Minggu, 26 Agustus 2007

Menuliskan Kenangan Itu

Menyimpan Tawamu Di Sepenggal Senja

di sepenggal senja, entah kapan
kita mencoba menjerat waktu
kau deraikan tawa pada rambutku
mengurai pekat yang berkejaran
hari kemarin (di selubung perasaan-perasaan kita)

'kita adalah dua yang terpisah dinding kaca'

lalu di sepenggal senja yang lain, entah di mana
tawamu menjalin cerita
tentang kita yang ternyata tak pernah
menjerat waktu


Pemakaman Senja Di Pantai

Jika burung-burung putih beterbangan di langit kotamu
Saat itu senja telah mengubur warna matamu. Pemakaman cakrawala
Leluka di pasir, kupunguti setelah kulahatkan harum tubuhmu
Sesaat tadi

Di tengah laut, gelombang menyanyi musik miris seperti saat angkuhmu
Redupkan nyala. Aku terejam basah ke dada
Engkau hanya mengemas tawamu dalam kulum tanpa suara
Dulu

Jika burung-burung putih beterbangan di langit kotamu
Jangan lagi bertanya cakrawala mengapa sunyi
Tak ada lagi angin dan ombak. Reranting menepi di pantai
Tepat dimana terakhir janji tergurat. Pelunasan yang mati

Kupungut semua. Jauh kini di belukar hati



Bukan Perihal Kembang

Bukan perihal kembang - setangkai mawar dengan embun muda di kelopaknya - tapi di dadaku getar dadamu yang kau titipkan hangatkan malammalam deja vu
menyisipkan gemuruh purba

masih

menguar wangi

di tentang jantungku

Sungguh bukan perihal kembang - setangkai mawar dengan embun muda di
kelopaknya - tapi barangkali engkau tak mau peduli



Puing Di Kota Mati (081178-290482)

;untuk H di seberang jiwa

Sejak perpisahan di kanal itu
pernahkah kau kunjungi lagi lengangnya kota mati?
pada datangku dua hari yang lalu
keranjang rotanku penuh dengan kepingan kisah
yang tercecer dulu sepanjang jalan
dan kupunguti

Kupungut pula puing jembatan itu
masih terpahat di sana
angin yang melintas dan puisi-puisi Gibran

Sejenak ku kembali menyisir kenangan
saat kau lukis pelangi di bola matamu
dan membelitkan akar kegalauan itu pada hatiku
kita tertawa, lepas berdua di tentang bulan separuh

Tapi badai itu
sekejap dan cepat
hanya tinggal teriakmu kudengar bergema
'Kita seperti angin yang melintas di penggalan puisi Gibran!'
Dan 'tika terjaga, memang tak kutemukan kau lagi
senja telah mengubur warnamu dan aku di reruntuhan
bahkan siluet pun...tak kutemukan

Saat pulang, burung senja berbulu biru melintas terbang
merenggut semua kisah dari keranjangku
dipahatnya di udara
'Manusia tidak dapat menuai cinta sampai dia merasakan getirnya
perpisahan yang membuka semua sekat kesadarannya' *

*Kahlil Gibran


Kedung Pring I

Ku ingin bincang denganmu sebelum udara membatu
membaca guratanguratan itu, yang tertinggal di pasirpasir
tentang kanakkanak berlarian atau tentang galaksi yang kau petik dan
kau gantungkan di langitlangit kamar

entah

begitu ingin

sebelum waktu menjelma bongkahan es



Kedung Pring II

Kedungpring mungkin hanya sebuah keremangan purba yang mengusik kenangan, sebuah lanskap udara coklat yang mengambang dalam pikiranmu, diseling guguran daun mangga di atas reranting mawar.

Maka kutulis untukmu fragmen kegelisahan di bulir-bulir embun muda yang tak sempat terhirup. Ketika malam berakhir dan senandungmu berai di rumputan, bukankah Kedungpring adalah sebuah bait dalam kalimat-kalimatmu? Ia membingkai angin. Dari gunung yang mengalir menuju runtuhan rumah pasir di tepi pantai.

Kedungpring adalah rangkuman musim yang memberitakan harumnya debu ketika hujan turun pertama kali, dan bisikkan padamu perih pohonan jati meranggas di awal kemarau. Kenangkan angin yang tertinggal menelusur bibir pantai setelah sisa rumah pasirku hanyut dilalu ombak.

Maka kutulis untukmu fragmen kegelisahan di bulir-bulir embun muda malam itu, di Kedungpring. Bukankah malam berakhir dengan riuh gerimis menetes di tajuk alam, dan dingin di ruang kamarmu?

Kedungpring, apapun malammu kini, barangkali tinggal abadi.

Tidak ada komentar: