Jumat, 19 Desember 2008

Aku Dibunuh



Beberapa jam yang lalu aku dibunuh. Saat pertama, rasanya seperti melihat pijaran kembang api waktu perayaan tahun baru; silau. Perlahan-lahan, aku bergerak keluar dari tubuhku, meninggalkan sepasang kaki tak bersandal, meninggalkan pinggulku yang padat, meninggalkan jantung di balik buah dada yang digilai banyak lelaki. Tubuhku mengejang luar biasa saat aku hampir tiba di luar.Tubuhku kesakitan seperti ditombak bertubi-tubi dengan pencungkil perapian yang membara. Di ulu hatiku. Tak lama kemudian aku dengan jelas melihatnya, meskipun gelap melingkup sekitar: tubuhku memang ditombak dengan sebatang linggis karatan, tepat di ulu hati . Darah mulai mengental, menempel di renda bra putih yang sangat kukenal. Tubuhku setengah tak berpakaian. Perutku yang rata seperti dibubuhi semacam saos kental, menjijikkan. Pinggulku mati dan memar membiru. Aku tak tahu siapa yang membunuhku. Aku pun tak pernah membayangkan akan mati dibunuh, lalu foto tubuhku yang mati muncul di koran-koran, dinikmati oleh orang-orang penggemar cerita kriminal, sambil menyeruput kopi di bawah pohon asam pinggir jalan. Mungkin satu jam, dua jam atau dua hari lagi tubuhku akan ditemukan orang-orang. Seperti mayat artis yang dua bulan lalu ditemukan di pematang sawah. Lima tusukan pisau. Orang-orang berkerumun sambil menutup hidung, polisi memasang batas kuning di lokasi, wartawan gosip memburu sensasi dan dramatisasi. Ada pula pedagang minuman tiban yang melihat kesempatan mengais rezeki. Waktu itu aku disana. Aku sempat melihat mayat artis itu sebelum dikemas ke dalam kantong.

Entah pukul berapa sekarang. Aku masih menunggui tubuhku. Apa yang tadi terakhir kulakukan sebelum dibunuh? Otakku berhenti sejak tubuhku mati, ingatanku sama sekali tak bekerja. Aku duduk di dekatnya, memandanginya. Kasihan tubuhku. Semut-semut mulai membuat jalur tak putus-putus di sekitar tubuhku, beruntung tak ada burung pemakan bangkai terbang melintas malam begini, atau hewan pengerat yang kebetulan lewat dan terpancing dengan amis darah, sebab aku tak akan sanggup melihat ususku diburai, dan binatang-binatang itu berpesta pora. Tapi keberadaan semut-semut itu pun mulai menyesakkanku. Mereka mulai memasuki lubang-lubang di tubuhku, membawa secuil-secuil entah apa dari tubuhku, sambil bergunjing.

"Lihat wajahnya. Dia cantik."
"Sstt... "
"Tapi dia mati."
"Sstt... "
"Sakit sekali pasti ditombak di situ..."
"Sstt.... Kerja, kerja, kerja. Keburu ditemukan..."

Aku ingin memeras otak, mengingat saat sebelum aku dibunuh. Tapi otakku sudah beku di dalam kepalaku yang terkulai di atas kerikil. Kerikil? Itu pecahan batu yang hampir sama ukurannya, terlalu besar untuk disebut kerikil. Koral mungkin lebih tepat. Setengah meter dari tempat tubuhku mati adalah batangan-batangan besi, dijajar rapi untuk sebuah tujuan; suara alarm memekakkan lalu gemuruh yang ganjil menggetarkan bumi membersamai sorot sangat terang, muncul tiba-tiba. Tubuhku terlihat jelas dalam cahaya, telentang dalam posisi vitruvian yang tak sempurna dengan jemari seperti hendak mencengkeram, bergetar-getar di permukaan miring hamparan koral, linggis karatan itu tampak seperti tonggak nisan kuburan dukun ilmu hitam. Kelam. Tapi cahaya itu tak berhenti. Setelah kotak-kotak cahaya yang lebih kecil dibelakangnya bergerak cepat melintas di sebelah tubuhku, sepi kembali mendominasi.

Tuhan, aku dibunuh di tepi rel kereta api. Dan entah pukul berapa sekarang. Tubuhku mulai kaku. Saat ini yang paling aku inginkan adalah mengambil otakku dan mencungkil kejadian-kejadian dari sana. Aku pernah mendengar di televisi berita pesawat jatuh, selain korban-korban itu, kotak hitam menempati urutan penting untuk dicari. Konon, kotak hitam menyimpan rekaman kejadian terakhir yang bisa dipakai sebagai dasar investigasi. Mengapa manusia tidak dilengkapi dengan perkakas semacam kotak hitam? Mungkin dengan begitu setiap orang akan berpikir dua kali sebelum membunuh orang lain, dan tubuhku tak akan mati dibunuh di pinggiran rel, di atas koral kasar, dirubung ribuan semut dengan linggis karatan menombak angker di ulu hati. Darah sudah mengental menjadi saren. Aku ingin muntah. Tapi aku tetap bertahan di samping tubuhku. Mungkin aku akan menemukan jawaban siapa yang terakhir kali bersamaku di pinggir rel kereta ini, dan mengapa aku dibunuh...



Jelas sekali ini lewat tengah malam, meskipun aku tak tahu jam berapa sekarang. Tak ada orang melintas di sini. Pegawai PJKA yang bertugas mengecek rel barangkali pun tak lewat malam ini. Aku sering berpikir mengapa ada orang mau mengerjakan pekerjaan seperti itu; menjinjing lampu ting di saat orang-orang lain tertidur lelap, berjalan puluhan kilometer di jalur kereta api membiarkan istrinya meringkuk sendirian kedinginan di kamar, tapi saat ini tiba-tiba aku merasa sangat membutuhkan salah satu dari mereka. Setelah aku mati dibunuh, tiba-tiba muncul kesadaran untuk jangan pernah meremehkan orang lain, apapun pekerjaannya, apapun isi pikirannya. Suatu hari ternyata aku membutuhkan orang-orang yang tak pernah kuanggap penting dalam hidupku. Suatu hari. Dan ternyata hari itu adalah hari saat aku mati dibunuh. Aku tiba-tiba membutuhkan pegawai PJKA itu.

Orang macam apa yang bisa membunuh dengan demikian sadis? Sekilas tadi saat cahaya sorot kereta api menimpa tubuhku, aku melihat pakaian dalamku tercabik. Pakaian luarku entah teronggok di mana.Kulit langsatku tampak pucat tak berdarah. Tampak jelas sekali sebab tubuhku hampir telanjang. Apakah si pembunuh telah memperkosaku pula? Melihat tubuhku yang lumayan molek dan tentunya tadi tak berdaya, sangat mungkin menyulut pula nafsu binatangnya. Mengapa pula ia membunuh perempuan sepertiku dengan linggis karatan yang berat alih-alih menggunakan pisau lipat kecil yang bisa dimasukkan dalam saku? Apakah tadi aku langsung mati saat linggis karatan itu menghujam, atau pembunuhku sempat memutar-mutar linggis itu setelah menancap dan menikmati ekspresi kesakitanku? Waktu masih berada dalam tubuh itu dan hidup, aku memang penggemar kisah-kisah psikopat, aku menikmati kisah-kisah dengan tokoh protagonis sekaligus antagonis pengidap penyakit jiwa yang tampil sangat waras dan innocent. Menurutku tokoh-tokoh berkehidupan ganda memiliki perjalanan hidup yang sangat menarik, penuh tantangan dan lebih mampu mewujudkan imaginasi. Tapi aku benar-benar tak pernah berita-cita menjadi korban seorang psikopat yang orgasme melihat ekspresi sekarat korbannya. Mungkin, pembunuhku tadi pun melenguh puas di tengah-tengah sekaratku.

"Jangan serakah. Sampai besok ia tak kan habis..."
"Mumpung belum busuk."
"Tinggalkan yang darah-darah..."
"Hmm?"
"Sstt... Kau lupa, di seberang rel ini sawah-sawah semua. Kau tahu artinya itu?"
"Tikus...."

Semut-semut semakin banyak hilir mudik. Bekerja sama sambil bergunjing, seperti ibu-ibu rewang di rumah orang punya hajat. Semut-semut itu tak punya jam malam, tak mengajarkan anak-anaknya tidur tepat waktu setelah mengerjakan PR. Naluri mereka adalah makan, makan, makan dan beranakpinak. Kapan terakhir kali aku makan, apakah tadi aku sempat makan malam pula dengan pembunuhku? Sebuah skenario muncul; pembunuh itu, mungkin seorang yang kukenal baik. Ia datang ke rumah atau menjemputku entah dari mana lalu mengajakku makan malam. Setelah itu barangkali ia mengajakku menikmati bintang-bintang - bukankah semasa hidup aku sangat menyukai bintang dan menebak-nebak rasi? - dari pinggir rel kereta api ini. Di seberang terhampar persawahan hingga bintang tak terhalang pepohonan apapun. Kemudian, barangkali kami berseteru entah tentang apa. Lalu ia mengambil linggis dari semak-semak dan menombak ulu hatiku.Pembunuh itu kemungkinan seorang laki-laki dan sudah merencanakan hendak membunuhku. Ia telah lebih dulu menyembunyikan batang linggis berkarat di semak-semak dan menggunakannya sesuai rencana. Tapi mungkin juga ia seorang perempuan. Perempuan yang pasti terbiasa dengan benda-benda kotor sebab tak banyak perempuan mau berurusan dengan karat, kecuali jika itu terhubung dengan perhiasan. Jika ia seorang perempuan, mungkin pilihan senjatanya juga lebih manusiawi. Tapi, jika ia seorang perempuan, latar belakang apa yang membuatnya membunuhku? Hidupku biasa-biasa saja, tak ada sesuatu yang bisa membuat perempuan lain merasa iri dan orientasi seksualku termasuk sangat normal. Pembunuh itu, aku hampir yakin seorang laki-laki. Tapi laki-laki siapa? Apakah dia kekasihku atau ayahku? Dalam berita-berita di koran yang pernah kubaca, seorang gadis ditemukan mati di dalam rumah kost, ternyata dibunuh oleh pacarnya sendiri. Mayat gadis cantik yang dibuang di pinggir jalan tol pun, juga dicekik oleh pacarnya sendiri. Tak pernah habis aku berpikir, apakah cinta memiliki alasan untuk membunuh seorang kekasih dan alasan macam apa yang dapat diterima oleh akal sehat? Cinta memang konon tak masuk akal, tapi lebih tak masuk akal jika ia dijadikan alasan untuk membunuh. Pasti bukan cinta pula alasan seorang ayah jika menyetubuhi anak gadisnya sendiri, kemudian membunuhnya dan menyimpan mayatnya di kolong ranjang. Namun, jangan-jangan benar kekasihku yang telah membunuhku.



Ayam jantan mulai berkokok. Sepertinya pagi hampir tiba. Sedikit merasa tenang sebab orang-orang akan segera menemukan tubuhku, setidaknya petani-petani yang hendak pergi ke persawahan itu. Aku juga berharap wanita-wanita pedagang di dusun dekat sini melewati pinggiran rel untuk pergi ke pasar pagi-pagi sekali. Aku belum menemukan jawaban oleh siapa dan mengapa, aku dibunuh. Tubuhku masih tetap kutunggui sebab aku takut jangan-jangan ada anjing liar lapar muncul entah dari mana, menyerobot tubuhku dan mengobrak-abrik tempat itu. Pihak berwajib yang kelak menyelidiki kematianku akan kehilangan bukti-bukti jika tempat itu mosak-masik. Bisa-bisa pembunuhku tetap berkeliaran bebas diluar sana sementara tubuhku digerogoti cacing di dalam kubur, tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Di sana..."
"Keretanya setengah lima. Cepat!"

Ada orang. Siluet orang. Berapa orang? Ayam jantan berkokok sahut menyahut sekarang. Semburat kemerahan samar-samar di langit sebelah timur, hampir belum tampak dan entah mengapa aku mulai terangkat naik, melayang di atas tubuhku. Aku panik, seperti Bandung Bondowoso menyadari pagi datang lebih cepat sebelum seribu candinya selesai. Aku berusaha berpegangan pada batang linggis berkarat yang tertancap di ulu hatiku, aku masih ingin menunggui tubuhku dan memastikan ia mendapat perlakuan yang layak setelah benar-benar kutinggalkan. Tapi aku hanya menggenggam udara kosong, tak bisa menyentuh apa-apa lagi.

"Linggisnya. Cabut pelan-pelan."
"Dibuang?"
"Nanti di kali. Jangan di sini."

Orang-orang itu berdiri di samping tubuhku. Aku masih melayang-layang, betapapun usahaku untuk turun. Bobotku sepertinya hampir dilupakan oleh gravitasi. Aku hanya dapat melihat di keremangan subuh, dua orang berkudung sarung melakukan sesuatu terhadap tubuhku yang mati itu. Satu orang menginjak perutku yang terbuka dan penuh darah kering, menekankan kakinya sementara kedua tangannya menarik linggis karatan sekuat tenaga. Kawannya mengamati sekitar sambil memicingkan mata, menembus remang subuh. Tubuhku yang sudah kaku tersentak sesaat ke atas. Linggis itu lepas. Meninggalkan lubang hitam keunguan yang menimbulkan rasa ngeri sekaligus jijik.

"Kau penasaran tidak?"
"Apa?"
"Kok dibunuh. Sepertinya bukan orang jahat."
"Banyak orang baik-baik mati dibunuh...."
"Cepat. Seret..."
"Kau penasaran tidak? "
"Bukan urusan. Tugas kita hanya memindahkan mayat ini. "
"Kenapa tidak langsung dipindahkan tadi setelah dibunuh? Aneh orang itu."

Mereka bekerja bergegas. Tubuhku diseret seperti karung dedak di tempat penggilingan. Aku mendorong sekuat tenaga menggapai turun untuk mencegah, tapi aku tetap melayang-layang. Aku ingin berteriak keras-keras saat ini, jika tak mungkin mencegah mereka menyeret tubuhku setidaknya aku bisa bertanya siapa yang membunuhku, dan mengapa. Aku tak ingin mati penasaran seperti kisah-kisah dalam film, lalu menjadi hantu di pohon besar dan balas dendam. Dan sekarang tubuhku sudah berpindah dari permukaan koral miring itu, hanya setengah meter. Mereka meletakkan tubuhku yang kaku melintang di atas dua lajur besi. Mereka terengah. Aku yakin bukan sebab tenaga yang digunakan saat menyeret tadi, itu hanya butuh satu menit. Mungkin sesungguhnya mereka pun menanggung beban melakukan ini atas tubuhku. Kemudian, sehelaan nafas, suara alarm seperti yang kudengar tadi malam mengagetkan mereka. Alarm itu terdengar panjang dan jauh, dan batangan-batangan rel mulai bergetar.

"Ayo cepat! Bawa linggisnya!"

Mereka sudah menyelinap hilang saat sorot cahaya menyapu tempat itu. Tubuhku kembali terlihat jelas seperti tadi malam saat sorot yang sama muncul; posisi vitruvian tak sempurna, setengah telanjang, namun tanpa linggis karatan menancap ulu hati. Melintang di sana. Mati. Bergeser-geser sedikit sebab getaran rambat dari sesuatu yang besar dan sedang bergerak sangat cepat. Aku berusaha menggapai turun, tapi aku semakin melayang naik, semakin jauh.

Setengah menit kemudian sunyi. Getaran di batangan rel semakin lemah dan hilang. Lalu ayam jantan berkokok makin riuh. Ufuk timur berwarna merah darah. Aku melesat cepat. Gravitasi sudah tak mengenaliku lagi. Aku hanya tinggal perasaan dan emosi, pertanyaan dan dendam. Beberapa jam yang lalu aku dibunuh, ditombak dengan linggis karatan entah oleh siapa, mungkin pula sebelumnya diperkosa, namun hari ini di koran sore akan muncul foto sisa tubuhku yang hancur lebur -disensor kotak-kotak- di halaman kriminal; Dilindas KA, Gadis Tak Dikenal.


*

(mengapa dia membunuhku?)


Kamis, 18 Desember 2008

Dari Diary

berapa lama sudah kita lupa

menziarahi kuburan mimpi di pinggir jalan ke pantai
aku lupa membawa uba rampe. bunga, kemenyan dan sisa
parfum bermerk pierre cardin tertinggal di kamar. entah
di atas sprei kusut atau di bibir bak mandi

semalam aku menombak wajahmu
yang lancang berkeliaran meributi malam seperti dengung nyamuk
pagi harinya aku tak ingat menyiapkan segala uba rampe
aku sibuk mengingat dimana kuletakkan pakaianku
semalam kusampirkan sebagai ganti tirai. jendela yang berharihari
kubiarkan terbuka buat menguapkan nafsu

aku lupa, sayang, berapa lama sudah kau juga lupa
membaca puisipuisi berdebu dalam komputermu?



anak sungai glagah malam hari

derik. gesekan batangbatang kalanjana
membukakan pintupintu mimpi
ada gemuruh di bawah sana. arus terjun pada dam
terdengar sampai ke pintupintu yang terbuka
perlahan. mengasingkan kita
pada sebuah ruang luas; mengabarkan kenyataan
malam ini
kita masih berdiri di tentang pintu mimpi




Perkara Tubuh

tubuhku tubuh perempuan. tumbuh dalam kota penuh mimpi buruk
di mana anjing penjaga dijagal tuannya sendiri kemudian tulangbelulangnya dilempar
keluar jendela usai makan malam; hidup dalam kepala
membungkus benih pemberontakan
dua puluh enam, kota menciptakan makhlukmakhluk dari mimpi buruk
di dalam tubuhku. tubuh perempuan. perselingkuhan yang indah tak mampu
memabukkanku.

tubuhku tubuh perempuan sampai aku memperkosa si tuan yang menjagal
anjing penjaganya. di ruang makan yang redup dan penuh sisa makanan anjing
dua puluh enam makhluk keluar dari tubuhku hinggap di dinding. di langitlangit
kota kerlipkerlip di luar jendela terkekeh puas; pemberontakanku bukan
sebab mabuk perselingkuhan dan cinta segitiga terlampau panas.

kau memaki.
aku selesai.
makhlukmakhluk mimpi buruk menjilati sisa tubuhku di tubuh si tuan; sepertinya aku
masih perempuan.

Kamis, 27 November 2008

Stasiun-stasiun

Keberangkatan

perempuan buta di peron stasiun. menunggu
seperti pesakitan. detik terakhir sebelum peluit
melengking sampai dada; seorang lelaki yang menjanjikan
kornea. demi kenikmatan memandang bumi berlari
ke belakang

di kepalanya bertumbuhan ladangladang
gunung. burungburung putih di atas sawah
kebun strawberi. dan hujan. gelandangan
meminum sisa dari plastik es yang dilempar keluar jendela
dan wajahwajah pengantarnya. di peron

tiga hari yang lalu
"bawa korneaku denganmu, di hari keberangkatan
untuk menebus segala kecintaan yang kubatalkan"

peluit melengking sampai dada. peron beranjak dari rabaannya
terakhir kali

lelaki

yang menjanjikan kornea
berjingkat melintasi ladangladang. di kepalanya.
di hari keberangkatan




Kedatangan


pada kedatangan di tubuh maghrib
macet. suntuk menyambut di stasiun
hirukpikuk. menyumpalkan guguran waktu
antara celah besi rel hitam
dan cericit sms dalam handphone
menghitung waktu mundur

kaleidoskop. gambar dalam otak
ditambah keliar matarasa dari jendela
kereta. dan sepincuk tangis anakanak di gerbong
makan
sampai di mana?

di kedatangan yang paling murung. ujung jarum
jam murung. menulisi ingatan dengan sebait
sajak; waktu jadi gasing. hitungan mundur makin detik
ketika stasiun hilang. cericit dalam handphone
beranakpinak dari keberangkatan yang mencacah
tubuhku di celahcelah besi rel. hingga. semaghrib ini
selasar pintu keluar adalah waktu yang menjadi suam
di dalam hitungan

ku

sampai di mana?

kulipat waktu di dalam saku



The Hardest Part

di kota tanpa pantai. aku masih membaui laut
dari poripori kulit. seperti minyak wangimu
senyawai lindap selimut

itu kerinduan, serbuk laten dari arah
keberangkatan. bertahan
dengan memakan kesepian.

bukan. telah kutinggal di trotoar pada hari sibuk
ketika rasa hirukpikuk. sebelum jarum jam berputar
mabuk. di kota lain. tempat asal
tercium asin. lantas apa?; persetubuhan
kerinduankenangan. melahirkan anakanak yang tak patuh
pada petuah. ribut mendobrak bilik hukuman
(sederhana saja, kata siapa)

maka sejumput liar keringat sendiri . penat dan kuyup
mengayuhkayuh. di pusat kota

kesepian

Sang Parang Jati; A Review To Bilangan Fu



Bilangan Fu
Ayu Utami
KPG, 2008
537 hal




Saya adalah orang yang tak pernah merencanakan judul buku yang hendak saya beli sehingga kegiatan ke toko buku hampir selalu memakan waktu berjam-jam. Kebiasaan yang memang sangat tidak efektif.. he..he.. Tapi akhirnya sore itu saya mengakhiri jelajah saya di sebuah toko buku diskon di Bandung (jangan tanya spesifiknya sebab saya belum terlalu hafal jalan-jalan di kota kembang, sampai ke toko buku itu juga berkat tanya-tanya sama sopir angkot :D), dengan membayar Bilangan Fu di kasir.

Ayu Utami, penulis perempuan peraih Prince Claus Award tahun 2000 (karena dianggap memperluas cakrawala sastra Indonesia) kembali menetaskan sebuah novel bertajuk Bilangan Fu. Cetakan pertama bercover warna coklat keemasan yang tidak terlalu menarik, menurut saya, apalagi jika saya bandingkan dengan beberapa buku Dee dengan cover hitam ekslusifnya (karena saya suka warna hitam?), atau tetap kalah menarik juga jika dibandingkan dengan Recto Verso -buku terbaru Dee- yang bercover warna hijau cerah.

Dalam 537 halaman, novel ini pada awalnya berkisah tentang dan dari sudut pandang seorang pemanjat tebing bernama Yuda. Ia memiliki pertanyaan kabur tentang sebuah bilangan, yang jawabannya selalu dibisikkan oleh sosok dalam mimpi-mimpi intimnya , sebagai bilangan Fu. Pada suatu ketika, Yuda bertemu dengan Parang Jati, pemuda berjari dua belas yang kelak menjadi sahabat yang mengubah jalan hidup dan agamanya dalam pemanjatan tebing. Sejak pertemuan Yuda dan Parang Jati, sentral novel ini beralih ke kehidupan Parang Jati. Parang Jati bayi ditemukan di sebuah mataair, kemudian diangkat anak oleh guru kebatinan dan dididik untuk menanggung segala sesuatu. Parang Jati menjelma pemuda kritis yang tidak mengukur apa yang metaforis secara matematis, dan tidak yang spiritual secara rasional. Ia pejuang pelestarian alam, dan menggagas pemanjatan bersih kepada kelompok Yuda, sebagai wujud penghormatan terhadap alam. Menurut iman kritisnya, alam banyak memberi tanda kepada manusia. Iman kritisnya membuat ia seolah mencampuradukkan agama, berada di antara Tuhan dan Nyi Roro Kidul, sebagai bilangan Hu, bilangan satu yang juga nol. Hal ini ditentang oleh Farisi, adiknya yang sama-sama ditemukan di mataair.

Serangkaian kejadian aneh dan berbau mistis, seperti orang bangkit dari kubur (pada akhir cerita, akhirnya ketahuan kalo mayat mereka ternyata dicuri sebagai pemenuhan syarat menuntut ilmu hitam), penampakan tuyul dan makhluk-makhluk aneh, teror pembunuhan dukun santet, ninja, isu aliran sesat mewarnai perjuangan Parang Jati menyelamatkan alam. Melibatkan pula militer yang akhirnya membuka jalan kematian bagi Parang Jati.

Di sisi lain, ada Marja, gadis kekasih Yuda yang digambarkan bertubuh kuda teji dan bersenyum matahari. Ia adalah 'manusia' di antara Yuda yang 'setan' dan Parang Jati yang 'malaikat'. Terjadilah sebuah kisah cinta segitiga yang dimengerti oleh mereka bertiga tanpa membutuhkan pengungkapan dengan kata-kata.

Seberapa menarik novel ini? Ayu Utami dengan kepiawaiannya meramu flasback dan memasukkan sejarah-dongeng menjadikan Bilangan Fu tidak membosankan untuk dibaca, sebab kita dibawa meloncat dari satu masa ke masa yang lain, dari kejadian sejarah-dongeng semacam Sangkuriang dan Siung Wanara hingga sejarah kontemporer yang berlatar waktu seputar reformasi. Penulis ini menggunakan simbol dan gambar-gambar untuk memperkuat penggambaran dalam novelnya. Dalam beberapa tempat gambar-gambar itu terasa mengganggu – kalo gak mau disebut merusak- imajinasi pembacanya, namun dalam beberapa tempat memang terasa diperlukan, misal dalam penggambaran tokoh pewayangan dan pohon silsilah dari Babad Tanah Jawi. Ayu Utami pun membuat simbol dan gambar itu lebih 'santai' hingga menjadi jenaka, seperti kejenakaan yang juga muncul dalam celetukan-celetukan sepanjang novel. Tapi Ayu Utami, sama halnya dengan kekhasan Saman dan Larung, memasukkan banyak kata berunsur seks sangat kental. Mereka yang pernah membaca Ayu Utami tentu tidak kaget lagi dengan perumpamaan-perumpamaannya tentang organ reproduksi pria dan wanita. Begitulah :D.

Saya nukilkan dari cover belakang sbb:
'Ia menamai novelnya 'spiritualisme kritis' yaitu yang mengangkat wacana spiritual -keagamaan kebatinan maupun mistik ke dalam kerangka yang menghormatinya sekaligus bersikap kritis kepadanya, yang mengangkat wacana keberimanan tanpa terjebak dalam dakwah hitam putih.'

Lalu bilangan apakah Fu, yang selalu menghantui Yuda? Ia sayup-sayup menyingkap dirinya di antara kejadian, di antara kisah Parang Jati sang Hu, di antara semua itu pokoknyalah...he..he.. biar gak penasaran baca aja sendiri. By the way, hari itu saya cukup puas membawa pulang Bilangan Fu setelah tak mendapatkan referensi Photoshop yang saya butuhkan. Namun sebab kegiatan ke toko buku yang tidak pernah efektif itu, saya jadi kehabisan waktu, rencananya mau ke BEC liat-liat T650, katanya lagi turun harga. Hikz. Gak jadi deh.



Inside the book :

Hu adalah bilangan sunyi. Hu adalah dimana satu dan nol menjadi padu. Sebab ia bukan bilangan matematis, melainkan metaforis. Dia bukan bilangan rasional, melainkan spiritual.
(hal 304)


...bahwa alam, seperti Tuhan, bersifat pasti. Reduksinya: ilmu, seperti agama, bersifat pasti. Yakni, bisa diturunkan ke dalam dalil-dalil yang bersifat pasti pula. Inilah sikap yang dirumuskan Parang Jati sebagai 'memaksakan kerangka matematis kepada yang metaforis, memaksakan kerangka rasional kepada yang spiritual'
(hal 353)


Aku. Tiba-tiba yang kuinginkan adalah menringkus anak nakal itu di sana, membentangkannya, dan membiarkan Parang Jati memuaskan gemasnya ke tubuh kucing liar yang akan mencakar-cakar punggungnya hingga berdarah.

Pada detik seharusnya aku melakukannya, aku tidak melakukannya. Aku takut kehilangan sesuatu. Jika itu terjadi, akankah hubungan kami tetap sama lagi?

Momen pertama telah dilewatkan.

Tapi Marja masih berbaring memasang di sana.

Dan Parang Jati masih mematung.

Aku tahu pada masing-masing kami telah ada embun yang membasahi kain.
(hal 430)


Seandainya Marja ada di sini, akan kukatakapadanya bahwa kita berdua adalah dua atom yang mengikatkan diri dalam sebuah molekul zat asam. Kita bahagia. Tapi sebuah atom yang sendiri bernama Parang Jati tiba-tiba datang melekat. Dan kita menjadi sebuah molekul dengan tiga atom. Kita menjelma Ozon yang bahagia.

Jika aku adalah bilangan satu, Marja bilangan nol, Parang Jati adalah bilangan Hu.

Tapi seperti Ozon. Atom yang sendiri itu- yang tiba-tiba menyusup mengikatkan diri kepada sepasang atom O yang hidup bahagia dan menjelma entitas ketiga – tidakkah dia sebelumnya memiliki pasangan juga? Kemana pasangannya itu?

Angin bertiup dari belakang. Dari arah bukit batu.

Suatu pengetahuan dalam diriku, seolah dari sel-sel asam darahku, bagaikan menjawab pertanyaan itu. Bilangan itu bernama Fu.

Fu adalah dengan siapa Hu sebelumnya mengikatkan diri, sebelum radiasi memisahkan mereka.
(hal 523-524)



Senin, 13 Oktober 2008

Anak Laki-Laki Di Teras Rumah Dua Belas Tahun Yang Lalu

Mungkin dia bukan siapa-siapa kami. Aku bahkan tak mengenalnya hingga suatu sore ia berdiri di teras rumah, mengepit tas kain kumal,bercelana pendek dan kaos oblong yang sudah mulur. Kakinya polos tanpa alas. Waktu itu aku yang teringat film-film dengan adegan seorang ibu berpesan kepada anaknya ; don't talk to stranger, langsung berlari ke dalam rumah, menjumpai kedua orang tuaku. Mereka keluar, dengan aku membuntut memegangi rok ibuku. Anak kecil itu berdiri menggigil sebab gerimis tiba-tiba bertambah deras. Rambutnya yang masai menutupi sebagian wajahnya. Ayah membimbingnya masuk. Ibuku mengeluarkan serentet pertanyaan seperti muntahan peluru di serial Combat sambil menepiskan peganganku pada roknya.



Sekarang sudah duabelas tahun berselang. Anak itu tumbuh bersama-sama denganku. Ibuku sudah enggan lagi bertanya siapa gerangan dia sebab ayahku akan selalu bilang ; dia tak penting. Ibuku sudah tak bertanya-tanya lagi akhirnya. Tapi rupanya keingintahuan seorang perempuan melebihi apapun. Rasa ingin tahu ibu bertahan melewati tahun sampai aku tumbuh dewasa dan anak laki-laki asing itu juga. Apakah ia anak ayah dengan perempuan lain?

Suatu hari ibuku berkata.

"Ibu tak membenci siapapun, apalagi hanya anak kecil kumal yang tiba-tiba datang di tengah gerimis."

Aku diam saja tapi menemukan kelelahan sarat di mata ibuku. Setelah itu ia mengiris kubis sambil menangis.

Anak laki-laki itu tumbuh baik. Ia rajin membantu ayahku di ladang pantai kami. Ia betah menyiangi rumput liar di antara tanaman cabe merah, terbakar matahari. Jika musim bertanam melon, ia akan terlibat dari penanaman benih hingga mengangkut melon-melon matang ke bak pick-up. Kulitnya semakin hari semakin legam tapi ia jauh lebih bersih daripada ketika pertama kali datang ke rumah kami.

Suatu hari yang lembab seperti saat pertama kali dia datang, aku dan anak laki-laki itu bercakap-cakap.

"Ibu selalu sedih karena aku?'

" Barangkali jika kau mau beritahu siapa kau...."

"Kau tahu, aku bisa membaca apa yang akan terjadi besok. Maka biarkan apa yang tak diketahui tetap begitu adanya."

