Jumat, 31 Agustus 2007

Jejak-jejak Tertinggal

Tanpa rencana, tiba juga akhirnya ia di pantai itu. Sekian tahun telah berlalu dan pantai itu banyak berubah. Jalan setapak yang dulu, bukit-bukit pasir.. semuanya tidak serupa itu saat terakhir kali ia sambangi. Mungkin tujuh tahun yang lalu, ia mengingat-ingat, terakhir kali dinikmatinya matahari tenggelam di sana. Hela nafasnya menyatu dengan angin. Perjalanannya kali ini seperti napak tilas tahun-tahun yang mengendap dan nyaris dia lupakan meskipun kadang tetap membuatnya terdera rasa sakit.

Memarkir motornya beberapa meter dari air, ia melangkah perlahan. Pasir-pasir menajam di kakinya. Aroma laut yang khas menyerbu penciuman, ada sedikit amis yang terbawa dari perahu-perahu nelayan di tepian. Beberapa remaja berkejaran saling dorong di pasir sambil tertawa-tawa ceria.

Ia memilih bagian pantai yang agak sepi. Sejak dulu ia suka bagian pantai yang sepi, menjauh dari orang-orang. Matahari hampir terbenam. Angannya berkembara jauh ke tahun-tahun lampau.

“El, jangan berumah di tepi pantai.”

Saat itu ia tertawa lepas sembari mengacak rambut Gara.

“Aku mau berumah di mana aku mau, dan kau tahu kecintaanku pada pantai. Jangan terlalu terbawa acara televisi tentang rumah di pantai yang terbawa ombak itu.”

Ia ingat Gara menatapnya aneh.

“Bukan sebab itu El, berumah di pantai minimal kita harus membuat rumah yang tahan gempa dan tsunami sebab….”

“Ssttt”

Akhirnya dia dan Gara hanya menikmati matahari terbenam dalam diam.



Sekarang ia menikmati matahari terbenam juga dalam diam. Malah tanpa Gara. Gara sudah jauh darinya. Terakhir didengarnya kabar ia menikah dan berputra satu.

Ia menunggu seseorang sekarang. Diliriknya jam tangan, beberapa saat lalu telepon genggamnya berdering. SMS

El, ak bs dtg. Tunggu ak ½ jam lg, coz urusanku lom slesei. Ok?

½ jam lg? Sunsetnya dah abiz.

Gmn lg? Tunggu ya...


Ok. ½ jam lg dah lewat jam 6. But I’ll wait...

Ia mengunci keypad handphone, memasukkannya dalam saku. Berjalan ke arah matahari terbenam matanya mencari tempat yang memungkinkannya duduk tanpa celana jeansnya terkotori banyak pasir. Akhirnya ditemukannya sepotong batang kayu yang terbawa ombak ke tepi, mungkin sudah lama ada di sana. Dan kelihatannya sering pula diduduki pengunjung pantai itu sebelum dia. Botol air mineral dan kemasan makanan kecil berserak di dekatnya. Ia duduk. Menatap jauh ke lautan di depannya. Temaram sudah. Matahari hampir habis. Remaja-remaja itu masih berkejaran dan tertawa-tawa, agak jauh darinya.

Dulu sekali, ia hampir lupa berapa tahun yang lalu, di tempat yang hampir sama seperti ini, dengan potongan batang kayu didudukinya, Gara di depannya bersila di pasir pantai. Rambut panjang Gara tersapu angin menampar wajahnya, tapi ia tak marah ataupun merasakan perih.

“Apa sih yang kamu suka dari pantai? Udara basah begini kan bikin rambutmu lengket..” Gara menggerutu. Ia tahu sejak dulu ia dan Gara tak pernah sepakat soal pantai. Gara lebih suka udara pegunungan yang menurutnya murni dari polusi dan bagus buat paru-paru.

“Aku pun mau berumah di mana aku mau, El. Dan aku maunya tidak di pantai.” Gara senyum simpul sambil mengamati ekspresi wajahnya. Mata Gara berbinar canda. Ia tertawa begitu lepas saat itu. Tiba-tiba Gara menarik tangannya dan mereka berlari menantang ombak.

Perih itu dirasakannya sekarang. Mendadak angin bertiup lebih kencang menerbangkan pasir ke wajahnya membuatnya merasakan perih yang lain. Remaja-remaja itu mulai beranjak pulang. Tawa mereka terdengar olehnya sayup-sayup makin menjauh. Telepon genggamnya berdering lagi.

El, masih d pantai kan? Tunggu bentar lg. Mendadak ada lg yg hrs kukerjakan.

Ia menatap ke arah matahari. Tinggal sisa sinarnya saja. Menggaris di langit pantai seperti gambar perspektif, warnanya pun tak mampu ia definisikan. Mungkin biru, tapi sepertinya bukan, kelabu, merah...uh, entahlah. Dingin. Ia mendekapkan tangan ke dada. Diliriknya jam tangan. Sudah hampir setengah jam ia menunggu.

Entah mengapa ia ada di sini sekarang. Semua tak direncanakannya. Begitu saja terpikir olehnya pantai ini ketika ia keluar rumah tadi, menstarter motornya dan melihat langit yang begitu cerah. Ketika sampai tadi, ia ingat seseorang. Seseorang yang pernah berjanji akan menemaninya menikmati senja di pantai, kapanpun ia mau. Maka ditekannya nomor-nomor yang dihafalnya di luar kepala, tanpa melihat daftar kontak dalam handphone-nya. Entah mengapa juga, ia bisa ingat rangkaian nomor itu. Dua jam yang lalu, setelah berkali-kali ia hubungi, teleponnya di terima.

“Ya, El?”

“Aku di pantai.”

“Sekarang? Aku lagi kerjakan sesuatu, gak bisa ke situ temani kamu.”

Ia diam. Tak tahu mesti memaksa atau mengingatkan pelunasan janji.

“Maaf, El.”

Apakah ia memang tidak mendengar sesal dalam kalimat itu? Ia menekan sakit yang tiba-tiba muncul. Tapi kesadaran untuk tidak berharap membuatnya memaksakan senyum meskipun tahu lawan bicaranya tak akan melihat. Ia menenangkan hatinya sendiri.

“Ok. Aku sendirian saja.”

Klik. Ditatapnya handphone agak lama. Tak ada apa-apa di sana. Cuma catatan hubungan telepon terakhir. Tapi dalam pikirannya berkelebat bayangan lain. Ia membunuh bayangan itu. Apakah saat itu ia merasakan air mata membasah? Ia tak yakin.

Jadi ia di pantai itu sekarang. Masih menunggu sebab setengah jam setelah telepon itu pesan pendek masuk ke handphonenya.

El, ak bs dtg. Tunggu ak ½ jam lg, coz urusanku lom slesei. Ok?

Ia malah mengenang Gara.

Ia kedinginan sekarang. Dulu Gara pasti memeluknya jika ia kedinginan seperti ini. Angin terasa lebih kencang sebab malam mulai turun. Matahari benar-benar telah terbenam dan gelap mulai mengelilinginya. Ia menggigil. Ia menundukkan kepala, rapat ke lututnya. Pantai itu sudah sepi. Ia mengharapkan sosok yang dinantinya tiba, menemukannya kedinginan di sini dan (mungkin ) memberikan pelukannya. Ah, angannya terlampau jauh. Bukankah tak ada hubungan istimewa antara mereka? Mungkin ia yang salah mengartikan perhatian itu.

Telepon genggamnya berdering lagi. Incoming call. Tiba-tiba ia merasa harapannya benar-benar habis. Tubuhnya tiba-tiba lunglai saat mendekatkan hanphone ke telinganya.

“El, maaf banget, aku gak bisa datang. Udah malam banget untuk ke pantai. Kamu pulang saja sekarang. Gak baik di pantai jam segini, apalagi untuk perempuan...”
Ia diam. Ombak berdebur kencang, rasanya sangat dekat. Ia berpikir percuma bersuara toh suaranya akan lenyap, kalah dengan deburan itu.

“El?”

Sesungguhnya ia hanya tak tahu mesti berkata apa. Ia sudah menunggu. Kedinginan pula.

“El? Kamu gak apa-apa kan? Maafin, El... Kamu pulang saja sekarang, okey?”

Apakah didengarnya sesal dalam kalimat itu? Ia tak yakin.

“Ya.” Setengah berteriak. Serak. Ia marah pada dirinya sendiri, setengah menahan tangis. Ia tak tahu perasaan apa di hatinya sekarang. Diakhirinya telepon itu.

Ia beranjak. Tiba-tiba ia merasa takut menyadari sekelilingnya sudah gelap. Apakah tinggal ia sendirian di sana? Sekarang air mata benar-benar telah menuruni pipinya. Setengah berlari ke tempat ia memarkir motor, hatinya menyalahkan Gara. Mengapa sejak Gara, pantai selalu menyisakan rasa sakit untuknya? Terlepas dari siapapun yang terhubung dengannya di pantai, ia selalu saja merasakan sakit. Selalu saja tentang apa yang diingininya dan tak pernah sampai.

Ia menstarter motornya. Pulang. Memacu secepat ia bisa. Dingin tak lagi dirasakannya. Telepon genggam yang sedari tadi berdering mengisyaratkan pesan masuk pun tak lagi dipedulikannya.

Epilog

Beberapa kilometer jauhnya dari El, seseorang bermain dengan pikirannya sendiri. Berulang ditatapnya telepon genggam itu, sambil berpikir untuk mengirim email saja malam nanti untuk menjelaskan ini semua.

Tidak ada komentar: