuka. Aku masuk. Di dalam tak kulihat siapa-siapa. Pintu kamar mandi terbuka. Aku melongok dan hanya menemukan ember penuh cucian kotor yang direndam. Aku meraba saku celanaku, mengambil handphone.


“Kamu di mana?” aku meneleponnya. Lalu suara derit terdengar. Wajahnya muncul dari jendela kecil yang hanya muat bagi tubuh kurus. Dan untung saja tubuhku kurus. Aku menyelinap melalui jendela itu. Ternyata itu tak menuju ke luar. Ada semacam bunker kecil di belakang, barangkali 1x1 meter lebih sedikit. Cahaya bulan masuk melalui langit-langit tinggi yang terbuka, jatuh membentuk bayang-bayang. Ruangan itu gelap, dan dia duduk di sana. Memandang ke atas. Seperti bercakap-cakap dengan bulan melalui sinar matanya. Dan ia tak pernah lepas dari batang-batang rokok itu. Puntung berserakan.


“Indah tidak? Inilah alasanku mengambil kamar ini. Ada ruangan rahasia di sini. Aku bisa menatap bulan jam dua malam sekalipun, sendirian, aman, tidak kedinginan.”


Lalu kami hanya diam sepanjang malam itu. Melihat bulan sampai tak terlihat lagi. Setidaknya aku lega ia baik-baik saja, meskipun tampak lebih tirus dan kurus. Dan lelah. Mungkin sebab pekerjaan yang menekannya akhir-akhir ini. Setidaknya ia baik-baik saja, secara fisik. Ia sempat bergurau bahwa cinta yang membuatnya selalu merasa punya arti hidup di dunia ini, tetapi cinta juga yang membuatnya merasa benar-benar tidak berarti. Cinta membuatnya merasa sangat fit, dan cinta juga yang mengirimkan penyakit-penyakit psikosomatis pada tubuhnya. Di dalam bunker itu, kami sama-sama merenungkan perjalanan, dan berpikir untuk berhenti sejenak melepas lelah. Adakah yang bisa menyembuhkan luka hati selain ketulusan? Adakah yang bisa mengembalikan harapan setelah putus asa, selain sisa-sisa harapan itu sendiri?


I may never find all the answers
I may never understand why
I may never prove what I know to be true,
But I know that I still have to try

If I die tomorrow I'd be all right,
Because I believe that after we're gone
The spirit carries on

(Dream Theater)


(subuh di 26A, lorong waktu yang baru……………..)