Minggu, 30 Maret 2008

Metamorfosa

SELEBIHNYA

Malam melolong di atas bukit
menyaru serigala yang terpasung
di kolong.
setelah malam kemarin kau berangus
dengan selempang lelakimu
Lalu kau ikat di kaki ranjang
kau pameri persetubuhanmu dengan bulan

Di atas bukit, malam menangguhkan titiknya
yang terpekat. Melalui desau angin
didengarnya desah paling sublim
Bulan yang sedang kau setubuhi
dan kuik serigala meringkuk
di keremangan kamar

Dan udara di kamarmu mendadak panas
percintaanmu
serigala yang marah
Lolongan malam
Menjadi keinginan yang mendendam
Menyusupkan serigala lain yang tak bertubuh
ke kisikisi. Menyulut kamarmu

Selebihnya, siluet kau memanggul salib
ke atas bukit....



ASING

Lihat ladang kita. Bijibijian yang kita tanam setahun lalu
Telah tumbuh jadi pohon. Rantingnya seperti gurita
Membelit keterasingan kita pada dosa lelaki dan perempuan
diceritakan sejarah turuntemurun. Dari mula di jatuhkan ke bumi

Semakin rapat pohonpohon. Kita tak bergerak
Demikian asing memahami kehendak sublim dalam diri
Mulamula menyalahkan rimbunan semak. Lalu gelap malam
Bulan nyusup ke jantung. Semakin hari mengaum di dalam jantung

Lihat ladang kita. Bijibijian yang remeh setahun lalu
Menyesap berjengkal humus. Sampai habis. Kita mulai mengeluh
Tambah terasing dengan sisasisa, dedaunan gugur di wajah.
Adakah jawab, mengapa dosa diciptakan?




CATATAN SEORANG PENGKHIANAT

Ke menit. Ke jam. Ke hari
dari sebuah perbincangan rahasia di balik pintu
Kutuliskan rencanarencana besar
Tentang kehendak. Nerjang batas
kusisipkan dalam kode yang dikirim padamu menjelang pertempuran

Jika saat fajar namaku dihapus
Jangan menuliskan lagi sebab satu kali cukup sudah
Aku telah menemukan jati diri ketika aku adalah pengkhianat!


DAN KITA TAK PERNAH BERTEMU LAGI

Di dalam matamu. Ada ruang
yang menyangkalku
Entah sebab aku tak membikin peta
buat perjalananmu. Atau sebab tak ada pelita
di kemahkemah yang kau singgahi
Barangkali juga sebab harapan
yang belum sempat kujejalkan
ke celah lipatan pakaian dalam ranselmu

Sampai di ujung sini. Matamu makin kukuh
menembok ruang yang menyangkalku
Tak masalah dengan peta, katamu. Juga bukan pelita
Harapan hanya imajinasi keterlaluan
membekukan kesadaran
Padahal kita bersisian dengan kenyataan
yang setiap waktu mengingatkan
dosadosa yang belum kita lakukan

Dan di persimpangan.
Kau memilih ke kanan sementara aku ke kiri
Tak pernah tahu
kemudian kita tak pernah bertemu
lagi.

Resah

DI TEPI PANTAI

Di tepi pantai. Orangorang menangkap ombak
Mengayak buih. Untuk segenggam nafas para kekasih
di saat terakhir
Serentetan kejadian hanya menyisakan pertanyaan
ketakpastian kehilangan
dan sayatsayat harapan
Juga setumpuk janjijanji basi yang diucap berulangkali
Sampai nanah di kuping

Di tepi pantai. Orangorang menunggu
Berita camar di tengah-tengah deru cuaca tak ramah
Sekelumit detak dari jantungjantung di dasar
melupakan semua omongkosong janjijanji
Sebab pelunasan ambyar sudah
kemarinkemarin itu
Sedang dirundung kesedihan yang lain, kata entah siapa

Di tepi pantai. Orangorang mulai menghitung senja dan fajar
Mengumpat deburan ombak. Saat nafas para kekasih
Barangkali tersendat
dihalanghalang pecahan kapal. Atau hiu yang marah
Tak ada yang sempat tahu

Di tepi pantai. Orangorang kemudian menjadi pasir.
Tak ada yang peduli lagi



MENUNGGU GERHANA

Kau menjelma onggokan
Diam di tong sampah. Saluransaluran air. Pembuangan
Orangorang lewat mencibir. Lekaslekas
Berapa lama sudah?
detik menjadi menit menjadi jam menjadi hari
Masih menunggu sampai mengeras batu
Saat matahari dan bulan bertatapan
dan semesta mematikan lampu
Perjumpaan
Luka

(Sekali waktu dalam diammu, kau mengigau
tentang kekasih yang hilang di rimba tahun)



SIAPA

Siapa kau dan aku? Seorang perempuan melongok ke luar jendela. Kanak di halaman menangis
Pertanyaan tak penting - seperti apa pertanyaan
yang penting? - berlalu seperti mimpi yang lantas terlupa ketika terjaga
Seorang perempuan turun ke halaman. Di luar pagar seseorang berteriak
Siapa kau dan aku? Pertanyaan tak penting. Diulang-ulang.

Kanak tadi berlari mengejar kupu
Tangisnya tak terdengar lagi
Seorang perempuan di tengahtengah halaman. Rumput hijau
Di luar pagar seseorang membuang bungkusan ke tong sampah.
Siapa kau dan aku?

Selasa, 04 Maret 2008

Prasasti Project, Sambil Menunggu Gerhana

Hai, haloo... lama juga saya gak update blog, lumayan kangen juga. Lumayan kangen dengan warnet tempat saya part time dulu. Sekarang berubah lumayan banyak baik interior maupun kebijakannya :D. Sempat kaget juga dengan interior baru yang lebih 'berani'. Tidak berprasangka ah, katanya prasangka itu dosa..he..he... Mungkin mas dan mbak pengelolanya punya pertimbangan tertentu kenapa mengubah interior yang - menurut saya pribadi - lebih cocok interior yang dulu. Ups. Ada yang marah gak ya saya ngomong gini? Atas nama kebebasan berbicara, saya membela diri dulu ah sebelum kejadian. :D.

Cerita ah.

Saya memberi judul cerita ini; Prasasti Project. Bingung ya? He..he..he.. gak penting lah apa tuh Prasasti Project. Saya cuma pengen cerita ternyata bikin buletin itu susah. Gimana gak? Mulai dari pembagian kerja dengan kru yang terbatas, menyiapkan naskah, mengontak percetakan, ngurusin pasca cetak, and distribusi sampai ke tangan pembaca. Mungkin ada juga sih proses-proses yang lupa saya sebutkan sebab -terus terang saja- saya masih awam dengan hal beginian. Dan? Akhirnya saya dan beberapa teman bisa juga menerbitkan sebuah buletin -tentang apapun itu- yang penting buat kami adalah 'perhargaan' terhadap kerja keras. He..he..he.. Penghargaan yang dimaksud bukan semacam perhargaan finansial begitu (buletin ini kami bagikan gratis loh... sebanyak 500 eksemplar - iklan dikit - ), tetapi sebentuk perhargaan sederhana seperti; buat yang terjangkau oleh 500 eksemplar gratis kami, baca donk tulisan-tulisan sederhana di dalamnya. Jangan dijadikan bungkus kacang doang. Hikz... mentang-mentang gratis.

Sejauh mana? Pasti ada yang tanya gitu. Waktu saya membikin tulisan ini, Prasasti dengan konsep yang fix baru terbit 1 edisi. Tetapi Prasasti yang masih mencari bentuk sebelumnya telah sempat terbit 3 edisi, kemudian vakum sebentar sebab orang-orang di dalamnya lagi nyari konsep, dan juga ditelan dunia yang luar biasa sibuknya. Sebenarnya orangnya sih gak sibuk-sibuk amat, tapi imbas dunia yang sangat sibuk, jadi pura-puranya (biar wangun) ikutan sibuk juga lah.

Buat yang merasa muda Prasasti ada, tapi yang usianya terbilang gak muda juga sah-sah aja baca buletin ini sebab kami menyuguhkan sesuatu yang mudah dicerna, umpama makanan, formula bayi deh. Fenomena-fenomena biasa di sekitar kami coba angkat ke dalam suatu artikel bebas, berusaha peduli, berusaha tetap kritis, dengan bahasa muda yang tidak ribet, dan sebisa mungkin tidak mendikte. Ada ruang khusus untuk yang suka puisi. Ada juga ruang khusus untuk mereka yang ingin berbicara menanggapi fenomena-fenomena yang kami angkat dalam artikel utama. Baru 1 edisi dengan konsep seperti ini sih, untuk distribusi kami juga masih ndompleng orang tua kami ; Komunitas Lumbung Aksara yang menerbitkan buletin sastra Lontar dan sangat sukses coz pembacanya bertebaran di mana-mana.

Kru Prasasti semuanya pemula. Tapi punya semangat lumayan tinggi dan semoga saja tidak tergoyahkan (halah). Ow ya, Prasasti juga mungkin benar-benar hanya akan jadi prasasti tanpa dorongan teman-teman, senior-senior yang tergabung di Lumbung Aksara (LA). "Prasasti gak mau mati sekarang, sebelum berbuat apa-apa!" kata mas Cimenx nih, PU kami. Semangat kan? Jadi ketularan semangat juga lah. Yah, sekalian belajar lah, siapa tahu ke depannya besok benar-benar bisa jadi pemred media ternama di negeri ini. Hahahaha... setiap orang boleh bermimpi bukan, sebab mimpi yang benar-benar kita ingini, kita pikirkan setiap hari, suatu hari akan menjadi kenyataan. Percaya saja jika semesta akan memberikan apa yang kita sangat inginkan, tanpa kita perlu tahu bagaimana ia mengerjakannya untuk kita.(Hmm... njiplak The Secret ya mbak?). Eh, jadi inget ada yang pesan reviewnya The Secret belum sempat saya tuliskan, maaf yah, buat yang merasa pesan. Tak pinjamin bukunya aja ya?

Jadi, saya mau bilang, berteriak lantang, merasuk ke gendang telinga semua orang (halah, kalo yang ini njiplak Dewi Lestari), bahwa..."Horeee....Prasasti gak jadi mati sekarang!"

Baca ya, Prasasti edisi cetak buat yang terjangkau sama distribusi kami, gak maksa sih tapi jangan buat bungkus nasi donk (Landung PB, yang paling saya khawatirkan bakalan make Prasasti buat bungkus nasi bekal naik gunung!).

Udah ah.

Baca ya, sekali lagi. Gak puas? Gak suka? Kecewa? Benci? Cinta? Send us message, via blog boleh, via sms oke juga.

Satu paragraf terakhir, saya kecewa sekali malam ini. Teman saya gak bisa datang. Entah kenapa perjumpaan dengannya seperti menunggu gerhana. Langka. Padahal saya mau balikin uang yang saya pinjem tiga bulanan yang lalu, sekalian minta dia bawakan Digital Fortress yang saya beli di pameran buku awal Februari lalu. Belum sempat saya baca. Bye.