Jumat, 31 Agustus 2007

Jejak-jejak Tertinggal

Tanpa rencana, tiba juga akhirnya ia di pantai itu. Sekian tahun telah berlalu dan pantai itu banyak berubah. Jalan setapak yang dulu, bukit-bukit pasir.. semuanya tidak serupa itu saat terakhir kali ia sambangi. Mungkin tujuh tahun yang lalu, ia mengingat-ingat, terakhir kali dinikmatinya matahari tenggelam di sana. Hela nafasnya menyatu dengan angin. Perjalanannya kali ini seperti napak tilas tahun-tahun yang mengendap dan nyaris dia lupakan meskipun kadang tetap membuatnya terdera rasa sakit.

Memarkir motornya beberapa meter dari air, ia melangkah perlahan. Pasir-pasir menajam di kakinya. Aroma laut yang khas menyerbu penciuman, ada sedikit amis yang terbawa dari perahu-perahu nelayan di tepian. Beberapa remaja berkejaran saling dorong di pasir sambil tertawa-tawa ceria.

Ia memilih bagian pantai yang agak sepi. Sejak dulu ia suka bagian pantai yang sepi, menjauh dari orang-orang. Matahari hampir terbenam. Angannya berkembara jauh ke tahun-tahun lampau.

“El, jangan berumah di tepi pantai.”

Saat itu ia tertawa lepas sembari mengacak rambut Gara.

“Aku mau berumah di mana aku mau, dan kau tahu kecintaanku pada pantai. Jangan terlalu terbawa acara televisi tentang rumah di pantai yang terbawa ombak itu.”

Ia ingat Gara menatapnya aneh.

“Bukan sebab itu El, berumah di pantai minimal kita harus membuat rumah yang tahan gempa dan tsunami sebab….”

“Ssttt”

Akhirnya dia dan Gara hanya menikmati matahari terbenam dalam diam.



Sekarang ia menikmati matahari terbenam juga dalam diam. Malah tanpa Gara. Gara sudah jauh darinya. Terakhir didengarnya kabar ia menikah dan berputra satu.

Ia menunggu seseorang sekarang. Diliriknya jam tangan, beberapa saat lalu telepon genggamnya berdering. SMS

El, ak bs dtg. Tunggu ak ½ jam lg, coz urusanku lom slesei. Ok?

½ jam lg? Sunsetnya dah abiz.

Gmn lg? Tunggu ya...


Ok. ½ jam lg dah lewat jam 6. But I’ll wait...

Ia mengunci keypad handphone, memasukkannya dalam saku. Berjalan ke arah matahari terbenam matanya mencari tempat yang memungkinkannya duduk tanpa celana jeansnya terkotori banyak pasir. Akhirnya ditemukannya sepotong batang kayu yang terbawa ombak ke tepi, mungkin sudah lama ada di sana. Dan kelihatannya sering pula diduduki pengunjung pantai itu sebelum dia. Botol air mineral dan kemasan makanan kecil berserak di dekatnya. Ia duduk. Menatap jauh ke lautan di depannya. Temaram sudah. Matahari hampir habis. Remaja-remaja itu masih berkejaran dan tertawa-tawa, agak jauh darinya.

Dulu sekali, ia hampir lupa berapa tahun yang lalu, di tempat yang hampir sama seperti ini, dengan potongan batang kayu didudukinya, Gara di depannya bersila di pasir pantai. Rambut panjang Gara tersapu angin menampar wajahnya, tapi ia tak marah ataupun merasakan perih.

“Apa sih yang kamu suka dari pantai? Udara basah begini kan bikin rambutmu lengket..” Gara menggerutu. Ia tahu sejak dulu ia dan Gara tak pernah sepakat soal pantai. Gara lebih suka udara pegunungan yang menurutnya murni dari polusi dan bagus buat paru-paru.

“Aku pun mau berumah di mana aku mau, El. Dan aku maunya tidak di pantai.” Gara senyum simpul sambil mengamati ekspresi wajahnya. Mata Gara berbinar canda. Ia tertawa begitu lepas saat itu. Tiba-tiba Gara menarik tangannya dan mereka berlari menantang ombak.

Perih itu dirasakannya sekarang. Mendadak angin bertiup lebih kencang menerbangkan pasir ke wajahnya membuatnya merasakan perih yang lain. Remaja-remaja itu mulai beranjak pulang. Tawa mereka terdengar olehnya sayup-sayup makin menjauh. Telepon genggamnya berdering lagi.

El, masih d pantai kan? Tunggu bentar lg. Mendadak ada lg yg hrs kukerjakan.

Ia menatap ke arah matahari. Tinggal sisa sinarnya saja. Menggaris di langit pantai seperti gambar perspektif, warnanya pun tak mampu ia definisikan. Mungkin biru, tapi sepertinya bukan, kelabu, merah...uh, entahlah. Dingin. Ia mendekapkan tangan ke dada. Diliriknya jam tangan. Sudah hampir setengah jam ia menunggu.

Entah mengapa ia ada di sini sekarang. Semua tak direncanakannya. Begitu saja terpikir olehnya pantai ini ketika ia keluar rumah tadi, menstarter motornya dan melihat langit yang begitu cerah. Ketika sampai tadi, ia ingat seseorang. Seseorang yang pernah berjanji akan menemaninya menikmati senja di pantai, kapanpun ia mau. Maka ditekannya nomor-nomor yang dihafalnya di luar kepala, tanpa melihat daftar kontak dalam handphone-nya. Entah mengapa juga, ia bisa ingat rangkaian nomor itu. Dua jam yang lalu, setelah berkali-kali ia hubungi, teleponnya di terima.

“Ya, El?”

“Aku di pantai.”

“Sekarang? Aku lagi kerjakan sesuatu, gak bisa ke situ temani kamu.”

Ia diam. Tak tahu mesti memaksa atau mengingatkan pelunasan janji.

“Maaf, El.”

Apakah ia memang tidak mendengar sesal dalam kalimat itu? Ia menekan sakit yang tiba-tiba muncul. Tapi kesadaran untuk tidak berharap membuatnya memaksakan senyum meskipun tahu lawan bicaranya tak akan melihat. Ia menenangkan hatinya sendiri.

“Ok. Aku sendirian saja.”

Klik. Ditatapnya handphone agak lama. Tak ada apa-apa di sana. Cuma catatan hubungan telepon terakhir. Tapi dalam pikirannya berkelebat bayangan lain. Ia membunuh bayangan itu. Apakah saat itu ia merasakan air mata membasah? Ia tak yakin.

Jadi ia di pantai itu sekarang. Masih menunggu sebab setengah jam setelah telepon itu pesan pendek masuk ke handphonenya.

El, ak bs dtg. Tunggu ak ½ jam lg, coz urusanku lom slesei. Ok?

Ia malah mengenang Gara.

Ia kedinginan sekarang. Dulu Gara pasti memeluknya jika ia kedinginan seperti ini. Angin terasa lebih kencang sebab malam mulai turun. Matahari benar-benar telah terbenam dan gelap mulai mengelilinginya. Ia menggigil. Ia menundukkan kepala, rapat ke lututnya. Pantai itu sudah sepi. Ia mengharapkan sosok yang dinantinya tiba, menemukannya kedinginan di sini dan (mungkin ) memberikan pelukannya. Ah, angannya terlampau jauh. Bukankah tak ada hubungan istimewa antara mereka? Mungkin ia yang salah mengartikan perhatian itu.

Telepon genggamnya berdering lagi. Incoming call. Tiba-tiba ia merasa harapannya benar-benar habis. Tubuhnya tiba-tiba lunglai saat mendekatkan hanphone ke telinganya.

“El, maaf banget, aku gak bisa datang. Udah malam banget untuk ke pantai. Kamu pulang saja sekarang. Gak baik di pantai jam segini, apalagi untuk perempuan...”
Ia diam. Ombak berdebur kencang, rasanya sangat dekat. Ia berpikir percuma bersuara toh suaranya akan lenyap, kalah dengan deburan itu.

“El?”

Sesungguhnya ia hanya tak tahu mesti berkata apa. Ia sudah menunggu. Kedinginan pula.

“El? Kamu gak apa-apa kan? Maafin, El... Kamu pulang saja sekarang, okey?”

Apakah didengarnya sesal dalam kalimat itu? Ia tak yakin.

“Ya.” Setengah berteriak. Serak. Ia marah pada dirinya sendiri, setengah menahan tangis. Ia tak tahu perasaan apa di hatinya sekarang. Diakhirinya telepon itu.

Ia beranjak. Tiba-tiba ia merasa takut menyadari sekelilingnya sudah gelap. Apakah tinggal ia sendirian di sana? Sekarang air mata benar-benar telah menuruni pipinya. Setengah berlari ke tempat ia memarkir motor, hatinya menyalahkan Gara. Mengapa sejak Gara, pantai selalu menyisakan rasa sakit untuknya? Terlepas dari siapapun yang terhubung dengannya di pantai, ia selalu saja merasakan sakit. Selalu saja tentang apa yang diingininya dan tak pernah sampai.

Ia menstarter motornya. Pulang. Memacu secepat ia bisa. Dingin tak lagi dirasakannya. Telepon genggam yang sedari tadi berdering mengisyaratkan pesan masuk pun tak lagi dipedulikannya.

Epilog

Beberapa kilometer jauhnya dari El, seseorang bermain dengan pikirannya sendiri. Berulang ditatapnya telepon genggam itu, sambil berpikir untuk mengirim email saja malam nanti untuk menjelaskan ini semua.

Mendung Di Langit

Aku memandang teriknya Yogya dari dalam taksi. Sebentar-sebentar lampu merah. Ada anak kecil ngamen, bibir kering dan kakinya dekil. Pagar-pagar tembok, jembatan dan pintu ruko-ruko penuh coretan. Bus kota berseliweran berebut penumpang. Aku pulang dengan segenap aliran darahku membuncah rindu. Untuk sebuah perkawinan. Sebuah kata yang membuat Julie, sahabatku di Melbourne, tertawa mencemooh.

Get married? You?” Aku mengangguk.

“Bilang donk sama keluargamu perempuan bisa hidup tanpa bergantung lelaki. Pendidikanmu tinggi, masa depanmu terjamin, di sini kau kuliah, hampir kerja dan tinggal di apartemen mewah. Apalagi?” Julie menghisap dalam-dalam rokoknya. “Meilani, man can be bought...and you're still so young.”

Tapi itu keyakinanmu, Julie. Tahukah kau bahwa kebudayaan di kota kelahiranku menolak pendapatmu itu? Usiaku 29. Mama bilang aku sudah perawan tua. Tante wanti-wanti agar aku segera menikah sebelum usiaku kepala tiga. Aku tertawa saja.

From Indonesia?” Julie menjatuhkan tubuh tipisnya di atas sofa biru di apartemenku. Menyambar remote control televisi sambil menatapku ingin tahu ketika aku baru saja menerima telepon dari mama. Membelakangi pantai samudera sebelah selatan Australia yang tampak kabur di kejauhan, di apartemenku di lantai 24, aku ceritakan pada Julie semuanya, bahwa keluargaku dan keluarga Dimas sudah matang merencanakan pernikahan kami. Alasannya, aku semakin tua. Dan yang lepas dari bibir kecoklatan Julie adalah cemoohannya itu.

Julie gadis bebas, paling tidak itu yang kuketahui selama setahun ini bertetangga dengannya. Pintu apartemen kami yang berhadapan memungkinkan aku tahu siapa saja yang pernah masuk apartemen Julie, khususnya laki-laki. Usia Julie tak beda denganku. Wajahnya kekanak-kanakan. Soal perkawinan dia bilang, I’ll never marry someone. Lelaki tidak pernah mencintai perempuan, they just play a game.


Aku baru tahu rupanya Julie pernah dikecewakan. Beberapa tahun yang lalu,lelaki itu menawarkan musim bunga pada Julie, membawakan bertangkai-tangkai mawar ke apartemennya, menemaninya belanja di Queen Victoria Market, duduk mengagumi pemandangan fantastik jantung kota Melbourne dengan Rialto Towernya, mengajaknya makan malam romantis di atas feri yang melaju di atas Yarra River.

“Kami kejar-kejaran seperti anak kecil dalam trem...” Julie tersenyum mengenang. “Tapi ibunya tidak menyukaiku.” Ia memindah channel televisi

“Hmm...”

“Ibunya akan berhenti mengirim biaya kuliah jika ia masih denganku”.

Julie menghembuskan asap rokok ke udara. Aku beranjak meraih Cola dari refrigerator. Julie berceloteh lagi

“Padahal uang dari ibunya tidak pernah cukup. I sold my apartment for paying his tuition fee. Dia makan malam di apartemenku dan aku yang sering bayar laundry pakaiannya....”

You loved him so much...”

“Ya, dulu aku bukan penganut free sex. Sama seperti kamu, and I was still virgin at that night. His mother never know that. Dipikirnya aku sering tidur dengan bermacam laki-laki.”

“Dan?” aku berusaha antusias dengan cerita Julie. Sebab Julie tak pernah cerita ini sebelumnya, perbincangan kami biasanya berkisar tentang tempat-tempat belanja dan fashion.

As you see. He has canged me”. Julie menerawang, ada kesakitan di sayu matanya. Mungkin bajingan benar laki-laki itu.

“Lalu kau merokok, minum, dan bercinta dengan siapapun yang kau sukai, seperti callgirl eh?” Julie menatapku tajam, lalu luruh lagi.

“Aku bukan pelacur, Mei.”

“Di negaraku itu sama saja dengan pelacur, Julie sayang.”

“Terserah katamu. Aku benci orang Indonesia.” Remote control ditekannya dengan gemas. Televisi padam. Julie menyambar Cola yang kusediakan di meja.

Why? I'm Indonesian ,Julie...” Dia malah tertawa.

He is Indonesian too..” Kau pengecualian, Mei. Jadi bagaimana denganmu, jadi juga kau akan kawin?” ejeknya. Manis aku tersenyum

I have decided it.”

“Semoga suamimu orang baik.”

Julie menutup pintu. Kudengar senandungnya di luar.


Dalam taksi aku tersenyum sendiri. Sebuah cerita manis untuk Dimas sebagai kado perkawinan kami. Tak sabar rasanya aku sampai di rumah. Aku akan mengusulkan honeymoon ke negeri Julie saja. Makan malam di atas Yarra River seperti kata Julie, kejar-kejaran dalam trem...

Hei, itu Dimas di beranda rumah dengan seluruh keluarga.

“Maaf ya hun, aku gak bisa jemput di airport. How's everything with you?” Aku mencibir, mentang-mentang pernah kuliah di luar negeri nih, di rumah pake bahasa Inggris segala. Dia mencubit pipiku. Kami berpelukan.

epilog

Perkawinan yang bahagia. Aku kembali ke Melbourne menyelesaikan pasca sarjanaku, meskipun Dimas tak bisa menemaniku. Tak apalah. Dimas sedang menyiapkan masa depan yang cerah untuk kami berdua. Toh ada Julie di sini. Tapi ternyata dia juga kemudian harus pindah ke Perth karena tuntutan pekerjaan. Aku membantunya mengepak barang-barang ke kotak.

“Tolong berkas-berkas di meja rias itu , Mei. Aku berterimakasih sekali atas bantuanmu Sayang.”

Aku mengikat kardus kuat-kuat dan menghampiri meja rias. Setumpuk berkas berdebu, rekening telepon, nota belanja Queen Victoria, nota laundry, tisu-tisu kusut, kartu-kartu ucapan natal dan setumpuk foto yang telah saling melekat satu sama lain karena tak disimpan di album. Ada satu yang masih tampak jelas. Dan kepalaku mendadak pusing. Aku jatuh terduduk.

Are you okey, Mei?” Julie menghampiriku. “Berkas-berkas ini sudah terlalu berdebu, kau mungkin terganggu ya? Biar aku saja...”

Mataku nanar. Debu tak membuatku pusing, Julie. Julie memandang foto di tanganku. Tatapan kami kemudian bertemu, saling membaca. Julie terbelalak. Berkas-berkas jatuh berserak di lantai.

Di luar, mendung bergayut di langit. Mungkin akan ada badai.


*

Watulunyu, saat hujan, entah kapan sebab waktu sedang tersesat
(Untuk seseorang: seperti sebuah bangunan, kadang kita perlu membuka pintu dan mengajak seseorang memasuki ruang-ruang, membagi kisah dan ornamen hari-hari kita)

Rabu, 29 Agustus 2007

Puisi Untuk Gerhana (Kita)

Gerhana Bulan Petang Itu

Umbra

Tibatiba teringat
ciumanmu paling kawah
Melupakan : kita sesungguhnya gerhana
yang paling gerhana
18:24, 28/08/07




Purnama Setelah Gerhana

....kemudian
bulan sempurna
Tapi waktu di kepalaku kacau
Melawan jarum jam. Lalu diam
Di hawa paling dingin
awal Agustus silam

Maka jantungku pun beradzan rindu
Sampai getar buluhbuluh
darahku!
20:28, 28/08/07





Bulan Subuh-subuh

Bulan masih tampak
subuh ini

Semalam dilupalupa
04:30, 29/08/07

Minggu, 26 Agustus 2007

Menuliskan Kenangan Itu

Menyimpan Tawamu Di Sepenggal Senja

di sepenggal senja, entah kapan
kita mencoba menjerat waktu
kau deraikan tawa pada rambutku
mengurai pekat yang berkejaran
hari kemarin (di selubung perasaan-perasaan kita)

'kita adalah dua yang terpisah dinding kaca'

lalu di sepenggal senja yang lain, entah di mana
tawamu menjalin cerita
tentang kita yang ternyata tak pernah
menjerat waktu


Pemakaman Senja Di Pantai

Jika burung-burung putih beterbangan di langit kotamu
Saat itu senja telah mengubur warna matamu. Pemakaman cakrawala
Leluka di pasir, kupunguti setelah kulahatkan harum tubuhmu
Sesaat tadi

Di tengah laut, gelombang menyanyi musik miris seperti saat angkuhmu
Redupkan nyala. Aku terejam basah ke dada
Engkau hanya mengemas tawamu dalam kulum tanpa suara
Dulu

Jika burung-burung putih beterbangan di langit kotamu
Jangan lagi bertanya cakrawala mengapa sunyi
Tak ada lagi angin dan ombak. Reranting menepi di pantai
Tepat dimana terakhir janji tergurat. Pelunasan yang mati

Kupungut semua. Jauh kini di belukar hati



Bukan Perihal Kembang

Bukan perihal kembang - setangkai mawar dengan embun muda di kelopaknya - tapi di dadaku getar dadamu yang kau titipkan hangatkan malammalam deja vu
menyisipkan gemuruh purba

masih

menguar wangi

di tentang jantungku

Sungguh bukan perihal kembang - setangkai mawar dengan embun muda di
kelopaknya - tapi barangkali engkau tak mau peduli



Puing Di Kota Mati (081178-290482)

;untuk H di seberang jiwa

Sejak perpisahan di kanal itu
pernahkah kau kunjungi lagi lengangnya kota mati?
pada datangku dua hari yang lalu
keranjang rotanku penuh dengan kepingan kisah
yang tercecer dulu sepanjang jalan
dan kupunguti

Kupungut pula puing jembatan itu
masih terpahat di sana
angin yang melintas dan puisi-puisi Gibran

Sejenak ku kembali menyisir kenangan
saat kau lukis pelangi di bola matamu
dan membelitkan akar kegalauan itu pada hatiku
kita tertawa, lepas berdua di tentang bulan separuh

Tapi badai itu
sekejap dan cepat
hanya tinggal teriakmu kudengar bergema
'Kita seperti angin yang melintas di penggalan puisi Gibran!'
Dan 'tika terjaga, memang tak kutemukan kau lagi
senja telah mengubur warnamu dan aku di reruntuhan
bahkan siluet pun...tak kutemukan

Saat pulang, burung senja berbulu biru melintas terbang
merenggut semua kisah dari keranjangku
dipahatnya di udara
'Manusia tidak dapat menuai cinta sampai dia merasakan getirnya
perpisahan yang membuka semua sekat kesadarannya' *

*Kahlil Gibran


Kedung Pring I

Ku ingin bincang denganmu sebelum udara membatu
membaca guratanguratan itu, yang tertinggal di pasirpasir
tentang kanakkanak berlarian atau tentang galaksi yang kau petik dan
kau gantungkan di langitlangit kamar

entah

begitu ingin

sebelum waktu menjelma bongkahan es



Kedung Pring II

Kedungpring mungkin hanya sebuah keremangan purba yang mengusik kenangan, sebuah lanskap udara coklat yang mengambang dalam pikiranmu, diseling guguran daun mangga di atas reranting mawar.

Maka kutulis untukmu fragmen kegelisahan di bulir-bulir embun muda yang tak sempat terhirup. Ketika malam berakhir dan senandungmu berai di rumputan, bukankah Kedungpring adalah sebuah bait dalam kalimat-kalimatmu? Ia membingkai angin. Dari gunung yang mengalir menuju runtuhan rumah pasir di tepi pantai.

Kedungpring adalah rangkuman musim yang memberitakan harumnya debu ketika hujan turun pertama kali, dan bisikkan padamu perih pohonan jati meranggas di awal kemarau. Kenangkan angin yang tertinggal menelusur bibir pantai setelah sisa rumah pasirku hanyut dilalu ombak.

Maka kutulis untukmu fragmen kegelisahan di bulir-bulir embun muda malam itu, di Kedungpring. Bukankah malam berakhir dengan riuh gerimis menetes di tajuk alam, dan dingin di ruang kamarmu?

Kedungpring, apapun malammu kini, barangkali tinggal abadi.

Sabtu, 25 Agustus 2007

Harry Potter and The Deathly Hallows

Mau baca Harry Potter ke-7? Hari ini saya berjalan-jalan di Google dan menemukan link ini. Terus terang saja, saya juga belum baca buku ini :D. But, saya temukan sinopsisnya di Wikipedia:

Buku ketujuh diawali dengan Voldemort dan para Pelahap Mautnya di rumah Lucius Malfoy, yang merencanakan untuk membunuh Harry Potter sebelum ia dapat bersembunyi kembali. Meminjam tongkat sihir Lucius, Voldemort membunuh tawanannya, Profesor Charity Burbage, guru Telaah Muggle di Hogwarts, atas alasan telah mengajarkan subyek tersebut dan telah menganjurkan agar paradigma kemurnian darah penyihir diakhiri.

