Senin, 23 November 2009

Cerita Perempuan dan Bola-bola Mata

Jatuh Cinta

Ia menatap mata perempuan itu dan mengatakan: Kau adalah perempuan paling dekat, bagi hatiku, bagi tubuhku. Suara gemuruh yang keluar dari jantung perempuan itu mengalahkan deru kereta api malam yang kutumpangi. Dari balik jendela kereta api, aku melihat mereka saling menatap. Perempuan itu telah jatuh cinta pada laki-laki yang kelak membunuhnya dengan menancapkan obeng tepat di bola matanya.

Mata yang Retak

Laki-laki itu pergi tetapi perempuan itu tetap mencintainya dan membiarkannya memasuki tidurnya di malam hari.Ia seperti perempuan yang diculik dan diperkosa sepanjang malam, dan tinggal mempunyai sedikit waktu untuk membaca tubuhnya sendiri. Orang-orang melihat bahwa sudut-sudut matanya sudah retak dan merembeskan darah.

Perselingkuhan

Ketika pulang pukul dua belas malam itu, suaminya menemukan seorang lelaki telanjang di atas ranjang. Ia bertanya dengan marah: Kenapa lelaki ini ada di sini? Istrinya menjawab sambil membenahi gaun: Ia kedinginan di kuburan, aku jatuh cinta pada matanya yang terbuka di dalam peti mati, saat melayat pagi tadi.

Mata Pencuri

Tengah malam aku merindukanmu. Foto dirimu yang ku-download dari jejaring maya dan kucetak sepuluh lembar, kupandangi sampai pada suatu ketika aku menemukan cahaya yang lain dari tatapan matamu dalam foto itu. Itu adalah tatapan mata yang sama dengan pada saat kucumbu kau habis-habisan di pinggir laut malam itu. Maka tengah malam aku datang ke tempat itu lagi. Aku menemukan bola matamu yang kemudian kumasukkan ke dalam stoples berisi formalin. Tengah malam di malam yang lain, aku mendapati acar bola mata itu menyorotku tajam, bertanya; mengapa. Aku menjawab dengan penuh cinta: Ini hukuman bagi pencuri, yang melihat dan mencuri jantungku. Aku mendedahkan dada di hadapan acar bola mata itu. Di tempat jantungku dulu berada ada sebuah rongga hitam dan dalam.

Pencuri Mata

Perempuan itu mencintai mata laki-laki itu. Ia mengambil pisau dapur ketika mereka selesai bercinta. Laki-laki itu terlalu pulas. Laki-laki itu terbangun dengan dua lubang berlumuran darah di wajahnya, sementara sepasang bola matanya menatap lurus kepadanya dari atas meja. Perempuan itu membasuh pisau berdarah di wastafel.

Penggugah Selera

Seorang laki-laki memesan sepasang bola mata yang sudah dikupas sebagai hidangan pembuka sambil menunggu pacarnya melentikkan bulu mata di toilet.

Mata yang Mati

Malam hari aku meneleponmu. Tanpa nama. Tanpa nomor. Tanpa suara. Aku kangen mendengarmu. Aku tak membutuhkan percakapan panjang. Setelah mendengar kau menyapa ‘Halo’ aku akan mengakhiri telepon itu. Tapi kau hanya diam, sampai habis pulsaku. Pagi harinya aku mendengar tubuhku ditemukan mati di bak mandi sambil memeluk telepon genggam. Mata matiku melihat kau terbang mengejek di langit-langit.

Aku Mencintai Kedua Bola Matamu

Aku meneleponmu lagi dari kuburan. Tanpa nama. Tanpa nomor. Dengan suara: Aku mencintai kedua bola matamu. Roh yang keluar dari tubuhku melihat kau mematikan telepon genggam sebelum memeluk tubuh perempuan yang melenguh di ranjangmu. Dalam lensa matamu, telepon genggam itu tiba-tiba terbakar.

Paket Bola Mata

Kau menerima sebuah paket pos berisi sepasang bola mata dan sebuah pesan: Kenakan sepasang bola mata ini dan datanglah ke jembatan malam nanti. Maka malam itu kau bersalin bola mata dan datang ke jembatan. Di sana seorang perempuan sudah menunggu. Tanpa berkata apa-apa ia terjun dari jembatan dan kau melihat kepalanya membentur batu di bawah. Bola matanya lepas dan menggelinding di atas batu sementara tubuhnya terbawa arus. Bola mata itu adalah bola mata yang dikirimkan padamu lewat pos siang tadi.

Kenang-kenangan

Dia datang ke stasiun dan menyerahkan sepasang bola matanya sebagai kenang-kenangan. Saat itu aku teringat sepasang bola mataku yang kutinggalkan untukmu dan mungkin sudah kau buang ke selokan.

Keruh

Di dalam bola mataku aku menyimpan semua detil tubuhmu. Di dalam bola mataku aku menyimpan semua kejadian denganmu. Di dalam bola mataku aku menyimpan sepuluh ribu kata-katamu tentang harapan dan cinta. Di dalam bola mataku aku menyimpan sepuluh ribu kubik air mata ketika kau menyuruhku pergi. Bola mataku menjadi keruh dan penuh seperti sup. Ketika kelak kita berpapasan, kau mungkin tak mengenaliku lagi.

Kehendak

Entah siapa kelak yang akan memiliki bola mata laki-laki itu, tapi perempuan itu berharap yang kelak memilikinya akan berpikir untuk menjualnya. Ia telah menabung setiap hari sejak perkenalannya dengan mata laki-laki itu.

Bola Mata di Dalam Mug

Akhirnya perempuan itu mencungkil bola matanya sendiri kemudian meletakkannya di dalam mug pemberian kekasihnya. Bola mata itu terjaga dengan aman selama beberapa tahun sebelum tiba-tiba mug itu retak. Dari retakannya merembes air mata yang berubah menjadi darah. Perempuan itu sekarang menjadi buta dan sakit-sakitan.

Mata yang Menunggu

Perempuan itu ingat, kau selalu menyentuh pipi di bawah kelopak matanya setiap kali kalian selesai bercumbu, dan setiap kali kalian harus berpisah untuk bertemu di hari yang lain. Perempuan itu bunuh diri sebab kau tak melakukannya untuk terakhir kali ketika kalian harus berpisah untuk selamanya. Ia mewariskan sepasang bola mata yang selalu kuputar di pemutar compact disk. Di sana bola matanya menunggumu memberikan sebuah sentuhan perpisahan.

Telepon Tengah Malam

Jika suatu malam kau menerima telepon tanpa nama, tanpa nomor dan tanpa suara, berkatalah sesuatu walaupun sapaan singkat. Mungkin itu roh-ku yang meneleponmu dari kuburan. Aku sudah membungkus bola mataku di dalam plastik kedap udara. Aku membuangnya di dekat cungkup sebab aku tak mau menangis lagi. Ingat ya, bersuaralah pada telepon malam-malam tanpa nama tanpa nomor tanpa suara itu. Saat itu, roh-ku barangkali sedang sakit dan sangat merindukanmu; merindukan mendengar suaramu.

Rel

Dari dalam kereta, aku melihat bola mata pecah di jendela. Seorang perempuan tertabrak dan terseret kereta yang kutumpangi. Orang-orang bilang ia sedang melamun di rel kereta api, mengenangkan kekasihnya yang pergi begitu saja.

Frustasi

Perempuan itu menikah dengan laki-laki lain, tetapi tak pernah benar-benar meninggalkan laki-laki yang memberinya sepasang bola mata. Dengan bola mata itu ia bisa melihat cinta. Suatu hari satu dari kedua bola mata itu tercecer. Sejak saat itu ia melihat cinta sebagai raksasa hitam yang selalu mengejar dan ingin mencekiknya. Suatu malam, suaminya menemukan ia mati dengan satu tangan mencekik lehernya sendiri dan tangan yang lain menggenggam erat sebuah bola mata.

Sebelum Pergi

Pergilah kalau kau tak mencintaiku lagi tapi tinggalkan kedua bola matamu. Aku akan datang subuh nanti ke ranjangmu dan meminta bola matamu sebelum melihat matahari. Aku telah merasakan helaian keringatmu dan bau tubuhmu dan air kehidupan dari engkau, tapi aku belum mencicip kedua bola matamu. Aku sangat menginginkannya seperti kanak-kanak menginginkan lollipop.

Pelajaran

Laki-laki itu telah pergi. Tetapi perempuan itu memiliki seribu bola mata yang akan membayangi kehidupan laki-laki itu. Laki-laki itu akan belajar sesuatu tentang cinta, sebelum perempuan itu memutuskan memasukkan semua bola mata ke dalam kardus, dan membuangnya ke laut.

Kekasih

Setelah seribu bola mata ditandasnya, akhirnya ia sadar, perempuan yang menyuguhkan bola-bola mata itu kepadanya, yang paling bersungguh-sungguh mencintainya.

Mata yang Menangis

Ia memberi arsenik pada minuman perempuan itu, lalu melenggang pergi. Malam harinya sepasang bola mata yang menangis telah menenggelamkan kamarnya.

Perempuan yang Sekarat

Ia sekarat. Dan bola-bola mata di sekelilingnya hanya menatap kepadanya.

Janji

Aku jera meminjam bola matamu karena mereka menguras air mataku sampai menjadi kemarau. Aku akan mengirimkannya kembali kepadamu lewat pos bersama sebuah buku. Kau tunggu saja bulan depan di teras rumahmu, di dekat batang-batang muda euphorbia itu.


22 November 2009; tersesat di belantara bola mata yang menghakimi.

Jumat, 13 November 2009

Maafkan Aku, Aku Merindukan Setiap Inci Tubuhmu

1

akhirnya
sebuah petualangan tercatat
dalam kumpulan
yang dibukukan oleh waktu; seekor kunang-kunang
terbang mengitar berjamjam
sebelum sekarat, jatuh di atas kayu mati


2

aku merindukan setiap inci tubuhmu
dalam kesakitan panjang. aku telah usai
dengan petualanganpetualangan
yang kucatat menjadi kitab perjumpaan dan perpisahan
;terbuka di tengah-tengah. tapi tak dapat
kau baca

hawa terbujukkah yang salah,
maka jarak seperti mula ia dan adam diturunkan?


3

perempuan di permulaan malam
mengaji kesedihan. pada sekumpulan semut bernyanyi
pujipujian. di bawah tikar

tinggal kerumun hitam. mengambang di genangan air mata
saat aku tiba subuhsubuh itu

Short...







Rabu, 30 September 2009

Perempuan Yang Bercerita Tentang Seseorang Yang Dipanggilnya D (3)

It's the first thing you see as you open your eyes. The last thing you say as your saying goodbye. Something inside you is crying and driving you on…(Something Inside)


Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat di depan mata kepalaku sendiri , cinta dengan hebat telah mengubah kehidupan seseorang. Perubahan itu bukanlah terjadi semata pada apa yang dapat dilihat oleh indera, terkadang perubahan yang terjadi malah sama sekali tak dapat diindera oleh orang lain. Dan bersamaan dengan itu, untuk pertama kalinya pula dalam hidupku, aku menghabiskan malam dengan seorang perempuan. Bukan, bukan, jangan berpikiran negatif. Aku dan dia tidak melakukan apa-apa pada malam itu. Dan tak perlu bertanya siapa perempuan yang kumaksud. Aku telah dua kali bercerita tentangnya. Perempuan yang sama telah merebut sebuah sisi dari hatiku untuk peduli, untuk menaruh perhatian pada apa yang dilakukannya hari demi hari.

Memang, kami menjadi dekat sejak pertemuan kami yang kedua. Perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D itu masih tetap bercerita tentang orang yang sama dalam berbagai kesempatan. Pun pada malam yang panjang itu, ketika ia berbaring meringkuk di sofa warnet berbagi dengan dudukku, pada pukul setengah tiga pagi. Ia berkisah dalam gumam. Ia berkisah tentang warnet pada awalnya. Tetapi dapat ditebak kemana kisahnya akan berujung. D. Yang seolah melekat di otak dan tak dapat dia lepaskan. Aku hampir-hampir tak mampu menahan kesabaranku untuk bertanya siapa sebenarnya seorang yang dipanggilnya D itu. Seberapa hebatnyakah dia, seberapa sempurna, sampai seorang perempuan harus memilih jalan seperti yang ia tempuh. Tapi aku menahan diri tak bertanya sampai ia selesai berkisah. Dan ia tertidur. Lalu dalam igauan yang parah pada pukul setengah lima subuh, aku mendapatkannya. Aku mendapatkan sebuah nama yang lalu kucatat dalam ingatanku.

Pukul setengah tiga dinihari itu kami memutuskan menghabiskan sisa malam di warnet. Ia telah kusarankan pulang ke rumah kostnya, tetapi ditolaknya dengan berbagai alasan. Maka di sanalah kami berakhir hingga matahari mulai menampakkan diri, menuntaskan satu paket akses internet selama lima jam. Sebelumnya, kami menjelajah kota sejak lepas isya. Bermula dari sebuah balasan yang kukirim atas smsnya yang bertanya apa rencanaku malam itu.

Tak ad ide mw kmn. Tp ak mw kluar mlm ni. Bgadang x.

Ajak ak. How bout ke alun2 kota?

Utara or selatan?

Both. Pick me up.

Aku menjemputnya pada pukul tujuh malam. Ia membiarkan rambutnya tergerai. Basah. Tentunya habis mandi. Malam itu dia mengenakan t-shirt hitam yang makin membentuk siluet kurus tubuhnya. Wajahnya hampir selalu tampak pucat. Ia jarang berbedak. Ketika aku tiba, ia sudah berdiri di muka teras rumah kosnya. Bergegas menyambar jaket. Lalu sesaat kemudian kami sudah berkendara di jalan raya. Malam itu terang meskipun bulan hanya separuh. Ia mengajakku makan di warung lesehan yang terkenal dengan sambal mentahnya yang enak. Ia makan seperti orang yang benar-benar kelaparan.

“Aku sering lupa makan. Jadi sekalinya makan biasanya langsung kemaruk.” Ia tertawa. Aku tersenyum dan bilang aku suka melihatnya makan seperti itu. Sesungguhnya aku suka karena saat itu aku melihatnya tertawa tanpa beban. Lepas makan, aku mengarahkan sepeda motor ke alun-alun utara kota. Musim liburan begini, alun-alun utara yang pada hari biasa saja sudah selalu ramai semakin terlihat sesak malam itu. Di beberapa sudut terlihat orang berkumpul. Melihat baju-baju yang dijual pedagang di satu pojok, atau melihat penjual kembang api dan mainan-mainan berdemonstrasi di sudut yang lain. Ada pertunjukan kesenian rakyat malam itu, di sebuah kerumunan yang lain. Tanpa bermusyawarah, kami langsung tahu tujuan kami. Perempuan seperti dia, sedikit banyak aku telah mengenalnya, lebih menyukai kesenian rakyat ketimbang berburu baju-baju yang dijual di sana. (Aku mengetahuinya sebab ia sering sekali mengungkapkannya keinginannya untuk berkunjung ke bangunan-bangunan semacam keraton atau pemandian putri dan selir-selir. Suatu hari aku akan memuaskan keinginannya itu.)

Ia duduk diam di boncengan sepeda motorku. Pukul sepuluh malam kesenian itu usai dan kami masih tetap di sana. Rupanya para penjual kembang api telah kelarisan. Malam itu kami melihat puluhan kembang api dibakar dan berpijaran di angkasa, di atas alun-alun utara kota. Ada binar kesenangan seperti di mata anak-anak saat aku mendapati ia menatap ke angkasa yang berpendaran. Entah siapa yang memulai, kami bergenggaman tangan di bawah pijaran kembang-kembang api itu. Seperti sebuah adegan dalam drama Korea. Orang masih ramai di sana, membakar kembang-kembang api yang lain saat pada sebelas malam ia mengajakku berpindah. Sepasang muda-mudi berpelukan dan berciuman tepat di depan mata membuatnya tak nyaman. Ia bergumam bahwa di kota ini kebebasan sudah mencapai titik yang harus diperhatikan. Tak mau membuatnya lebih jengah, aku membawanya meninggalkan alun-alun utara.

Alun-alun Selatan kota. Ternyata tengah malam di sana lebih ramai. Setelah memarkir sepeda motor, ia menyeretku ke sebuah sudut dan kami duduk bersisian.

“Siapa yang kau harapkan ada bersamamu saat ini?” Ia bertanya. Aku tiba-tiba teringat kekasihku. Lalu aku menyebutkan namanya. Ia mengangguk-angguk.

“Kau tak menanyaiku?” . Ia bertanya lagi. Tangannya memilin-milin bunga rumput yang basah oleh embun yang mulai turun.

“Aku tak mau bertanya untuk mendapatkan jawaban yang sudah kuketahui.”

Sejurus ia terdiam. Matanya memandang orang-orang, sepasang kekasih, ayah dan anak, siapa saja yang melintas di depan kami mengayuh sepeda tandem sewaan di dalam alun-alun sambil tertawa-tawa. Ternyata diamnya berlanjut. Ia malah terlihat melamun. Akhirnya aku memecahkannya, kebisuan itu.

“Mengapa kau kesulitan melupakannya?”

“Aku sendiri heran. Aku berpikir aku sudah melupakannya. Kau ingat kan kejadian yang kuceritakan itu?”. Ya. Aku mengingatnya. Ia meneleponku hanya untuk menceritakan bahwa ia bermimpi tentang seorang yang dipanggilnya D dan dalam mimpi itu ada hal yang membuatnya sedih kemudian menangis. Ia tiba-tiba terbangun ketika merasa wajahnya basah. Ia bermimpi, ia menangis dalam mimpi itu, dan yang terjadi pada saat itu dalam tidurnya, air matanya benar-benar mengalir. Ia terjaga dengan heran sebab tak pernah ia mengalami hal itu sebelumnya. Sepanjang hari itu pun ia tak memikirkan apa-apa tentang seorang dalam mimpinya, dan telah beberapa minggu ia sanggup tak menangis. Ia menekannya, ia selalu mengalihkannya pada hal lain jika kesedihan itu mendatanginya. Tetapi air matanya mencari jalan sendiri. Dalam tidur lelap dan bermimpi, air matanya membebaskan diri.

Cinta banyak membawa keajaiban. Permusuhan dapat dilerai, orang dapat berubah menjadi lebih baik atau malah sebaliknya, dunia dapat berubah, arah angin dapat dibelokkan. Ajaib sekali ada hal-hal terjadi di luar jangkauan pikiran kita. Ajaib sekali cintaku pada kekasihku telah membawaku sejauh ini, menemukan sosok perempuan kalut di pantai itu, mendengarnya bercerita juga tentang cinta, melihatnya demikian bahagia namun juga demikian tersiksa mengalami cinta, aku kemudian memahami bahwa aku pun berubah menjadi lebih kuat dan tegar karena cinta, cinta pada dia yang lebih dulu meninggalkanku dari dunia.

Kami bergeser ke tengah alun-alun Selatan ketika jam telah menunjuk pukul satu malam. Masih banyak orang di sana, mencoba-coba kemampuan melintas tepat di antara dua pohon beringin besar dengan mata tertutup. Ada kepercayaan setempat bahwa hanya orang terpilih yang mampu melintasinya tanpa berbelok arah. Kami berdiri saja. Melihat sekian banyak orang melangkah ke berbagai arah yang menurut mereka lurus ke depan. Perempuan itu tak mau mencoba. Ia enggan. Akhirnya kami melintas di antara kedua pohon beringin besar itu tanpa penutup mata. Tentu saja kami sukses. Kami bergerak lurus dan berakhir di sebuah warung tenda. Aku memesan segelas jahe susu sementara ia memilih segelas jahe hangat. Saat itu pukul setengah dua dinihari.

“Manis?” Aku sedang mengaduk gelasku saat ia bertanya. Aku menyeruput.

“Ya.”

“Dia suka jahe susu, tapi tak suka yang manis. Tadi, aku hampir saja mengingatkan penjualnya untuk memberi tak banyak gula, lalu aku ingat aku sedang denganmu.” Ia tertawa. Tapi getir. Aku menatapnya. Kadang-kadang, aku iba padanya. Ia cantik. Ia menarik. Ia cerdas dan bekerja di sebuah bidang yang kebanyakan dipegang kaum adam. Ia satu-satunya perempuan di sana dan mampu menjalani pekerjaan itu. Aku iba karena ia mempunyai banyak pilihan tetapi terjebak di tempat. Tak kemana-mana, tak membuka mata untuk melihat. Malah, ia memilih cara-cara itu. Masih ingat kan tentang konsep cinta sejati yang sudah bergeser itu? Ia memang, kulihat, menikmati kebersamaannya dengan macam-macam orang akhir-akhir ini. Mereka yang membawa cinta semu seperti yang dia bilang dulu. Aku iba, sebab ia sedang merendahkan dirinya sendiri. Aku tahu ia tak melacurkan apa-apa dari raganya, tetapi ia sedang melacurkan harga dirinya!

*

D, siapapun kau, di manapun kau, mungkin kau pun bertanya apakah aku termasuk dalam jajaran cinta yang semu itu. Aku tak tahu apa posisiku dalam kehidupannya. Perempuan yang memanggilmu D itu seolah telah menjadi orang terdekatku. Padanya aku membaca cinta, kesungguhan dan luka. Darinya aku mendapat cahaya untuk menemukan jalan, untuk membuang kesedihanku dan menggantinya dengan harapan-harapan baru akan masa depan. Ajaib. Padahal ia masih jalan di tempat, entah kapan keluar dari masalahnya sendiri. Aku merasa ia demikian dekat, demikian dekat. Kau pun mungkin pernah merasakan ia begitu dekat denganmu, dan sangat dekat.

Tak usah menyangkal. Perempuan itu pernah berkisah pada waktu yang lain, tentang malam kalian melihat purnama di tepian rel kereta api di mana di hadapan membentang persawahan. Mungkin kau lupa, maka aku mengingatkanmu. Saat itu kau berkata padanya bahwa perempuan yang memanggilmu D itu adalah sosok perempuan terdekat denganmu, dalam kehidupanmu, setelah ibumu. Kau mungkin tak tahu ia begitu bahagia saat mengingat itu. Ia bertanya di ujung kebahagiaannya, masihkah tempat itu untuknya ataukah ia telah tergantikan. Aku tak dapat menjawab, D, sebab aku tak tahu. Tapi aku menghiburnya bahwa tempat seseorang di dalam hati tak akan tergantikan oleh orang lain. Seperti ruang maya, hati memiliki jumlah ruang tak berbatas untuk meletakkan setiap orang yang masuk ke ruang-ruang tersendiri tanpa harus menyisihkan seseorang. Mungkin, D, kau masih meletakkannya di hatimu meskipun di sudut yang jauh. Mungkin. Aku tak tahu tentang itu. Tetapi mungkin pula kau berusaha menguncinya di sebuah ruangan yang tak dijangkau. Mungkin kau berusaha menghapusnya dengan menghubungi lagi bekas kekasihmu, membangun kontak dengannya, lalu membangun lagi ruangan baru untuk bekas kekasihmu, demi benar-benar menghapus perempuan yang memanggilmu D.

Ia bilang bahwa ia merasakannya, D. Ia tak tahu darimana ia tahu tetapi ada suara di dalam hatinya.

Sampai di sini, kadang-kadang aku ingin marah. Mengapa ada orang yang mencintai dan tak mendapatkan balasan yang indah dari rasa cintanya? Apa yang telah dilakukannya di masa lalu sehingga alam menghukumnya?

‘Aku bukan orang baik’. Ia selalu berkata begitu.

*

Selesai dengan segelas jahe hangatnya, ia memantik rokok. Semalaman ini, baru saat ini ia memantik rokok.

“Aku pernah mengalami bahagia yang hebat saat dengannya. Aku berterimakasih untuk itu. Bahagia yang paling puncak dibanding bahagia-bahagiaku yang lain. Aku pernah dapat mencintai dengan keseluruhan jiwa ragaku, dengan kesediaan untuk melakukan apapun, dan itu jarang terjadi padaku. Aku berterimakasih aku pernah memiliki rasa cinta yang hebat dan kuat. Meskipun segalanya berakhir tak seperti yang aku kehendaki, aku tetap berterimakasih. Tanpanya, aku tak akan menjadi diriku yang sekarang.”

“Kau benar. Itu yang harus kau lewati.”

“Kadang, aku merasa mendendam.”

“Apa yang kau ingin lakukan saat begitu?”

“Aku tak ingin mengenalnya lagi dan tak berharap berjumpa. Namun jika waktu membiarkanku berjumpa dengannya aku ingin melakukan satu hal.”

“Hm?”

“Menampar hingga bibirnya pecah dan berdarah, untuk semua yang telah kualami dan kurasakan hingga hari ini, meskipun itu tak akan pernah sebanding.”

“Kau sangat membencinya.”

“Kau salah. Aku mencintainya.”

Ia membuang puntung rokok ke jalanan. Digamitnya lenganku. Pukul dua lebih kami meninggalkan area alun-alun selatan yang mulai sepi.

Seperti yang kuceritakan di awal, aku telah menyarankannya pulang ke rumah kost, tapi ia beralasan. Matanya mulai memerah dan ia mulai menggigil. Sepanjang jalan kota kami yang mulai beralih diisi para pedagang yang menuju pasar untuk lebih gasik menggelar dagangannya, dinihari itu, ia memeluk pinggangku. Aku merasakan gigil tubuhnya. Aku menarik lengannya agar lebih mendekap tubuhku, dan kujalankan sepeda motor pelan-pelan.

Di warnet, ia membuka situs jejaring sosial dan membalas beberapa pesan. Lalu meringkuk berbagi sofa dengan dudukku. Aku membuka email sambil mendengar gumamnya, masih tentang D. Sampai ia mengigau parah subuh itu, aku masih duduk menjagai tidurnya, sesekali kupandangi wajahnya yang resah. Aku menyimpan igauan itu darinya. Hanya sebuah nama. Yang kucatat dalam hati. Kelak, aku akan membukanya jika waktunya tiba. Barangkali nama itu adalah D yang selalu diresahkannya atau mungkin orang lain. Perempuan itu meskipun sangat dekat denganku saat ini, ia masih demikian misterius. Kadang, aku tak mengerti mengapa ada orang yang bisa meninggalkan dia. Bukankah kemisteriusan itu adalah daya tarik? Ia hitam, gelap, penuh tanda tanya. Ia telah membuatku merasa ingin masuk lebih jauh untuk mengenalinya dan mengerti alasan pilihan-pilihan yang kadang berada di luar jalur nalarku.

Kami di warnet sampai pagi, menghabiskan satu paket akses internet selama lima jam. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menghabiskan penuh satu malam dengan seorang perempuan, bukan kekasihku, hanya seorang yang pernah kukenal di sebuah pantai, yang menunjukkan padaku kekuatan dan keganasan cinta dalam mengubah kehidupan seseorang.

I’ve been sitting, watching life pass from the sidelines. Been waiting for a dream to seep in through my blinds. I wondered what might happen if I left this all behind. Would the wind be at my back, could I get you off my mind, this time....(This Time)


29 September 2009, 22.56, 26A


(Something Inside & This Time, taken from August Rush OST, all by Jonathan Rhys Meyer )








Selasa, 15 September 2009

Confessions of A Broken Heart

September mengingatkanku tentang sebuah hari sebelum pertengahan bulan. Hei, aku sedang sakit. Sakit dada. Sakit jantung. Sakit ingatan. Ingatan tentang hari sebelum pertengahan bulan telah menambah gemetar dan keranyas di persendian. Kau mau membuat aku sekarat? Aku sudah dalam kesekaratan tingkat menengah beberapa bulan terakhir ini. Seperti kanker, jika tak segera ditangani stadiumku akan meningkat dengan cepat apalagi ditunjang gaya hidup tidak sehat yang sudah kujalani sejak hidupku menjadi semakin tidak teratur. Tak ada yang membangunkanku dengan telepon di pagi hari, tak ada yang mengingatkanku untuk makan dan menyuruhku mandi. Aku yang sejak semula sudah memiliki bakat hidup tidak teratur bagai memperoleh angin neraka; hidupku kacau balau. Waktu simpang siur. Jadwal tumpang tindih sehingga makan dan mandi menjadi prioritas kesekian. Hidupku berlari di antara program-program komputer, lelaki-lelaki minus status (dalam kehidupanku), dan jadwal-jadwal kegiatan sastra yang lebih sering tak sempat kuhadiri lagi. Hidup memaksa untuk memiliki sebuah pilihan. Dan aku memaksa untuk mengambil paling tidak dua pilihan sebab tak mungkin mengambil semua pilihan yang disediakan.

Sebuah hari sebelum pertengahan bulan September membawaku memasuki sebuah lorong waktu. Ada aku. Ada dia yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan bulan itu di dalam dokumen-dokumen pribadinya. Dan ada kejadian-kejadian yang terekam dalam memori otak. Senja, pagi, malam. Seribu petualangan di alam, seribu percumbuan di bawah rembulan. Juga seribu pertengkaran yang terjadi di dalam batin, antara aku dan diriku, juga pertengkaran sunyi antara dia dan dirinya sendiri, terkait dengan seribu petualangan dan seribu percumbuan itu. Sebab karenanya seribu larangan telah dilanggar, seribu norma telah diabaikan, dan seribu perjanjian pernah dibuat. Pernah dibuat. Tetapi tak ada realisasi. Seperti sebuah mimpi yang adalah bunga tidur; angan-angan pernah dilepas dan diulur tinggi, lalu angin memberat dan makin memberat, memutus apa yang terulur tinggi itu.

Hei, aku sedang sakit. Aku ingin membaringkan tubuhku di ruang yang tenang dan tak ada cahaya yang menyilaukan. Aku ingin mengeluarkan semua suara bising yang berpusar, berkejar dan membelit-belit itu. Semua suara yang mengingatkan aku; alarm tentang sesuatu di sebuah hari sebelum pertengahan bulan September. Aku ingin beranjak dan mematikan alarm itu (rasanya aku sudah mematikannya sejak bulan Agustus). Tetapi hari ini alarm itu berdentang keras memekak di jantungku. Padahal jantungku sedang sakit. Dadaku sedang sakit. Dan ingatanku sedang sakit. Maka aku tambah sakit. Detak jantungku semakin cepat , dadaku panas. Ingatanku mau meledak. Aku telah menyediakan sebaskom es untuk mengompres. Aku mengompres sendirian. Kubasahi sapu tangan dari salah satu lelaki-ku, kuperas lalu kutempelkan di dadaku. Alarm itu tidak mati-mati. Ada bunyi sirine yang terus menerus di kepalaku.

Aku tersiksa. Sungguh tersiksa.

Aku meraba-raba dinding. Mencari tombol untuk mematikan suara itu. Tetapi tanganku tak menjangkau apa-apa. Aku sedang sakit. Aku tidak sanggup menemukan di bagian mana dalam otakku alarm itu terletak. Dia yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan bulan September bagaikan ideologi laten yang bersembunyi di dalam kepalaku. Tidak hilang. Ada. Dan muncul pada saat paling lemahku, paling sepiku, paling sendiriku dan paling sedihku. Dulu, ia yang pertama muncul dalam kepala di saat sedang bahagiaku. Tetapi beberapa bulan ini aku me-reset semua sehingga bukan dia yang muncul di kepala pada saat-saat bahagiaku. Bukan dia, bukan siapa-siapa. Aku membiarkannya kosong saja. Aku sudah tak perlu lagi membagi segala bahagiaku kepadanya sebab tak bakal ia peduli. Cerita- cerita kehidupanku hanya akan jadi angin lalu saja di telinganya. Melintas dan hilang. Orang-orang hanya peduli pada siapa yang mengambil peran besar di dalam hati dan kehidupan. Aku tidak mengambil peran yang besar, aku tidak memiliki ruang yang disediakan olehnya di dalam hati dan kehidupan, maka tahu dirilah jalan satu-satunya. Tahu diri adalah pilihan yang sulit. Tahu diri juga dapat berarti harus merelakan sesuatu. Tahu diri juga dapat berarti mundur, dan kehilangan kesempatan.

Ia sudah jarang muncul di kepala saat aku sedang bahagia. Tetapi masalah lain, ia justru sangat sering muncul saat aku sedang sedih. Ia adalah point kesedihan. Ia adalah momentum dimana aku tak sanggup mengatasi segala macam yang kurasakan dan kualami, dia adalah momentum hilangnya kontrol atas diriku sendiri. Dan, sekarang, mendekati hari-hari pertengahan September aku serasa dikekang dalam ruangan beton tanpa celah. Ruangan yang terbangun dari campuran kesedihan dan kenangan, kesakitan, kegagalan, keterpurukan. Selalu saja perasaan gagal dan terpuruk mengikuti segala bentuk ingatan tentang dia yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan bulan September. Gagal. Dan terpuruk. Betapa tidak nyamannya perasaan itu

Hei, kau, kau yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan September, kenapa tak membiarkan aku duduk tenang dan tidur nyenyak? Aku masih berputar-putar dalam labirin sementara waktuku sudah habis. Aku masih berputar-putar mencari jalan untuk pergi dari sini. Ruangan ini galau, pucat, perih. Hei, kau, aku hanya ingin merasakan tempatmu yang tenang, tidurmu yang lelap dan mimpimu yang indah. Kau pasti bisa tertawa lepas sebab tak ada lagi yang merecoki hidupmu, tak ada lagi yang merecoki makanan di piringmu, tak ada lagi yang mengganggumu dengan sms-sms atau telepon di waktu-waktu istirahatmu. Kau pasti juga menghapus namaku dari daftar orang-orang yang pantas kau ajak bicara. Kau sudah terbebas. Tak merasa perlu untuk sekedar menyapaku atau bertanya apa kabar. Kau, yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan September, kau memang tak perlu menyapa. Aku menghalangi diriku sendiri untuk mengenalmu lagi. Aku membuat halang rintang di depanku jika itu adalah tentang mengaksesmu, segala informasi atau jalan yang mengarah kepada dirimu. Aku telah dengan kesadaran dan keinginanku sendiri menutup semua celah itu.

Benarkah aku dapat melakukannya?

Di pagi hari, aku masih terbangun dengan resah setelah tidur malam yang selalu terlalu larut dan mendekati dinihari. Aku masih menatap hari dengan nanar. Aku masih diganggu denging dan suara beep di kepalaku yang mengingatkanku tentang dia yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan September. Aku masih diganggu bunyi beep di latar belakang dalam hari-hariku yang sangat padat. Aku masih diingatkan akan sebuah hari sebelum pertengahan September. Alarm sialan itu seperti tak mau patuh dengan perintah berhenti yang kuteriakkan hingga suaraku parau.

Aku memang sudah tak bernama. Tak terekam. Tak memiliki sesuatu yang patut diingat. Maka biarkan aku. Biarkan aku sembuh dan dapat berlari mengejar apa yang jadi impian. Biarkan aku sembuh dan kembali normal, detak jantungku normal, dadaku tidak sakit, ingatanku selalu mengingat yang bahagia. Aku sudah memberi terlalu banyak, aku ingin berhenti memberi. Memberi cinta. Memberi kasih. Aku mau membanting alarm itu seandainya kutemukan dimana letaknya. Aku akan membiarkannya jatuh berkeping-keping dan mati. Benar-benar mati. Segala yang mengingatkanku tentang dia hanya membawaku pada muara yang sama. Aku tambah sakit. Bertumpuk-tumpuk. Maka aku tak ingin mengenalnya. Tidak. Itu sangat menyakitkan. Itu berat. Itu juga menakutkan. Takut aku tak lebih kuat dari sekarang.

Hei, aku menutup telingaku dengan bantal. Aku membenam kuat-kuat di tempat tidur. Aku tak mau mendengar suara beep selirih apapun. Aku tak mau mengingat! Aku mau tepat di sebuah hari sebelum pertengahan September aku telah menemukan letak alarm sialan itu dan membuangnya jauh-jauh ke jalan raya, biar dilindas mobil-mobil yang lewat. Sampai remuk. Sampai lumat. Tak berbentuk. Seperti yang terjadi pada jantungku beberapa bulan yang lalu, dan masih menyisakan nganga yang menetes darah. Perih, tahu!

(seperti yang dikisahkan pelan-pelan kepadaku, waktu demi waktu)



Kamis, 10 September 2009

Perempuan Yang Bercerita Tentang Seseorang Yang Dipanggilnya D (2)

Semalam perempuan itu mengirimiku sms. Ini adalah sms kesekian kali setelah pertemuan kami di pantai waktu itu. Aku telah hampir melupakan wajahnya, tetapi aku tak pernah melupakan tatapan mata yang mampu membuatku kembali dari sebuah perjalanan tanpa ujung yang melelahkan. Aku telah kembali menjadi diriku yang utuh, tetap dengan kenangan menyakitkan itu, tetapi aku tak lagi merasakannya sebagai sebuah beban. Kenangan adalah sesuatu yang tak perlu diperlakukan berlebihan. Dengan sendirinya, dalam porsi yang cukup ia mengambil bagian dalam kehidupan kita. Kita akan menyimpannya dalam lipatan limbik, ia akan tetap di sana, diam, sampai kapanpun.


Ak membuatmu terinspirasi utk lbh mudah melewati kesedihanmu. Mengapa hal yang sama malah tdk kualami?


Mungkin, kenangan membutuhkan waktu untuk mengikhlaskan dirinya disimpan. Kenangan seperti segala sesuatu yang ingin selalu berada di puncak, tampak, terlihat dan tak mau disembunyikan. Kenangan juga memiliki kekuatan untuk menguasai. Kenangan, bersama-sama dengan waktu, pada saat tertentu, akan merampas kekinian dan melemparkan kita ke dalam lorong gelap masa lalu. Yang paling menyakitkan adalah jika kita tak mampu mengatasi kesedihan yang timbul; sebab dari berbagai kasus kenangan lebih kuat menghadirkan kesedihan ketimbang kebahagiaan. Jujurlah, sepanjang hidup sampai hari ini, berapa banyak kenangan yang membuat sedih? Bandingkan dengan kenangan yang membuat bahagia.


Bulsh*t kau bilang kesibukan bisa mengalihkanmu dari sesuatu! Tdk. Tdk. Aku mengalami hari-hari paling sibuk, tekanan , hdp dlm ketakberaturan mengejar deadline. Dan itu semua tak mengalihkan apapun. Dia hdir di dl *some text missing*


*some text missing* m baris-baris coding. Wajahnya jelas saat aku berada di dpn komputer mengerjakan apapun. Tnyata, ak msih dikuasai kenangan.


Aku tercenung. Betapa anehnya kehidupan. Betapa demikian cepat segalanya berubah. Dalam satu detik tawa lepas dapat menjadi tangisan sedu. Dan betapa anehnya pula, pengalaman orang lain dapat membawa kita mengambil jalan benar, tetapi orang lain yang kita jadikan cermin itu masih saja terkungkung dalam kegelapannya, dalam ruangnya sendiri.


Perempuan itu tak saja mengirimiku sms, ia juga menulis surat elektronik. Kotak masuk emailku menampilkan pesan-pesan baru setiap minggu. Dari sana aku tahu bahwa perempuan itu memiliki jadwal tetap online di tengah hari-hari sibuk. Ia barangkali semacam orang yang memiliki kehidupan ganda. Entah menjadi pribadi siapa ketika ia berselancar di dunia maya. Orang-orang berhak memilih untuk jadi diri sendiri atau jadi pribadi yang diinginkan di dunia maya, tak akan ada yang mengeluhkan.


Tahu tidak, Tuhan kan adil. Akan ada balasan bagi setiap perbuatan. Perbuatanku, perbuatanmu, siapa saja. Orang-orang akan menuai dari apa yang ia tanam. Dan tahu tidak, kebahagiaan adalah ketika orang lain menjadi bahagia atas apa yang kita lakukan, bukan menjadi bahagia sendiri tanpa mempedulikan dampak yang terjadi pada orang lain. Satu lagi, tahu tidak, kemerdekaan sejati hadir dari keberanian mengikuti kata hati (:D ini slogan dalam iklan rokok, kubaca di baliho pinggir jalan….) Apa coba kaitannya, kau pasti akan bilang begitu kan? Kapan-kapan aku kirim email lagi, tapi bukan untuk menjelaskan apa kaitan ketiga hal itu. :D


Aku menunggu. Dan email berikutnya memang tak membahas hal itu.


Hai, aku tak ingin lagi merasakan cinta sejati. Setelah kupikir-pikir, cinta semu lebih menyenangkan. Cinta sejati akan membuatmu dikejar-kejar pertanyaan apa kesalahanmu, apa kekuranganmu, dan selalu menuntut pengorbanan yang lebih besar serta pemberian maaf atas kesalahan sebesar apapun. Cinta semu akan melepaskanmu dari hal-hal itu dan akan membawamu bersenang-senang. Sungguh. Coba saja. Dan, tahu tidak, aku menginginkan cinta semu yang banyaaaak!


Itu adalah isi email yang menjadi tonggak perubahan caraku melihatnya. Kepribadian sendu dan teduh yang kubaca dari sikapnya di pantai hari itu, seolah-olah hilang. Aku seolah-olah tak berhadapan dengan perempuan yang sama, yang dengan menggebu-gebu namun sentimental menceritakan seseorang yang dipanggilnya D, yang kelak kusimpulkan sebagai cinta sejati yang ia sebut-sebut itu. Perempuan itu seolah telah jadi orang lain.


Org lain? Betapa cepat kau menyimpulkan sesuatu yg bahkan tak berada di dpn matamu.


Aku ingin menemuinya, setelah emailnya yang terakhir;


Aku masih suka laut. Aku tak menjadi orang lain, tetapi memang ada hal-hal yang harus aku ubah dari pikiranku. Semisal konsep cinta sejati itu. Tak ada yang bisa menjamin bahwa setiap perubahan adalah menjadi lebih baik. Aku banyak mengalami kemajuan dalam kehidupanku, contohnya di bidang pekerjaan, aku juga punya teman-teman baru. Nah. Teman-teman baru membawaku pada cinta-cinta semu yang baru. Tahu tidak, setelah orang-orang dari masa lalu memasuki lagi kehidupanku, aku jenuh juga. Aku butuh sesuatu yang segar, seperti es buah mangga. Segar dan manis. Kemajuan di satu bidang, dan kemunduran di bidang yang lain juga katamu? Haha…kehidupan memang aneh. Tentang kejadian itu aku marah. Aku juga meredam. Aku luka dan jalang seperti Chairil. Aku juga terbuang dari kumpulanku. Asing. Entah bertemu siapa dan menjadi apa. Entah terbang mengikuti angin mana dan sampai ke mana. Aku berdarah. Aku ingin berteriak, memaki, membanting sesuatu, membunuh orang, mencincangnya dan membuangnya ke laut. Tapi hanya ingin. Aku tak mampu. Bahkan untuk meringankan rasa sakit itu aku tak mampu. Hei, kau benar bilang bahwa jangan menekan sesuatu ke dalam terlalu kuat sebab akan berbalik mendorong keluar sekuat kau menekannya. Bolehlah contohmu tentang artis sinetron yang merilis kemarahannya ke dalam video. Tetapi setidaknya aku lebih elegan merilis kemarahanku lewat tulisan-tulisan yang kukirim padamu. Aku sedang menuntaskan kemarahanku. Siapa coba yang mau hidup dengan kemarahan? Itu akan sangat menyiksa. Aku tak mau tersiksa dengan rasa apapun, pun rasa ‘sangat mencintai’. Persetan. Tidak persetan dengan ‘cinta’nya, coz cinta banyak memiliki sisi yang baik. Tahu tidak, aku masih mau bermain cinta, menanggapinya, tetapi tidak untuk cinta yang sejati itu. Sudah sakit-sakit, tidak selalu dihargai. Buka mata. Ada banyak cinta yang bisa mengajak bersenang-senang, tanpa rasa cemburu, tanpa rasa sakit, tanpa pengorbanan atau janji yang muluk-muluk sebab sudah saling tahu itu semu. Sudah ya….aku kasih tahu, sekarang aku sedang dekat dengan seseorang. Cinta semu yang entah keberapa kali kualami lagi sejak kejadian itu. Aku membutuhkan banyak pengalih perhatian, kau mengerti kan?




*


D, siapapun kau, di manapun kau, apakah kau melihatnya seperti aku melihatnya? Kehidupan itu maksudku, apakah kau melihatnya seperti aku melihatnya? Kehidupan itu begitu aneh. Pengalaman membuat orang bertumbuh, benar. Pengalaman juga yang membuat orang terpuruk atau kehilangan kemanusiaannya. Di rumah sakit jiwa, berapa perbandingan pasien yang sakit sebab pengalaman hidup dibanding kelainan genetis? Perubahan kepribadian dapat terjadi tanpa bisa kita duga. Ada orang-orang yang memang kuat menghadapi terpaan badai dalam kehidupannya, ada orang-orang yang tidak sekuat itu. Dalam kasus perempuan yang memanggilmu D, kupikir dan kau pikir mestinya bukan hal yang perlu dibesar-besarkan. Kau percaya, aku pun percaya perempuan itu memiliki kekuatan atas apa yang ditimpakan padanya sebab Tuhan tidak akan mencoba di luar batas ukuran kekuatan. Dia hanya belum dapat kembali dari lorong itu. Dia belum dapat utuh lagi menemukan dirinya sendiri. Dia masih berupa kenangan-kenangan yang terpecah-pecah, dia masih berupa gasing yang belum berhenti berputar meskipun kesibukan menghalanginya dari segala arah. Mungkin, akan butuh waktu lama seperti menyembuhkan cedera.


D, ada kala seseorang berada pada titik seperti daun kering tertiup angin. Tak mengerti dan tak peduli kemana angin akan membawanya. Tak ada rencana. Segala gagasan hanya menjadi gagasan saja. Waktu, lagi-lagi waktu, katanya mampu mengembalikan semua menjadi normal. Benarkah? Selalu ada keraguan; apakah waktu dapat membuat gelas yang pecah kembali utuh, atau membuat buah yang busuk kembali ranum dan harum? Dia, perempuan itu, sedang berada pada kala yang kusebutkan tadi. Perempuan yang bercerita tentangmu itu sedang melayang-layang sebagai daun yang diseret angin kemana-mana dan tak berdaya memenuhi keinginannya untuk jatuh di tempat yang indah. Gagasan-gagasan baik hanya tertinggal sebagai gagasan, sementara ia memilih cara lain untuk menjalani kehidupannya.


Apakah kau melihatnya? Atau kau bahkan tak peduli sama sekali?


*


Aku benar-benar mengambil keputusan untuk menemuinya. Berbekal beberapa baris alamat yang kucatat dalam handphone aku menemukan rumah kostnya. Sepi. Seperti hunian mati. Mungkin sebab aku kesana pada malam, dan orang-orang mulai berangkat tidur. Aku mengetuk. Tak ada jawab. Aku mengetuk lagi. Tak ada jawab lagi. Aku memutar pegangan pintu. Terbuka. Aku masuk. Di dalam tak kulihat siapa-siapa. Pintu kamar mandi terbuka. Aku melongok dan hanya menemukan ember penuh cucian kotor yang direndam. Aku meraba saku celanaku, mengambil handphone.


“Kamu di mana?” aku meneleponnya. Lalu suara derit terdengar. Wajahnya muncul dari jendela kecil yang hanya muat bagi tubuh kurus. Dan untung saja tubuhku kurus. Aku menyelinap melalui jendela itu. Ternyata itu tak menuju ke luar. Ada semacam bunker kecil di belakang, barangkali 1x1 meter lebih sedikit. Cahaya bulan masuk melalui langit-langit tinggi yang terbuka, jatuh membentuk bayang-bayang. Ruangan itu gelap, dan dia duduk di sana. Memandang ke atas. Seperti bercakap-cakap dengan bulan melalui sinar matanya. Dan ia tak pernah lepas dari batang-batang rokok itu. Puntung berserakan.


“Indah tidak? Inilah alasanku mengambil kamar ini. Ada ruangan rahasia di sini. Aku bisa menatap bulan jam dua malam sekalipun, sendirian, aman, tidak kedinginan.”


Lalu kami hanya diam sepanjang malam itu. Melihat bulan sampai tak terlihat lagi. Setidaknya aku lega ia baik-baik saja, meskipun tampak lebih tirus dan kurus. Dan lelah. Mungkin sebab pekerjaan yang menekannya akhir-akhir ini. Setidaknya ia baik-baik saja, secara fisik. Ia sempat bergurau bahwa cinta yang membuatnya selalu merasa punya arti hidup di dunia ini, tetapi cinta juga yang membuatnya merasa benar-benar tidak berarti. Cinta membuatnya merasa sangat fit, dan cinta juga yang mengirimkan penyakit-penyakit psikosomatis pada tubuhnya. Di dalam bunker itu, kami sama-sama merenungkan perjalanan, dan berpikir untuk berhenti sejenak melepas lelah. Adakah yang bisa menyembuhkan luka hati selain ketulusan? Adakah yang bisa mengembalikan harapan setelah putus asa, selain sisa-sisa harapan itu sendiri?


I may never find all the answers
I may never understand why
I may never prove what I know to be true,
But I know that I still have to try

If I die tomorrow I'd be all right,
Because I believe that after we're gone
The spirit carries on

(Dream Theater)


(subuh di 26A, lorong waktu yang baru……………..)

Senin, 17 Agustus 2009

Perempuan Yang Bercerita Tentang Seseorang Yang Dipanggilnya D

How can I just let you walk away, just let you leave without a trace
When I stand here taking every breath with you
You're the only one who really knew me at all

How can you just walk away from me, when all I can do is watch you leave
Cos we've shared the laughter and the pain, and even shared the tears
You're the only one who really knew me at all

So take a look at me now, 'cos there's just an empty space
And there's nothing left here to remind me, just the memory of your face
Take a look at me now, 'cos there's just an empty space
And you coming back to me is against all odds and that's what I've got to face

I wish I could just make you turn around, turn around and see me cry
There's so much I need to say to you, so many reasons why
You're the only one who really knew me at all

So take a look at me now, 'cos there's just an empty space
And there's nothing left here to remind me, just the memory of your face
Take a look at me now, 'cos there's just an empty space
But to wait for you, well that's all I can do and that's what I've got to face
Take a good look at me now, 'cos I'll still be standing here
And you coming back to me is against all odds
That's the chance I've got to take

Just take a look at me now

(Phil Collins)



Perempuan itu bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D. Sudah satu jam aku duduk di atas pasir, di dekatnya, mendengarnya. Saat dia bercerita mendadak lautan seolah bisu. Angin diam. Ombak diam. Bagai melihat sebuah film bisu. Aku merasakan angin, merasakan jilatan ombak di kakiku yang telanjang. Tapi indera pendengarku tak bekerja selain menangkap suara perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D. Suaranya menyihirku. Suara itu terdiri dari nada-nada yang cenderung rendah. Seharusnya timbul tenggelam di antara suara deburan ombak di saat normal.

Perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D, kukenal beberapa saat yang lalu. Aku menyusuri pantai ini untuk mengenang kekasihku, lalu bertemu dengan perempuan itu. Ia sedang berusaha menyalakan pemantik ketika aku lewat di sampingnya. Ia tidak peduli denganku. Ia tidak memandangku. Bahkan matanya menembus tubuhku saat kusengaja berdiri di jurusan pandangnya. Akhirnya kudekati dia. Kuhalangi angin agar dia bisa menyalakan pemantik itu. Ia tidak berkata apa-apa, hanya matanya mengisyaratkan sesuatu semacam terima kasih. Ia membiarkan aku menjatuhkan tubuh di sampingnya.

“Sendirian?” Ah. Aku seharusnya menyapa dia dengan kata-kata yang lain. Tapi dia tersenyum. Dan tidak menjawab pertanyaan bodohku tadi. Bukankah memang sudah jelas dia sendirian?

“Harusnya tadi kau bertanya apa yang sedang ada dalam kepalaku.”

“Memangnya apa yang sedang ada dalam kepalamu?”

“Mau mendengar ceritaku?”

Aku mengisyaratkan tak keberatan. Kenapa tidak, aku juga sedang enggan mengingat kesedihan yang pernah menimpaku di sini. Lalu perempuan itu mulai bercerita. Cerita yang melompat-lompat . Cerita yang akan sulit dimengerti jika ditulis dalam sebuah cerita pendek. Cerita-ceritanya berupa mozaik yang terlepas satu sama lain. Aku menghubungkannya sendiri dengan kemampuanku melihat hal besar dari detail-detail yang kecil.

Perempuan itu menceritakan tentang seseorang yang dipanggilnya D. Perempuan itu tidak memberitahukan siapa seseorang yang dipanggilnya D itu dalam kaitan dengan kehidupan pribadinya. Tapi menilik dari kedalaman ia mengenal seseorang yang dipanggilnya D, aku menarik kesimpulan bahwa seseorang yang dipanggilnya D adalah sosok yang telah sangat ia kenal. Perempuan itu mengerti segala kebiasaan seseorang yang dipanggilnya D, mulai dari makanan dan minuman kegemarannya, buku yang dibacanya, serial yang tak pernah dilewatkannya, selera berbusananya, bahkan tahap-tahap saat ia tertarik untuk bercinta. Perempuan itu menuturkannya seperti seorang guru menyampaikan materi ajar yang sudah dikuasainya bertahun-tahun. Ia hanya jeda untuk mengisap rokok yang terselip di jarinya, atau menyalakannya lagi ketika angin membuatnya padam. Satu dua kepulan asap. Lalu mengalir lagi segala yang seolah sudah disiapkan dan dilatihnya untuk diceritakan padaku. Padahal kami baru saja bertemu.

Dari mozaik-mozaik yang tidak beralur itu aku menangkap kepedihan. Perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D itu kadang tertawa lepas saat sampai pada bagian-bagian lucu, tetapi pada saat yang bersamaan matanya terlihat berkaca-kaca. Aku melihat ada yang bertolak belakang antara mimik yang berusaha dimunculkannya, dengan ekspresi yang tersirat di kedalaman matanya. Ada yang bilang bahwa mata tak bisa menyimpan kebohongan.

Memang, kemudian ia jujur pada mozaik yang terakhir. Ia tengah dirundung kesedihan . Ia telah kehilangan seseorang yang dipanggilnya D, yang diceritakannya itu.

“Apa ia pergi dengan wanita lain?”

“Mungkin.”

“Atau ia membohongimu?”

Ia membuang rokok yang tinggal puntung. Meraba ke dalam tas kecilnya, mengeluarkan kotak rokok lalu menarik sebatang dari dalam sana. Beberapa detik kemudian suara pemantik terdengar berulang-ulang. Aku menghalangi angin dengan telapak tanganku agar pemantiknya menyala.

“Mungkin ia membohongiku. Eh, kau tidak merokok?”

Aku menggeleng. Aku menatapnya memberi isyarat bahwa aku ingin tahu kelanjutan jawabannya.

“Aku merasa dia membohongiku. Itu saja. Tak banyak yang bisa kukatakan.”

Angin terasa bertiup menerbangkan pasir ke wajahku. Tapi aku masih tidak mendengar suara angin ataupun suara laut dan orang-orang yang berkejaran di sana. Suara perempuan itu magis. Maka ketika ia terdiam sejurus lamanya setelah mengucapkan kalimat itu, kehidupan terasa mati di sekelilingku.


Perempuan yang sedang berhenti bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D kini menghembuskan asap rokok ke atas, yang segera tersapu angin pantai yang bertiup cukup kencang. Rokoknya berkali-kali padam sepanjang kami duduk di sana. Lalu seperti tadi, ia memandang kosong ke laut lepas. Kami sama-sama diam. Aku menunggu. Akhirnya suara itu memupus kesepian di sekelilingku.

“Apakah perhatianku membuatnya tidak nyaman? Aku selalu ingin memberi, tidak pernah memperhitungkan berapa banyak. Jika ia menginginkan sesuatu, aku selalu berusaha mendapatkannya untuk dia. Apakah aku bersalah? Mengapa ia dengan mudahnya melakukan itu, setelah kuberikan padanya hampir semua yang kumiliki dan semua yang bisa kuusahakan? Sampai detik aku bercerita padamu ini, aku masih tak sanggup membenci dia. Aku hanya bisa memilih untuk tidak mengenalnya lagi. Tidak sedikitpun. “

Perempuan itu memuntahkan semuanya. Itu adalah bentuk nyata dari bayangan kepedihan yang ditekan di balik sinar matanya. Ia tidak menangis. Tetapi aku melihat tangisan yang mahahebat di balik pancaran sinar matanya. Mungkin ia telah menangis berkali-kali sebelum ini. Ia hanya menghirup udara banyak-banyak untuk memenuhi paru-parunya. Aku tiba-tiba menggenggam tangannya. Perempuan itu tidak menepiskan genggamanku. Aku teringat kekasihku. Kekasihku hanyut di pantai ini hanya sesaat setelah kami memerankan sebuah kisah tentang laut dalam pementasan terakhir teater kami. Setelah itu teater kami bubar. Masing-masing berpencar menjelajah kehidupan nyata dengan membawa sebuah kenangan ganjil yang menyakitkan. Terlebih-lebih aku. Aku terkungkung dalam kesedihan yang tak mampu kuungkapkan. Kesedihan itu bergumpal makin masif menjajah tubuhku. Berkala, aku menghidupkan kekasihku dengan menyusuri pantai ini sendirian.

Aku mencium jemari perempuan yang duduk di sampingku. Terlarut dalam tangisan yang terperangkap di dalam matanya, aku seperti melihat diriku sendiri. Aku mendadak terisak. Air mataku turun. Tuhan, aku ingat belum pernah bisa menangis sejak kehilangan kekasihku.

“Hei, kau menangis?”

Aku menantang pandangan matanya. Ia bertanya dengan tatapan yang aneh.


*

D, siapapun kau, di manapun kau, aku hanya ingin menuliskan sesuatu setelah pertemuanku yang hanya sekali itu dengan seorang perempuan yang memanggilmu D.

Masa lalu. Ada orang-orang yang ketika diingatkan akan sesuatu yang telah terjadi dan terlipat di dalam waktu, mereka berkata; ah, itu masa lalu. Hei, bukankah seseorang tak akan pernah menjadi dirinya kini jika tidak melewati sesuatu bernama masa lalu itu? Tidak ada yang pernah terbuang percuma di dalam hidup, meskipun ada kejadian-kejadian yang membuatmu merasa membuang waktu. Kenangan. Itu adalah hal lain yang berbanding lurus dengan masa lalu. Kenangan akan membentuk dirimu menjadi manusia yang utuh. Mungkin kau memang akan merasa terperangkap di dalamnya. Mungkin kau pernah berpikir untuk melupakannya, bahkan mengingkarinya, menyangkalnya ketika teman-temanmu mengingatkanmu tentang kenangan itu. Mungkin kau mempunyai seribu satu macam alasan untuk menekannya dalam-dalam. Tetapi, D, kenangan tidak akan pernah mati. Apa yang tak abadi, ia akan abadi dalam kenangan, ia akan abadi bersama waktu. Saat segalanya mati di bumi ini, waktu tidak mati.

*

Setelah membuang kotak rokoknya yang telah kosong, perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D, menepiskan genggamannya, dan beranjak.

“Aku ingin pulang.”

Aku berdiri. Tepat di hadapannya. Aku menawarkan sebuah pelukan, karena aku sendiri merasa membutuhkan pelukan. Entah mengapa kenangan membuncah-buncah tentang kekasihku saat aku berdiri di hadapannya; seolah-olah kepedihannya mewakili apa yang menggumpal masif di dalam diriku. Ia menyambut pelukanku, dan berbisik.

“Suatu waktu, aku pernah berharap ia akan memelukku seperti ini, sekali saja untuk saat yang terakhir, agar aku bisa melepaskan himpitan yang menyesakkan dadaku. Tetapi tidak. Begitu saja. Maka aku meraba dalam gelap, aku berenang menggapai permukaan tanpa pedoman.”

Lalu aku dan perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D berpisah. Seperti pertemuan kami, laut dan semesta masih diam. Langit diam. Pasir diam. Angin diam. Perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D lebih dulu meninggalkan pantai. Aku melihat lambaian rambutnya untuk yang terakhir kali di tikungan, sedikit terhalang pokok cemara laut yang tumbuh sedang. Lalu aku pulang.

...masih terasing di 709, 13 Agustus 2009



Selasa, 11 Agustus 2009

Kota dan Kekasih

Aku selalu membutuhkan seseorang di setiap kota yang kukunjungi. Aku selalu merasa takut sendirian, kesepian dan tak dibutuhkan. Kota yang riuh terlihat seolah-olah sebagai binatang buas yang hendak merobek tubuhku dengan taring-taringnya yang tajam. Aku butuh pelindung. Aku butuh kekasih. Karenanya aku selalu memiliki seorang kekasih di setiap kota yang kukunjungi. Ada orang-orang yang bersedia menjadi kekasih hanya pada saat aku berada di kota itu. Mereka pun pasti memiliki kekasih lain di kota yang sama atau bahkan di kota lain tetapi aku tidak peduli. Di antaraku dan kekasihku di setiap kota telah terjalin pengertian yang cukup, bahwa kami adalah sepasang kekasih hanya jika aku berada di kota lelaki itu. Kami akan mengabaikan kekasih-kekasih lain pada saat itu dan membiarkan hati mengembara lepas dari tataran norma.

Maka hal itu pula yang membawaku mengenal An. Lelaki pendiam yang perfeksionis. Ibarat sungai, An adalah permukaan tenang namun menyimpan arus bawah yang deras. Arus bawah itu tak mampu kuhalang dengan bendungan yang selama ini aku siapkan di depan kekasih-kekasihku yang lain. Arus An terlampau kuat dan menyeretku ke palung yang berpusar-pusar ketika aku mencoba berenang melawannya. Maka aku terseret semakin dalam. Dan An adalah kekasih yang kutemukan di kotaku sendiri. Sesungguhnya ia kekasih yang kusembunyikan sebab di kotaku aku telah memiliki seorang kekasih lain yang kuperlihatkan kepada umum.

Suatu malam ketika matahari telah lama pulang, di pantai di belakang rumah, di kotaku, aku berpelukan dengan An memandang ke langit di atas laut lepas. Siapapun akan melihat kami sebagai sepasang kekasih yang mabuk, dan memiliki seluruh yang ada di muka bumi ini sebab kami tak peduli apapun yang bernyawa di sekitar.

“Waktu aku kecil, aku sering berbaring di halaman belakang menatap langit bersama kakekku. Kau tahu apa yang diajarkannya padaku?”

Aku menggeleng.

“Rasi.”

Aku memandang langit. Bintang-bintang bertebaran membentuk gugus-gugus. Aku tak bisa membaca rasi.

“Kau tarik garis antara bintang-bintang itu.” An menunjuk ke arah bintang-bintang yang dimaksud, tetapi terlalu banyak bintang yang tak bisa kubedakan. “Itu rasi layang-layang.”

“Oh.”

“Kau tak mengerti kan?” An tertawa kecil membaca ketakmengertianku. Pelukannya menguat.

“Nikmati saja bintangnya.”

Dan kami berpelukan dalam diam. Dalam desauan angin pantai malam hari. Aku tak pernah menyangka malam itu adalah malam terakhir di pantai bersama An.

*

Aku memang sering pergi ke kota-kota lain dan memiliki kekasih-kekasih yang lain. Di kota Y, aku memiliki kekasih pemain band kafe yang cukup digandrungi perempuan. Aku tahu kekasihnya bertebaran dimana-mana sebab ia tipe lelaki yang mudah mendapatkan perempuan untuk diajak berhubungan serius atau hanya sekedar berhubungan semalam saja.

“Kapanpun kau ke kota Y, hubungi aku. Buat kau, aku selalu ada.”

Dibuktikannya dengan hampir tak pernah menolak permintaanku jika aku berkunjung ke kotanya, dari mulai minta dijemput hingga dicarikan tempat menginap yang secure. Kadang ia bersedia membatalkan janji dengan seorang perempuan lain demi aku. Aku cukup senang dengan cara-cara dia memperlakukan aku. Aku sangat merasa aman dan terlindungi di kota Y. Sedangkan di kota K, kekasihku adalah seorang suami dan calon ayah dari janin yang dikandung istrinya. Sejak sebelum dia menikah,ia telah ada sebagai kekasihku di kota itu. Semula aku hendak berhenti menjadikannya kekasih sebab aku merasa sangat berdosa terhadap istrinya dan aku sendiri sebetulnya jijik terhadap perempuan yang berkasih-kasihan dengan suami orang. Tetapi ia menyampaikan keberatan. Ia mau aku tetap sebagai kekasihnya jika aku berkunjung ke kota K.

“Bisa kan kita bersembunyi di celah kesempatan?” tawarnya suatu hari ketika aku telah berniat meninggalkannya. Matanya adalah mata yang magis. Yang tidak pernah mampu kukatakan tidak pada sinar mata yang seperti itu. Maka hingga kini kami masih saling menganggap sebagai kekasih meskipun dengan frekuensi pertemuan yang hampir tak pernah. Kadang-kadang aku berkunjung ke kota K tetapi tidak lagi mengabarinya. Terpikir akan menggeser posisinya dengan kenalanku yang lain di kota K.

Di kota S, seorang lelaki ambisius menyediakan dirinya untukku. Ia tipe lelaki yang bisa melakukan apa saja untuk menyenangkan dan mengambil hati pasangannya, menggelapkan uang kantor pun dilakoninya. Aku geli sekaligus kasihan ketika ia menerima surat peringatan dari kantornya yang terakhir sebab memakai uang kantor tanpa alasan jelas. Kadang, pasak memang terpaksa lebih besar dari tiang, tetapi sesungguhnya aku bukan perempuan materialistis. Hanya saja jika seorang lelaki memberikan apa-apa untukku, kukira tak ada alasan untuk menolaknya. Lagipula orang tak bisa hidup hanya dengan berkasih-kasihan saja, semua akan kembali pada materi. Kekasih di kota S ini sepertinya benar jatuh cinta padaku. Tapi aku hanya membutuhkan perasaan dilindungi, dicintai dan dibutuhkan, aku menolak hubungan serius yang ditawarkannya. Aku belum ikhlas menyerahkan diriku dalam ikatan yang erat hanya pada satu kekasih. Aku terbiasa memiliki banyak kekasih dan banyak cinta. Aku ragu apakah aku akan merasa cukup hanya dengan memiliki semua itu dari satu orang.

Dan di kotaku sendiri, aku memiliki seorang kekasih yang kuumumkan kepada publik. Di kota ini, aku membutuhkan status sebagai kekasih seorang lelaki yang sering terlihat bersamaku kemana-mana. Aku tak ingin dikata-katai buruk oleh lingkungan sekitarku jika aku terlihat sangat sering bersamanya tetapi tak terjalin sesuatupun. Tentunya ia pun keberatan untuk terus bersamaku jika tak ada hubungan yang jelas. Keberadaan kami dalam satu kota menjadikan ia kekasih yang paling intens pertemuannya denganku. Ia sepertinya terlihat cukup dengan ini; kuakui keberadaannya sebagai kekasih dan kuperkenalkan kepada keluargaku. Sejujurnya, tentang cinta, aku cukup pusing dan tak mengerti. Banyak cinta yang diberikan padaku, tetapi aku tak yakin apakah aku pernah benar-benar jatuh cinta dalam hubungan-hubungan itu. Dengan kekasih di kotaku sendiri pun, aku tak yakin aku pernah jatuh cinta meskipun ia kekasihku yang kuakui di muka umum.

Semua itu sebelum aku mengenal An. An yang tak antusias, tak perhatian, tak peduli. An yang jarang bilang cinta tapi katanya mencintaiku dengan sungguh-sungguh. Perlahan tapi pasti, sikap An yang tak menganggap itu membuatku menyadari bahwa sesuatu sedang terjadi di dalam hatiku. Seperti perut bumi yang semula diam, kini bergolak memunculkan kepundan. Kepundan yang semakin lama membuat hawa semakin panas itu akhirnya meledak suatu ketika. Aku jatuh cinta pada An. Sebenar-benar orang jatuh cinta, sebenar-benar orang mabuk sesuatu yang belum pernah disentuhnya selama ini. Akibat yang tak terduga, aku mulai perlahan meninggalkan kekasih-kekasihku yang lain. Juga kekasih di kotaku sendiri. Mereka tentu saja bertanya-tanya, dan aku menjawab bahwa aku sedang jatuh cinta. Kekasih-kekasih di kota-kota lain cukup mengerti meskipun aku tahu mereka keberatan kehilangan aku. Sebaliknya, lahar panas dari kepundanku yang meledak itu seketika menyapu pohon-pohon besar ketika kekasih yang kuakui di depan umum mengetahui alasanku. Untung saja aku masih menyembunyikan An, sehingga tak perlu terjadi pertikaian. Tapi An, tanpa kumengerti, menarik diri. Perlahan memang, tapi aku sangat merasakannya.

“Mengapa?” tanyaku suatu hari. Ia tak memberikan alasannya. Berhari-hari aku mengejar untuk sebuah jawaban dari pertanyaan apakah dia tak lagi mencintaiku. An bilang, aku boleh percaya atau tidak, ia masih mencintaiku. Ia bahkan teramat sangat mencintaiku, tetapi ia memohon aku untuk meninggalkannya (aku sempat berpikir mungkin aku terlalu tak baik di mata An, hingga ia menghendaki itu). Aku berkata padanya bahwa apapun yang dia lakukan untuk membuat aku meninggalkannya, aku tak akan pernah meninggalkannya. Kecuali ia berkata bahwa ia tak lagi mencintaiku. Pada kondisi seperti itu tak mungkin aku terus menyakiti diri sendiri dengan memberikan cinta yang tak dibutuhkannya, bukan? Seperti menggarami lautan. Aku tak akan mempertahankan orang yang memang sudah tak mencintaiku, karena semua akan percuma, betapapun aku sangat mencintai dia. Dan entah sebab An membaca sinyal atau memang menuruti kata hatinya, suatu hari ia mengatakannya padaku tanpa bertatap muka (teramat hancur aku! Apakah ini adalah balasan akibat aku terlalu sering mempermainkan orang-orang yang jatuh cinta padaku?).

Jgn hub aku lg. Ak g cinta lg.

Itu adalah pukulan terhebat. Aku sampai pada sebuah titik dimana ketakutanku berkumpul, rasa gamang menapaki hidup semakin tajam tanpa yang kucintai berada dalam genggamanku. Aku seperti mencapai sebuah puncak lalu kembali ke awal lagi. Aku dilempar ke atas dengan kekuatan penuh. Lalu jatuh dengan keras. Teramat aku mencintai An, hingga detik ini aku masih tak tahu harus berbuat apa.Aku telah meninggalkan semua kekasihku, demi cinta yang kurasakan, yang akhirnya meninggalkan aku. Maka di sinilah aku sekarang, di sebuah kota lain yang hiruk pikuk, yang lebih buas dari binatang buas manapun. Jauh dari siapapun. Sendirian. Setiap malam menatap langit dari jendela di lantai dua, berharap bisa membaca sebuah rasi bintang, lalu tidur dan bermimpi kembali ke pantai malam itu, dan tak pernah bangun lagi.

Room 709, 21:19, 4 Agustus 2009




Rabu, 10 Juni 2009

Aku Merindukanmu

Aku merindukanmu. Seperti mawar
tanpa pertolongan musim manapun
mekar diamdiam. Meruakkan gelisah

Kali ini kubiarkan. Tak kuarung waktu
mencarimu. Lalu siasia belaka seperti yang biasa
terjadi

Sebab kerinduan, sayang, satusatunya
yang tersisa dari kepergian paling merah
Ketika matamu melepas warna asing dan kutemukan diriku
runduk serupa pokok cemara laut muda
belum kukuh menahan liukan angin

pantai

Sebab kerinduan , sayang, satusatunya
yang mampu kutangiskan dalam puisi
setelah siluet dan bau tubuhmu dilarikan
cinta

ke selat yang jauh

Maka kudiamkan saja bau gelisah
memusimkan diri di kamar tidurku
tanpa pertolongan cuaca pertemuan manapun

Rabu, 04 Maret 2009

…. Maka Semua Akan Menjadi Kekasihmu

Kau menggunakan search engine untuk mencari ilmu ikhlas. Kau lebih berpikiran praktis untuk mendapatkan sebuah informasi dengan cepat, ketimbang tanya sana-sini atau hunting ustadz ke pesantren-pesantren. Menurutmu itu kelamaan meskipun kau mengakui bahwa informasi yang kau dapat dari ahlinya pasti lebih ngelotok dan terfokus. Kau hanya menginginkan informasi segera saat ini sebab hati dan tubuhmu sudah tak kuat lagi, ingin tahu apakah ilmu ikhlas memang mampu mengobati sakit perasaan macam yang kau rasakan itu. Barangkali kau, juga orang lain yang penasaran dengan ilmu ikhlas, terinspirasi dari kisah rekaan tentang anak band yang jatuh bangun mencari dan memenuhi syarat dari pak haji demi mendapatkan restu mempersunting putrinya, mulai belajar shalat hingga belajar ilmu ikhlas itu. Bahkan ketika kau mengeksekusi kata kunci ilmu ikhlas di kotak search engine, hasil pencarian memunculkan banyak sekali nama Fandy, tokoh anak band dalam cerita rekaan itu. Jangan-jangan dia jadi lebih terkenal daripada ilmu ikhlas itu sendiri. Kau memilah dan menyalin beberapa artikel yang tidak berkaitan dengan kisah anak band itu, kemudian menyimpannya di flashdisk,lalu membayar akses internetmu. Pulang.