Harry telah siap untuk melakukan perjalanannya dan membaca obituari Albus Dumbledore; dan terungkaplah bahwa ayah Dumbledore, Percival, adalah seorang pembenci non-penyihir dan telah menyerang tiga Muggle, dan meninggal di Penjara Azkaban atas kejahatannya. Harry kemudian meyakinkan keluarga Dursley bahwa mereka harus segera meninggalkan rumah mereka untuk menghindarkan diri dari para Pelahap Maut. Keluarga Dursley kemudian pergi menyembunyikan diri dengan dikawal sepasang penyihir setelah sebelumnya Dudley melontarkan pengakuan bahwa ia peduli akan Harry.

Bersama-sama dengan anggota Orde Phoenix, Harry kemudian pergi dari rumah Dursley ke The Burrow. Dalam perjalanan itu, Hedwig, burung hantu Harry, terbunuh oleh kutukan pembunuh; George Weasley kehilangan sebelah telinganya akibat mantra Sectumsempra; Mad-Eye Moody dibunuh oleh Voldemort sendiri. Harry sendiri lolos ketika Voldemort mengejarnya setelah tongkat sihirnya bereaksi dengan sendirinya dengan tongkat sihir pinjaman Voldemort, menghancurkannya, dan ia juga kemudian mendapatkan penglihatan ketika Voldemort menanyai Ollivander si pembuat tongkat sihir, mengenai mengapa hal itu dapat terjadi.

Beberapa hari kemudian, Menteri Sihir tiba di kediaman Weasley dan memberikan warisan Dumbledore untuk mereka: Deluminator untuk Ron (alat seperti korek api yang dapat memadamkan cahaya); buku mengenai kisah anak-anak untuk Hermione; dan untuk Harry, pedang Godric Gryffindor dan snitch pertama yang ditangkap Harry. Namun demikian, pedang tersebut ditahan, karena menurut kementerian pedang tersebut bukanlah milik Dumbledore. Ketiganya berusaha mencari tahu apa dibalik ketiga benda yang diberikan kepada mereka itu. Sehari kemudian adalah hari pernikahan Fleur Delacour dan Bill Weasley.

Setelah diberitakan bahwa Voldemort telah berhasil mengambil alih Kementerian Sihir; Harry, Ron, dan Hermione kemudian bersembunyi di Grimmauld Place nomor 12, rumah yang diwariskan Sirius Black kepada Harry. Ketiganya kemudian menyadari bahwa iinisial R.A.B. pada liontin yang didapatkan Dumbledore dan Harry dalam buku keenam adalah Regulus Arcturus Black, adik Sirius. Mereka mulai mencari Horcrux yang dicuri Regulus di rumah keluarga Black itu. Dari Kreacher, mereka mengetahui bahwa ia telah membantu Regulus untuk mendampingi Voldemort menempatkan Horcrux berbentuk liontin itu di gua. Ketika Regulus merasa kecewa dengan Voldemort, ia memerintahkan Kreacher untuk kembali ke gua dan menukar liontin dengan yang palsu. Regulus terbunuh dalam proses itu. Pada akhirnya, mereka bertiga menyadari bahwa Mundungus Fletcher telah mencuri liontin tersebut dan kemudian dirampas oleh Dolores Umbridge.

Setelah selama satu bulan memata-matai Kementerian Sihir, ketiganya berhasil mengambil Horcrux dari Umbridge. Dalam prosesnya, tempat persembunyian mereka diketahui dan terpaksa melarikan diri ke daerah terpencil, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan tidak dapat lama tinggal di suatu tempat.

Dalam waktu beberapa bulan berpindah-pindah, mereka mendengar bahwa pedang Godric Gryffindor sebenarnya adalah palsu, dan ada yang melakukan sesuatu terhadap pedang aslinya. Dari Phineas Black, Harry mendapatkan bahwa pedang itu terakhir kali digunakan Dumbledore untuk menghancurkan salah satu Horcrux, Cincin Gaunt. Ron kemudian berselisih paham dengan Harry, dan pergi meninggalkan Harry dan Hermione. Harry dan Hermione kemudian pergi ke Godric's Hollow untuk mencari tahu apakah Dumbledore telah meninggalkan pedang itu di sana.

Di Godric's Hollow, keduanya mengunjungi tempat pemakaman keluarga di mana keluarga Potter dan Dumbledore dikuburkan. Di Godric's Holow, mereka juga menemui Bathilda Bagshot, seorang teman lama Dumbledore yang mengarang buku Sejarah Sihir. Di rumah Bagshot mereka menemukan gambar penyihir hitam Grindelwald, sanak Bagshot, yang pada masa lalu adalah kawan masa kecil Albus Dumbledore. Namun demikian, ternyata mereka terperangkap, karena "Bagshot" itu merupakan penjelmaan ular Voldemort, Nagini. Mereka berhasil melarikan diri dari Voldemort, tetapi tongkat sihir Harry hancur dalam kejadian itu.

Dalam pelarian mereka, Harry akhirnya menemukan bahwa pedang Godric Gryffindor tersembunyi di sebuah kolam beku di tengah sebuah hutan berkat bantuan patronus berbentuk kijang. Dia menyelam ke dalamnya untuk mendapati pedang tersebut. Kalung Horcrux mencoba mencekik Harry dan hampir menenggelamkannya hingga mati kalau tidak ditolong oleh Ron yang kembali. Keduanya menghancurkan Horcrux dengan pedang itu.

Ketiganya kemudian berbicara kepada Xenophilius Lovegood, ayah Luna Lovegood, dan menanyakan kepada mereka mengenai lambang Grindelwald yang telah berkali-kali muncul selama perjalanan mereka. Di rumah Lovegood, Harry, Ron, dan Hermione mendapatkan kisah penyihir kuno mengenai tiga bersaudara yang mengalahkan kematian, dan masing-masing mendapatkan benda sihir sebagai hasilnya tongkat sihir yang tak terkalahkan (Elder Wand—tongkat sihir tetua), batu sihir yang dapat menghidupkan kembali yang telah mati (Resurrection Stone—batu kebangkitan), dan Jubah Gaib (jubah tembus pandang) yang tidak lekang oleh waktu. Harry menyadari bahwa jubah yang dimilikinya adalah adalah Jubah Gaib, dan segera menemukan bahwa Lovegood telah berkhianat dan menyerahkan mereka ke Kementerian. Luna, putrinya, telah ditawan dan Xenophilius berpikir untuk menyerahkan Harry Potter sebagai ganti tawanan. Ketiganya meloloskan diri dan berpikir untuk mengumpulkan ketiga benda sihir Deathly Hallows, untuk
mengalahkan Voldemort.

Harry, Ron, dan Hermione kemudian tertangkap oleh kelompok Snatcher yang diketuai oleh Fenrir Greyback, karena menyebut nama Voldemort (nama itu sudah dimantrai untuk mendeteksi para penyebutnya) dan dibawa ke rumah Malfoy. Di sana, Hermione disiksa dan diinterogasi oleh Bellatrix Lestrange untuk mengetahui bagaimana mereka memperoleh pedang Godric Gryffindor, karena ia berpikir bahwa mereka telah mencurinya dari lemari besinya di Gringotts. Di bawah tanah, Harry dan Ron dipenjarakan bersama-sama dengan Dean Thomas, goblin Griphook, pembuat tongkat sihir Ollivander, dan Luna Lovegood. Harry berusaha mencari pertolongan dan Dobby muncul untuk menyelamatkannya. Dalam usaha meloloskan diri, mereka dihadang Wormtail yang kemudian terbunuh karena tercekik oleh tangan perak Wormtail yang dibuat Voldemort tanpa berhasil ditolong oleh Ron dan Harry, sebagai balasan dari hutang budi dari tahun ketiga Harry di Hogwarts. Mereka berdua kemudian menolong Hermione dengan bantuan Dobby, yang tewas dibunuh oleh Bellatrix.

Harry dan kedua sahabatnya kemudian berusaha mencari rencana baru. Ia menanyai Ollivander mengenai Elder Wand dan mendapati bahwa pemilik terakhirnya adalah Dumbledore. Dibantu Griphook, Hermione menyamar sebagai Bellatrix Lestrange dan bersama-sama Harry dan Ron memasuki lemari besi Bellatrix di Bank Gingrott's. Di sana mereka menemukan satu lagi Horcrux, piala Hufflepuff. Griphook kemudian mengkhianati mereka dan melarikan diri dan membawa pedang Godric Gryffindor. Harry, Ron, dan Hermione berhasil melarikan diri, tetapi pada saat yang bersamaan Voldemort menyadari bahwa mereka mencari Horcrux-Horcruxnya.

Harry mendapatkan penglihatan segera setelah pelarian mereka; ia dapat melihat melalui mata Voldemort dan mengetahui pikirannya. Voldemort akan mendatangi tempat-tempat Horcurxnya disembunyikan dan mengetahui bahwa mereka telah lenyap dan hancur. Secara tidak sengaja, Voldemort mengungkapkan bahwa Horcrux terakhir berada di Hogwarts. Ketiganya segera pergi ke Hogsmeade untuk mencari jalan masuk ke sekolah Hogwarts. Di Hogsmeade, mereka disudutkan oleh para Pelahap Maut dan diselamatkan oleh Aberforth Dumbledore. Aberforth membuka jalan terowongan ke Hogwarts di mana mereka disambut oleh Neville Longbottom. Pada saat menyelamatkan jiwa Draco Malfoy, Harry menemukan Mahkota Ravenclaw yang merupakan Horcrux itu tersembunyi di Kamar Kebutuhan dan benda itu dihancurkan.

Di Shrieking Shack, mereka mendapati Voldemort membunuh Severus Snape dengan tujuan untuk menguasai kekuatan Elder Wand kepada dirinya sendiri. Dalam keadaan sekarat, Snape memberikan memorinya kepada Harry. Dari memori itu terungkap bahwa Snape selama ini berada di pihak Dumbledore, didorong dengan cinta seumur hidupnya kepada Lily Potter. Snape telah diminta Dumbledore untuk membunuh dirinya jika situasinya mengharuskan demikian; karena bagaimanapun juga hidupnya tidak akan lama lagi akibat kutukan yang terdapat di Horcrux Cincin Gaunt. Selanjutnya, terungkap pula bahwa Harry adalah Horcrux terakhir Voldemort, dan ia harus mati juga sebelum Voldemort dapat dibunuh. Pasrah akan nasibnya, Harry mengorbankan diri dan Voldemort melancarkan kutukan untuk membunuhnya. Kemudian Harry tersadar di tempat yang mirip dengan stasiun King Cross, dan Dumbledore mendatanginya. Dumbledore mengatakan bahwa Harry sebenarnya adalah pemilik dari Deathly Hallows, dan kutukan Avada Kedavra itu malah menghancurkan bagian dari jiwa Voldemort yang terdapat di tubuhnya. Pada saat ini Dumbledore memberikan pilihan pada Harry, apakah dia ingin meneruskan pada kematian, atau kembali hidup ke dunia. Harry memilih kembali ke dunia, dan tersadar. Pada akhirnya, setelah Nagini dibunuh oleh Neville, Voldemort kemudian terbunuh setelah mencoba menggunakan Kutukan pembunuh Avada Kedavra terhadap Harry. Kutukan itu berbalik menyerang Voldemort sendiri setelah Elder Wand menolak membunuh tuannya (Harry) sendiri.

Dalam kisah di akhir buku, pada tahun 2017, 19 tahun setelah Pertempuran di Hogwarts, Harry dan Ginny Weasley telah memiliki tiga anak bernama James, Albus Severus, dan Lily. Neville Longbottom telah menjadi guru Herbologi di Hogwarts. Ron dan Hermione telah memiliki dua anak bernama Rose dan Hugo. Draco Malfoy bersama istrinya yang tidak disebutkan namanya memiliki anak bernama Scorpius. Mereka seluruhnya bertemu di stasius kereta api King's Cross, untuk mengantar anak-anak mereka bersekolah ke Hogwarts. Di sana diungkapkan bahwa bekas luka Harry tidak pernah sakit lagi setelah kematian Pangeran Kegelapan. (Wikipedia)

Hmm, download saja deh versi lengkapnya, dalam bahasa Inggris :D. E-book berbahasa Indonesia? Heheheheh...

Klik Untuk Download (PDF | 1.17 MB | 397 hal.)

Kamis, 23 Agustus 2007

Kisah-kisah Cinta

Suka kisah-kisah cinta? Saya penikmat kisah-kisah cinta. Entah mengapa, buat saya kisah cinta mampu membuat hidup lebih hidup (kaya iklan rokok yach?). Kata sebagian teman-teman, hati saya lembut (ciee) alias gampang tersentuh, gampang mengeluarkan air mata haru untuk kejadian-kejadian yang bahkan tidak melibatkan saya. Mungkin karena itu juga saya suka banget baca novel-novel cinta, nonton film-film romantis atau mengamati kejadian (dan kadang ikut terlarut) di lingkungan sekitar.

Ada beberapa kisah cinta yang bertahan sepanjang masa (buat saya loh), saya sukai sampai sekarang, dan tidak pernah keberatan untuk membaca atau menontonnya ulang. Kisah cinta yang indah buat saya tidak harus selalu kisah-kisah yang berakhir bahagia. Iseng-iseng saya buat daftar untuk kisah-kisah tersebut dan akhirnya dapat hasil akhir seperti yang di bawah ini, meskipun ada beberapa kisah yang mungkin terlewat karena 'terlupa' terlintas di benak saat saya buat catatan ini.

Oke deh, biar kelihatan catatan beneran, saya urutkan saja, cara klasik :D, mulai dari yang pertama.

Romeo - Juliet
Uh, ini kisah klasik banget deh. Tapi saya suka. Saya suka endingnya ketika Romeo meminum racun menyusul Juliet yang dikiranya sudah mati. Rasanya kok ikut-ikutan perih gitu. Tapi entah mengapa, menonton adegan ini (referensi ke filmnya) saya tidak menangis. Saya malah bercucuran air mata seolah merasakan seluruh bagian diri yang menderita saat Romeo menerima berita kematian kekasihnya, tanpa dia membaca pesan bahwa kematian itu hanya rekayasa.Sakit banget gak sih?

Sayap-sayap Patah
Saya membaca novel ini tanpa menangis. Malah lebih menikmati kalimat-kalimat indah Gibran. Saya ingat, yang merekomendasikan untuk membaca novel ini adalah pacar pertama saya dulu. Ceritanya sederhana saja, kasih tak sampai yang benar-benar klasik karena sang kekasih dijodohkan dengan orang lain. Selma, perempuan yang seperti berkas cahaya itu akhirnya menikah dengan seorang yang tidak dicintainya. Hmm.. saya suka kisah ini karena menggambarkan rasa cinta yang tetap hidup, meskipun berakhir tragis dengan kematian Selma. Tapi cinta tetap hidup dalam sanubari mereka berdua. Pokoknya di sini adanya cinta yang abadi deh.

Pearl Harbor
Yang ini sebuah kisah dari film dengan judul yang sama. Tentang penyerangan Pearl Harbor 7 Desember 1941. Saya suka kisah cinta segitiga di dalamnya, dengan latar belakang masa perang. Dua orang pilot muda, Rafe dan Danny, yang bersahabat sejak kecil mencintai seorang perawat yang sangat berdedikasi, Evelyn. Kisah cinta segitiga itu terjadi dengan sendirinya,setelah Evelyn, kekasih Rafe, menerima berita kematian Rafe dalam tugasnya ke Eropa. Saat ia mulai menerima Danny dalam kehidupannya, Rafe muncul. Ternyata ia belum meninggal dan terjadilah adegan-adegan yang menguras air mata. Ugh, ini adalah film favorit saya sepanjang masa. Endingnya indah banget; Rafe terbang dengan seorang anak yang adalah anak Danny yang dikandung Evelyn, mereka menghidupkan kenangan tentang Danny yang telah tewas dalam si kecil yang juga dinamai Danny. Manis kan?

Karmila
Buat yang suka karya-karya Marga T pasti kenal novel ini. Kisah dokter muda, Karmila yang harus menikah dengan Feisal, yang telah merenggut masa depannya (memperkosanya dalam suatu pesta), dan melupakan impiannya dengan Edo. Yang paling menyentuh adalah saat Karmila mulai mencintai Feisal sementara Edo masih terus mencintai dan mengharapkannya, dalam satu adegan, Marga T melukiskan Karmila memeluk Feisal sementara ia membayangkan Edo yang begitu kurus dan mencintainya. Saya jadi ikutan teriris. Bener deh.

Burung-burung Manyar
Kenal YB. Mangunwijaya kan? Nah. Ingat Teto dan Atik? Yang satu tentara NICA, satunya lagi gadis nasionalis yang sangat membenci Belanda. Meski begitu, Teto tetap mencintai Atik. Mereka bertemu kembali setelah terpisah sebab Belanda kalah. Tetapi Atik telah bersuami dan Teto diminta untuk bersedia menjadi kakak bagi Atik. Di akhir, sebuah kecelakaan merenggut nyawa Atik dan suaminya, meninggalkan 3 orang anak yang kemudian diasuh Teto dan dianggap anak sendiri. Teto pun ternyata tidak menikah lagi. Hiii.. merinding deh bacanya.

While You Were Sleeping
Pengen liat wajah cantik Sandra Bullock gugup? While You Were Sleeping jawabannya. Lucy menolong Peter (yang tidak dikenalnya) dari tertabrak KA, membawa dan menemaninya di rumah sakit dengan mengaku sebagai tunangannya. Keluarga Peter surprised Peter punya tunangan. Ketika Peter sadar dari koma, ia tidak mengenali Lucy sebab mereka memang gak pernah bertunangan. Dalam perkembangannya berbaur dengan keluarga Peter, Lucy dan Jack, adik Peter saling jatuh cinta. Namun pernikahan sudah dirancang. Kejadian menarik terjadi ketika di altar Lucy menyatakan ia mencintai putera orangtua Peter, tapi yang dimaksud adalah Jack. Cool deh. Happy ending.

Brokeback Mountain
Ennis dan Jack. Dua lelaki yang bertemu di sebuah peternakan domba, menjalin hubungan yang intim. Setelah tugas mereka selesai, mereka kembali ke kehidupan masing-masing, dan lalu memperoleh istri dan anak-anak. Meskipun telah mendapatkan kehidupan yang 'normal', ternyata keduanya masih memendam asmara terhadap satu sama lain. Pertemuan demi pertemuan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Saya haru banget di akhir, saat jaket dan kemeja bernoda darah itu... ah.Nonton aja deh filmnya.

Udah merasa romantis belum? Hehehe... lain kali deh saya tuliskan lagi kisah-kisah cinta yang lain. Saya mau pulang sekarang, udah kelamaan di warnet.

Sekali Merengkuh Dayung, Benua Terlampaui



Sekali Merengkuh Dayung, Kisah Perjalanan
Diah Marsidi
Penerbit Buku Kompas 2004, 328 hal.



Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Peribahasa ini terlintas ketika saya memutuskan membeli buku ini di sebuah ajang pameran buku. Dengan dana terbatas saya berburu buku-buku yang enak dibaca dan bermanfaat. Jadilah buku ini salah satu pilihan saya dengan harapan saya dapat 'melampaui dua-tiga pulau' dengan membacanya.

Ternyata saya tidak kecewa. Tidak hanya melampaui dua-tiga pulau, saya malah melampaui batas benua. Dari pantai Lovina Bali sampai ke desa kecil di Italia, reruntuhan perang Bosnia, kota Inka bahkan gurun Kalahari. Bercerita tentang tempat-tempat menarik, interaksi manusia berbeda ras dan keindahan budaya, sampai keeksotikan makanannya. Pendek kata, sang penulis merangkum hampir semua elemen kehidupan dalam buku ini. Indah. Buat saya ini buku sangat indah. Penulisnya sangat piawai sehingga menjadikan buku ini bukan sekedar kisah perjalalan biasa. Bukan sekedar bercerita tentang suatu tempat tapi juga memainkan emosi pembaca, seperti tulisannya tentang daerah konflik, sisa-sisa perang menjadikan seorang pemuda Sarajevo memiliki trauma dan tak pernah tidur tanpa memeluk senapannya. Suatu kali bayinya mnangis dan sang istri membangunkan dia. Apa yang terjadi? Senapan itu menyalak dan tertembaknya kaki sang istri, sementara bayinya terus menangis. Ada juga bocah perempuan 10 tahun yang mendayung kano untuk wisatawan di danau Patzcuaro, Mexico. Lengkap juga kisah-kisah gembira tentang pesta musim semi yang indah di Sevilla, ibukota Andalucia, Spanyol. Kita juga diajak menikmati warna lebih tegas dan biru langit tak terlukiskan di Santa Fe, New Mexico, AS, angin yang selalu berhenti dan alam yang sepi sejenak saat matahari terbenam di Kagga Kamma, suaka alam swasta di pegunungan Cederberg, pinggiran Kalahari. Belum lagi petualangan ke Machu Picchu, yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural sebagai salah satu pusat energi di bumi.

Wow. Bagus sekali buku ini, menurut saya. Tidak heran, penulisnya, Diah Marsidi adalah seorang wartawan senior harian Kompas yang suka melakukan perjalanan ke berbagai tempat. Sebagian besar kisah perjalanan dalam buku ini telah dipublikasikan oleh Kompas.

Suer, gak nyesel saya baca buku ini. Kapan ya ada pameran buku lagi? :D

Inside the book :

"Ke Dubrovnik? Menyenangkan sekali!" komentar ini yang kami terima tiap kali mengatakan akan melanjutkan ke kota benteng itu. Tak satupun dari kenalan Bosnia kami yang tak berkomentar begitu. Sabina, seorang gadis Muslim-Bosnia, hanya berujar "Dubrovnik, aaaahhh..." sementara matanya menerawang. (hal 29)

Selama dua tahun lebih kami selalu khawatir tiap menjejakkan kaki keluar rumah, kisahnya tentang masa-masa Sarajevo dikepung pasukan Serbia- Bosnia. Mata gadis cantik itu berkaca-kaca. (hal 200)

...kalau ingin menyerap energi di Machu Picchu, yang perlu dilakukan hanyalah berbaring telentang atau tengkurap di manapun di reruntuhan itu. (hal 234)

Eragon, Perjalanan Penunggang Naga





ERAGON
Christopher Paolini
Gramedia Pustaka Utama, 2004, 568 hal
Alih Bahasa: Sandra B Tanuwidjaya




Hari ini, saat iseng mencari dan mengumpulkan coretan-coretan tangan di tengah tumpukan buku-buku lama - saya suka menulis di kertas bekas seperti di balik kertas fotokopian atau print-out yang gak kepake -tiba-tiba tangan saya tergerak meraih Eragon, buku pertama. Saya jarang beli novel (karena daya beli terbatas.. hehehe..). Eragon yang saya punya ini pun hasil pemberian seorang sahabat, user warnet tempat saya part time, Shadow, sebut saja begitu (thanks ya Shadow!).

Hmm, saya lebih suka novel thriller sebenarnya, tapi Eragon lumayan deh buat bacaan saat senggang. Saya menyebut novel ini sebagai novel fantasi petualangan. Pengarangnya, Christopher Paolini memang sangat menyukai kisah-kisah fantasi dan fiksi ilmiah. Ia mulai menulis Eragon pada usia lima belas tahun. Novel ini sendiri berkisah tentang perjalanan Eragon, seorang anak petani miskin berusia lima belas tahun yang menemukan sebuah telur berwarna biru, saat ia berburu di hutan. Ternyata itu adalah telur naga.Dan tenyata lagi, Eragon memang ditakdirkan sebagai penunggang naga, sebagai salah seorang penerus klan penunggang naga yang punah karena ditumpas oleh raja kejam Galbatorix, yang berkuasa saat itu. Setelah telur itu menetas, ditemani seekor naga betina yang dinamai Saphira (mungkin karena warnanya biru ya..) dan Brom, si pendongeng tua yang juga saksi sejarah, Eragon belajar berbagai hal tentang sejarah dan naga. Ia juga belajar ilmu sihir dan ilmu pedang di bawah bimbingan Brom. Berbekal semua pengetahuan itu, Eragon bertekad membangun kembali klan penunggang naga, meski ia harus menghadapi berbagai makhluk aneh dan berada di antara kubu-kubu yang masing-masing memiliki kepentingan dengan para penunggang baru bahkan dengan telur-telur naga lain yang belum menetas.

Uuh, capek juga baca buku ini. Mungkin karena saya lebih suka novel thriller itu tadi, yang adegannya melompat-melompat dari satu kejadian ke kejadian lain dalam rentang waktu bersamaan (seperti scene film), Eragon buat saya jadi terasa membosankan. Penceritaannya lurus pada satu kejadian, detik demi detik hanya berpusat pada Eragon, hari ini Eragon nemu telur naga, besok Eragon ngapain...dst. Seperti menceritakan proses tumbuh sebatang pohon dari hari ke hari dan menghabiskan 500 halaman lebih. Kecuali pada beginningnya, yang bercerita bagaimana telur itu dikirim dengan sihir oleh seorang elf ke hutan pada saat genting, ketika terjadi perebutan, dan akhirnya ditemukan oleh Eragon. Sampai halaman akhir, tak satu bab pun yang beralih dari hari-hari Eragon untuk menceritakan kejadian-kejadian di tempat lain. Apalah gitu, saya sih berharap ada bab-bab yang menggambarkan kejadian di istana raja Galbatorix, misalnya, atau apa yang terjadi di tempat para elf setelah telur itu di kirim ke hutan lewat sihir, ya semacam itulah.

BTW, ini kan buku pertama. Perjalanan sang penunggang naga belum berakhir. Saya belum sempat baca buku selanjutnya (belum ada kesempatan minjam :P), tapi saya berharap buku selanjutnya lebih menarik dan tidak membosankan.

Oke deh, kalau belum baca dan suka kisah-kisah seperti ini dengan gaya penceritaan yang gak pake belok-belok, silakan baca Eragon. Kalau malas, nonton filmnya aja. Gampang kan?

Inside the book :

"Yang penting adalah bertindak. Nilai dirimu berhenti kalau kau menghentikan kemauan untuk berubah dan menjalani kehidupan. Tapi kau memiliki pilihan ; pilih salah satunya dan dedikasikan hidupmu untuk itu. Perbuatan-perbuatanmu akan memberimu harapan dan tujuan baru"

"Tapi apa yang bisa kulakukan?"

"Satu-satunya pemandu sejati hanyalah hatimu. Tak kurang dari keinginan hatimu yang tertinggilah yang bisa membantu dirimu."

Saphira membiarkan Eragon mempertimbangkan kata-katanya. (hal 113)

Kamis, 16 Agustus 2007

Rahasia dan Kehilangan-kehilangan

Rahasia

bulan di garis horizon
bintangbintang di pintu fajar
dan angin yang menyanyikanmu
mereka tak mendengar
percintaan kita

(degup jantungmu
geletar hasrat itu
mengacau denyut nadiku!)

sampai kapan hingga
mereka mendengar
percintaan kita?



Semalam Purnama

Ya, semalam purnama
Tapi kupungut tangis
yang jatuh dari genggammu



tresna iku ora mung ukara

izinkan
kucuri kalimatmu
kutanam dalam sajak
suatu waktu kelak
mungkin menenangkan
badai ini



Yang Tinggal

Hujan itu
yang derai
cerita biru bilur
antaraku kau

di gerbang gunung
kabut luruh
serupaku kau

maka yang tinggal
hanya kecupmu malam itu




Nightmare


debu dan kerikil
cuma itu; aku
mungkin bukit padas

katamu cinta belum hilang
tapi aku terus lari
kelupas kakiku

malam tajam
tebing

di sini
aku; mimpi burukku

Selasa, 14 Agustus 2007

Sajak Gunung

Malam Di Kaki Gunung

Sekali ini aku kesal pada cahaya bulan
yang menyusup lewat celah pelepah kelapa
dan jatuh di rambutmu serupa sepuhan
Membikin kata yang kurencana jadi terlupa





Sekuntum Kembang Manggis Gugur

Di luar
sekuntum kembang manggis
gugur
Dikacaukan musim
yang membuka-katupkan daun jendela

Deritnya terkirim jauh
ke mimpi ; daun jendela lain mengatup
sepikan aku di luar

Guguran kembang manggis
terbawa angin
sebagian jatuh di pelupuk
mataku

Sabtu, 11 Agustus 2007

Lagi Cinta Tanah Air Nih...







Bendera

Kesekian kali
entah berapa ribu
kau menghadap matahari itu

Tapi rumputrumput masih pucat!



17 Agustus

Di depan matahari, engkau siluet
maka tak ada warnawarna
Kebanggaan

Lembar teranggelap serupa arsiran
menggambar kemuraman
Senja tambah mempertegas

Lalu angin turun dari tajuk pohonpohon
mencuri gairahmu, gemulai
di atas hirukpikuk perayaan
Meskipun sedikit muram; katamu bukan sebab malam
yang sudah separuh turun

Siang tadi kibarmu sempal
saat tangantangan menghormat
tapi terlupa mencintai



Bendera 2

Seperti perempuan
terpaku kesepian
Kainnya menjuntai di batuan telaga
terbawa riak air
memanggilmanggil
Rindu katanya
pada bukan sekedar
upacara

Sajak- Sajak Pantai

Siluet Lelaki di Pantai

; V

Senja hari
siapa berdiri
membelakangi matahari
Seperti patung dewa Yunani

Dia
Menumbuk laju waktu
sanubariku





Glagah

; memoar November

Kekasih
berapa senja telah berlalu
di pantai itu?

Masih saja kelepak camar hadir
melayanglayang saat mimpi mengalir




Parangtritis Jelang Labuhan

; untuk Chan dan kawankawan

hawa dingin malam itu
terbakar hangat kisahkisah hidup
seperti api unggun membakar kekayu

sekelompok gadis tertawatawa riuh
kami terbenam
sampai ke hati

(kau genggam tanganku sebelum pergi)





Pantai Terakhir

dalam kesesaatan
kau dan aku, sepasang mimpi yang terkubur
tahuntahun bertumbuh
antara kita

desau nafasmu kuhirupi
kenangankenangan membuncah ombak
terakhir kali
pantai ini

dan kita saling melepas pergi

Selasa, 07 Agustus 2007

Dua Simpul Mati

Berbincang dengan Nan, aku menemukan duniaku. Sebuah dunia yang diwakili kata, sajak-sajak, cerita-cerita pendek dan bincang ringan tentang karya-karya indah yang pernah kami baca. Seperti suatu sore, dibacakannya untukku Perempuan Padang Lalang1 saat aku sedang melukis senja di samping rumah (sepintas mengingatkan pada Chairil yang membaca sajak barunya di depan Mirat yang sedang melukis).

“...Aku menunggumu. Bahkan sampai mata berlumut dan tubuh mengeras batu. Aku menunggu. Sentuhan dan rabaan tangan yang ajaib itu...”2

Aku berhenti menyapukan cat di kanvas. Diam kupandang Nan. Seperti biasa matanya bicara bahasa yang hanya bisa dimengerti hati. Hubunganku dengan dia memang hanya hubungan hati dalam makna sebenarnya. Persentuhan fisik sepertinya bukan sesuatu yang penting buat Nan. Tanpa persentuhan ia memang telah mampu menyentuh hatiku. Nan pernah bilang cinta tingkat tinggi kadang tidak membutuhkan sebuah pertemuan fisik. Seperti kata Jalaluddin Rumi dalam syair-syairnya.

“Tapi Rumi bersyair lebih menuju Tuhan, Nan”

Waktu itu Nan hanya tersenyum penuh arti dan menggenggam tanganku, sebelah tangannya memegang buku puisi.

“Seandainya aku bisa bilang betapa aku mencintaimu. Tapi kalau aku bilang aku cinta kau pasti kau tertawakan aku. Pasti kau bilang ‘apa tidak ada kalimat lain yang lebih indah?’”

Nan mengecup tanganku. Aku tersenyum. Tertawa kecil dan kembali menyapukan cat menyelesaikan pulasan terakhir pada langit dalam lukisanku.

*

Hidup ini memang pelik. Di sebelahku Era bermain dengan pikirannya sendiri sembari menggenggam tanganku. Bagaimana mungkin aku hendak tak peduli padanya? Mungkin aku bukan orang baik. Menit-menit yang kulalui bersama Era rasanya seperti membaca Supernova3. Meledakkan emosi dan mempermainkan imaji liar.

Era berbeda dengan Nan. Suatu kali pernah kuajak ia menonton pementasan puisi yang membacakan karya-karya Afrizal Malna. Sudah kusiapkan tiket namun sengaja bukan mengajak Nan sebab aku mau suasana baru.

“Aku gak ngerti, Afrizal Malna tu siapa? Bagaimana aku bisa nonton?”

Suatu kali pula, saat senggang aku memberikan padanya bacaan ringan dari salah satu seri Chicken Soup. Tahu apa reaksinya?

“Kau ini, kenapa kau suruh aku baca buku masakan?”

Begitulah. Tapi kau menemukan dunia yang berbeda, yang dengan Nan tak pernah bisa kudapatkan. Apa aku terdengar rendah jika kukatakan ini adalah dunia persentuhan fisik? (Aku sempat malu mengakuinya!). Tapi aku seolah mendapatkan sedikit pembelaan saat aku selesai dengan lembaran terakhir Larung4. Digambarkan bahkan seorang pastor pun akhirnya, sebab kemanusiaannya, melakukan apa yang baginya terlarang.

Era membawaku pada sebuah dunia yang – mungkin – hedonis. Dunia penuh kesenangan yang menolak berpikir. Dan aku dengan mudahnya ikut terjebak di sana. Nan akan butuh waktu dan kata-kata yang tepat untuk bilang bahwa ia mencintai aku, tapi Era tidak membutuhkan apapun untuk menyekap bibirku dalam suatu ciuman tergesa. Selalu tergesa, tapi kusukai. Apalagi jika gerimis turun, betapa indah sebuah ciuman di bawah rintik air.

Dan, aku jatuh cinta. Dengan begitu mudahnya.

*

Mungkin aku memang bukan orang baik. Dengan Nan dahagaku akan dunia yang kucintai terpuaskan. Batinku kaya dengan pengalaman-pengalaman dan jiwaku mendapatkan supply energi untuk menikmati hidup. Nan adalah belahan yang sepertinya disediakan Tuhan untukku. Dengannya aku bisa berbincang tentang apapun, mulai membahas komik Doraemon sampai mengapresiasi Rendra, dari mulai mengomentari artikel di majalah sampai berdiskusi soal trafiking. Nan juga pasangan yang kompak untuk duduk menonton pementasan-pementasan puisi dan teater, penikmat sastra sepertiku.

Nan sempurna. Untuk batinku. Nan sangat sempurna memuaskan keliaran pikiranku, menampung semua yang bahkan tak terkatakan.

Tapi mungkin sebab aku bukan orang baik. Nan yang dingin dan alpa membaca naluriku membuatku memasukkan Era ke sisi hidupku yang lain, membuatku menginginkan Era. Yang lugas dan terus terang, sentuhan-sentuhannya membuatku mendamba. Pengakuan yang mungkin akan membuat muak orang lain. Tapi bukankah itu salah satu dari ghara’iz manusia? Kehilangan satu naluri ini membuat manusia bukan lagi manusia. Ah, mendadak aku sok agamis.

Tapi Era bukan teman untuk bicara. Bincang dengannya membuat aliran ideku serasa tersumbat. Saling tak mengerti dunia masing-masing. Bincang dengannya pasti akan berhenti pada satu titik, kebekuan.

Kemudian, suatu sore, saat cuaca yang aneh mengubah warna pohon akasia langsing di depan rumah menjadi keunguan, suasana menjadi ganjil dan tak dikehendaki ketika Nan dan Era muncul di teras rumah. Tiba-tiba kecemasan bertebaran di udara.

“Kau tentukanlah pilihanmu!” Era mulai meneriakiku sementara Nan mencengkeram bahuku dan memaksaku menatapnya.

“Hatimu pasti membawamu padaku. Kau perempuan padang lalangku.” Mata Nan yang biasanya lembut tiba-tiba terasa sangat memisauku.

Era mendorong Nan.

“Ia tak akan datang padaku jika kau urus baik-baik perempuan padang lalangmu ini!”

“Sudah!” aku berteriak. Berlari masuk dan kubanting pintu.

Di balik pintu waktu berlalu lambat, seperti neraka yang tak pernah berakhir. Lalu bagaimana mungkin aku memilih? Aku membutuhkan keduanya dalam hidupku. Aku membutuhkan Nan bagi jiwaku, sekaligus juga membutuhkan Era untuk ragaku. Seperti Chairil membutuhkan Mirat untuk gejolak jiwanya, untuk inspirasi puisi-puisinya, tapi juga setia mengunjungi Siti yang buta huruf dan tak mengerti sajak, di gubuk pinggir rel kereta5. Seperti banyak hal di dunia ini yang saling tak bisa dilepaskan satu sama lain. Jadi jangan pernah salahkan jika keputusan untuk memilih itu, bahkan tak kupertimbangkan.


Watulunyu, Mei 2007


1) Sebuah puisi Warih Wisatsana
2) Cuplikan puisi Perempuan Padang Lalang, Warih Wisatsana
3) Novel Dewi Lestari
4) Novel Ayu Utami, setelah Saman
5) Aku, Syumandjaya

(published on Lontar)