Kau tak asing dengan kata ikhlas. Sejak usiamu kanak-kanak kau telah diajari oleh orang tuamu bagaimana membagi jajan dengan kawanmu, ketika remaja kau dengan sendirinya telah mengambil tindakan membantu seorang ibu tua menyeberang jalan, di beberapa kesempatan kau juga menyisihkan uang sakumu untuk memberi pengemis di lampu merah. Semua kejadian itu lalu kau lupakan. Kau memiliki semboyan sendiri tentang ikhlas yang kedengarannya seperti kata-kata dalam sebuah iklan; berikan dan lupakan. Tapi kali ini, ketika kau telah memberikan dan dituntut untuk melupakan, rasanya demikian berbeda. Kau tak pernah hujan airmata setelah memberikan recehmu pada pengemis, tak pernah menghujat dunia ini tak adil ketika jajan bagianmu lebih kecil daripada yang diterima adikmu. Kali ini, ya, kali ini, kau mengalami yang tak pernah kau alami itu. Keberatanmu untuk ikhlas kali ini bukanlah terhadap apa yang sudah kau berikan, tetapi terhadap apa yang sangat kau inginkan, kau usahakan namun tak kau dapatkan juga meski berpeluh-peluh sudah tubuhmu dan berurai-urai airmatamu. Kau sangat menginginkannya tetapi garis hidupmu berkata lain.

Di rumah, kau membuka data dari internet tadi. Kepalamu sesungguhnya sangat sakit sebab migrain yang selalu menyerang bagian kepala yang sama; kanan. Tetapi sakit kepala itu tertindih kesakitan lain dari dalam tubuhmu. Yang tak terperikan dan tak ada obat medis yang mampu menyembuhkannya.

Layar word terbuka di depanmu.

…. Salah satu ilmu yang paling sulit dikuasai manusia di muka bumi ini adalah ilmu ikhlas. Ilmu ini banyak diserukan oleh orang, namun tidak semua mampu menguasai secara penuh.

…. Mereka memang gampang bilang ikhlas, yang pontang-panting yang ngejalanin.
Kecongkakan dan kepongahan membuat kita kadang lupa bahwa masih ada yang mengatur kita sesuai jalur yang ada. … bahwa dibalik semua yang terjadi akan ada hikmah yang mungkin akan kita ketahui kelak di kemudian hari. … bahwa kalau kita tidak bisa mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, maka Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik.
…. Kesulitan mempelajari ikhlas adalah karena demikian simpel dan sederhananya sehingga pikiran kita malah sulit mencerna. Selain itu, ikhlas memang aktivitas yang berhubungan dengan hati sehingga untuk memahaminya kita harus menutup pikiran, dan mulai berlatih menggunakan hati. Intinya mengalokasikan kesadaran dari otak ke dalam hati.

Kau menarik nafas panjang. Teringat percakapan sms dengan seseorang entah berapa minggu yang lalu.

Knp skt? Coz km g ikhlas.

Emg gampang ngikhlasin kmu?

Mengapa perpisahan harus selalu terjadi, meskipun kita tak menghendakinya dan tak pernah terlintas sama sekali di dalam pikiran? Perpisahan yang enak katanya tidak menyisakan perasaan sakit atau tekanan-tekanan atau keberatan-keberatan tertentu. Kau tak mengalaminya. Kau malah merasakan seolah nyawamu diambil paksa saat kau belum ingin mati (perumpamaan yang aneh, apa ada orang yang menginginkan mati?). Tapi seperti itulah. Seperti Izrail yang tak mau diajak bernego lagi soal waktu pencabutan nyawa, perpisahan pun begitulah. Harus terjadi jika saatnya memang telah tiba. Tak peduli kau menangis gero-gero atau berlutut memohon. Dan itu jugalah yang terjadi. Kau harus melepaskan sesuatu atau seseorang dalam perpisahan itu. Kau melepaskan sesuatu sekaligus seseorang dalam perpisahan itu. Kau melepaskannya. Tapi kau tidak mengikhlaskannya. Orang lain akan melihatmu biasa saja tetapi di dalam tubuhmu terjadi pertarungan antara ikhlas dan ego. Pertarungan yang sangat perang!

Knp kmu g mau mempertahankan ak, pdhl km bisa kan?

Ak bukan perusak tatanan. Biar semua tetap bgtu.

Kisahmu ini sebenarnya sangat klise. Semacam picisan Gibran tentang seorang lelaki yang ditinggal menikah oleh kekasihnya, atau tentang perempuan yang meninggalkan kekasihnya untuk menikah dengan orang lain (apa bedanya?). Perpisahan - yang sok ikhlas - tersebab begitu, dalam bahasa yang puitis, kau katakan; mereka telah membunuh dirinya sendiri di hari pernikahan itu. Dan, dalam kisahmu, seseorang yang tak kau ikhlaskan itu adalah seorang berhati baik. Kau tahu ia merasakan sama sakit sepertimu tetapi ia tak sepertimu yang mengumbar rasa sakit kemana-mana, ke telinga orang-orang yang sudah muak mendengar bahkan ke dunia maya. Dia menyimpan perasaannya sendiri seperti seorang nyonya kaya pelit mengunci perhiasan di dalam kotak. Berlapis-lapis gembok ia buat bahkan udara pun sulit keluar masuk. Kau hanya diperbolehkan tahu bahwa ia mencintaimu. Kau pernah bertanya cinta macam apa yang mampu melepaskan yang dicintai begitu saja, dengan kepasrahan penuh. Dia menjawab; ‘Cara pandang kita terhadap cinta barangkali berbeda. Cinta itu tidak menyakiti’. Kau berpikir mungkin kau memang egois. Maka timbangan ikhlasmu terlihat seperti papan jungkat-jungkit yang kelebihan beban di satu sisi; itulah egomu. Sebab ikhlas dan ego berbanding terbalik.

Apakah km sebenarnya ikhlas melepaskan aku?

Gak. Tapi aku berusaha. Dan aku gak akan berhenti bermimpi. N tetap punya harapan coz harapan yg membuat org tetap bsemangat.

Ajari aku.

Hanya kmu sendiri yg tau caranya.

How?

Back 2 hti nurani. Slama ni kita dibutakan sesuatu yg kita blg cinta. Tp pernah gak kita berpikir bhw kita mgkin sdg dikuasai nafsu?

Tp knp demikian mengikat?

Karena memang begitulah sifat nafsu.

….
menjadi ikhlas itu adalah proses. Kita harus melatihnya dalam setiap bagian kehidupan. Ini karena ikhlas tidak mudah dilakukan.

…keikhlasan dimulai dari hati.

Kau tercenung di depan layar komputermu. Artikel-artikel itu sudah kau baca semua. Kau telah mendapatkan semua informasi yang kau mau. Tapi di dalam hatimu masih saja terjadi perang. Egomu masih lebih kuat, seperti kebanyakan manusia lain. Kau membutuhkan sesuatu yang lebih besar, mungkin semacam shock theraphy. Kau terlalu mencintai dia. Kekasih yang kau lepaskan itu. Kekasih yang padanya kau biarkan pertama kali kulitmu disentuh, hatimu disentuh. Orang-orang barangkali bertanya kenapa kalian berpisah. Kau hanya menggeleng. Biarlah tak terungkap pada orang lain, biar tak dibicarakan sebab sudah cukup sakit mengetahuinya sendiri. Kau dan kekasihmu memang harus berpisah, dalam keadaan saling mencintai pada puncak cinta itu, dalam situasi segalanya terasa begitu indah. Ikhlas atau tidak ikhlas.

Kau membunuh komputermu. Ilmu ikhlas itu tak semudah ngoprek hardware atau menulis program komputer. Ilmu ikhlas pun tak lantas dapat kau kuasai meskipun kau baca semua artikel yang dihasilkan search engine. Belajar ilmu ikhlas itu berarti mereset ulang pikiran, hati dan cara pandangmu. Bagaimana tidak? Kau minimal musti melakukan beberapa hal ini: bersyukur, mengubah pola pikir, menyadari bahwa semua adalah titipan Tuhan lalu membesarkan hatimu sendiri. Sesungguhnya kau beruntung karena kekasihmu yang kau lepaskan itu adalah orang baik yang mengajakmu berpikir positif dan mencari ilmu ikhlas. Perpisahan kalian memang menorehkan rasa sakit yang amat sangat. Tak saling memiliki namun cinta dan nafsu yang ada diantara kalian telah demikian besar. Telah tak terbendung sehingga perasaan-perasaan itu seolah hendak mengalahkan kuasa Tuhan. Tetapi kalian perencana. Hanya perencana. Sungguh.

Ap kamu sekarang bahagia?

Gak. Tp ak yakin suatu hari bs bahagia. Km juga hrs yakin bs lewati ini semua.

Saat kau menuntaskan pelajaran teori ikhlas, beberapa kilometer jauhnya darimu seseorang pun sedang merasakan sakit yang ditanggungnya sendiri, tak ia katakan pada siapapun kecuali padamu, pada waktu-waktu tertentu. Ia mencintaimu seperti kau mencintainya. Ia peduli padamu dengan cara yang tak perlu kau tahu. Ia memilih jalan Tuhan ketimbang jalan para iblis yang tak ikhlas, menuntut dan mendendam. Dialah sebenar-benar pecinta sebab mampu melepaskanmu yang tidak menjadi haknya, dengan penuh, dengan rasa sakit yang dirasakannya sendiri. Kau musti tegaskan hati dan memahami jalannya, perlahan sebab kemampuan kalian mengatasi kejadian ini tak pernah sama.

Kau menghela nafas panjang. Barangkali sia-sia saja mencari ilmu ikhlas itu dengan search engine, ataupun jika kau menemui ustadz-ustadz, sebab ilmu ikhlas itu telah ada di dalam dirimu sendiri. Kau hanya perlu mengaktifkan tombolnya atau membiarkannya tetap dalam keadaan tak aktif. Kekasihmu telah lebih dulu menyadari bahwa ilmu ikhlas itu ternyata sangat dekat dalam tubuhnya sendiri, mempelajarinya pun tak perlu bergantung pada orang lain.

Kau menelungkupkan kepala di atas meja dan terlelap di sana. Kau sangat lelah dengan kejadian-kejadian ini. Menguras peluh dan airmatamu dan kadangkala menyabotase akal sehatmu pula. Kau sangat lelah. Ingin jatuh ke dalam mimpi. Ingin menggenggam tangan kekasihmu; ‘Ajari aku semalaikat engkau…


(NB: Dua hari yang lalu kau membaca lagi Quantum Ikhlas yang mulai berdebu di rak buku, untuk membuka rahasia keikhlasan. Semalam kau memandangi novel-novel El-Shirazy, barangkali kau akan membacanya lagi untuk kali yang kedua, hari ini. )

Cukupkan dirimu dengan ridha Allah. Bila Dia menjadi kekasihmu, maka semua akan menjadi kekasihmu.

*

road to ikhlas, March, 1, 2009