Aku tertawa. Zaman sudah sangat maju, meski kami hidup di desa aku sudah tak percaya lagi dengan hal-hal berbau mistis dan supranatural. Aku lebih percaya pada internet. Maka kubiarkan dia menunggu gelakku habis.

"Kau tak percaya kan? Tapi ayah dan aku percaya."

Sejak hari itu, dia berusaha membuatku percaya bahwa ia bisa membaca masa depan. Ke kamarnya yang penuh dengan gambar konstelasi zodiak anak laki-laki itu sering menuntunku masuk. Di dalam ia akan mencoret-coret menunjukkan gambaran di pikirannya tentang ayam-ayam ayah, berapa bertelur minggu ini, berapa ton hasil ladang cabe, dan ikan apa saja yang dibawa pulang nelayan di pantai dekat ladang kami. Suatu kali ia tak mencoret-coret tapi menatapku dalam-dalam.

"Apa-apaan sih?"

"Ssstt. Aku sedang membaca masa depanmu."

"Ah, katakan saja padaku apa soal ujian besok daripada kau baca masa depanku. Itu lebih penting buatku." Aku tergelak dan dia melotot.

Ibuku, menangkap kelebatan anak laki-laki itu menuntun aku masuk ke kamarnya suatu sore.

"Kau tak tahu siapa dia."

Ibuku mengiris kubis keras-keras, hingga aku khawatir jika meleset dan mengenai tangannya tanpa sadar seperti perempuan-perempuan di perjamuan Zulaikha.

"Aku hanya bercakap-cakap. Katanya ia bisa membaca masa depan."

Ibuku makin keras mengiris kubis. Aku merasa bersalah.

Anak laki-laki itu telah membawa warna yang lain ke rumah kami. Aku merasakan kegembiraan seorang ayah memiliki anak laki-laki yang bisa diajaknya mengerjakan ladang. Aku tak mungkin membantunya sebab sedikit saja kulitku terkena rumput maka gatal-gatal seluruh badan dan ibuku sambil berkeluh akan membedaki ruam-ruam di kulitku. Tapi di dalam rumah ada bara yang juga siap meledak. Aku masih ingat muntahan pertanyaan seperti rentet peluru di serial Combat itu, dan setelah bertahun-tahun ini, masih banyak ranjau tertanam yang siap meledak. Ayahku tak pernah berkata apa-apa tentang anak laki-laki itu.

Dan pada sebuah subuh, aku masih meringkuk di bawah selimut setelah terlambat tidur sebab harus mengetik berlembar-lembar laporan praktikumku, terdengar gaduh di ruang tengah. Aku beranjak melawan dingin sebab suara itu membuatku tak bisa lagi memejamkan mata. Daun pintu perlahan kubuka sedikit, berusaha tak menimbulkan derit. Cahaya lampu panjeran di ruang tengah yang redup tak menghalangiku melihat apa terjadi. Anak laki-laki itu berdiri di tengah ruangan, membelakangi televisi yang tak menyala. Ayahku duduk dan ibuku berdiri di tentang pintu antara ruang tengah dan dapur. Dan, seorang lelaki tak kukenal berdiri membelakangi pintu kamarku hingga tak kulihat wajahnya.

"Sudah saatnya ia menjadi hakku."

"Lalu bagaimana dengan janjimu?"

" Bagaimana bisa waktu dua belas tahun tak kau gunakan dengan benar?"

Ibuku menatap mereka silih berganti.

"Janji apa yang kau tunggu sebab anak laki-laki ini?!"

Lelaki asing itu memandang ibuku. Aku melihat ibuku yang meradang seolah tunduk di bawah tatapan laki-laki itu. Ayahku seperti hendak menjelaskan sesuatu tapi hanya terkunci di mulutnya. Aku melihat ruang tengah terbalut suasana mistis. Bukankah aku tak percaya pada hal-hal semacam ini? Tapi tak bisa kucegah tiba-tiba aku merinding.

Lelaki tak kukenal itu memanggil si anak laki-laki dengan isyarat tangan. Anak laki-laki itu mendekat. Mereka kemudian pergi tak berkata-kata. Ibuku beku di tentang pintu dan ayahku duduk terpaku. Aku menutup pintu. Tak tahu apa yang kupikirkan.

Tak ada yang berubah esok harinya, kecuali ibu yang semakin riang, suara irisan kubisnya terdengar merdu, dan ayah yang terlihat lebih murung. Anak laki-laki yang dua belas tahun lalu berdiri di teras kami itu, aku tak pernah tahu siapa.



published on Lontar

Journeyed So Far To Be With You

Pukul tujuh pagi. Detik ia menatap gelas bening bergaris merah itu, sebuah rasa aneh hinggap tiba- tiba, yang seketika menghentikan ketukan jarinya pada keyboard. Terbayang paras Winar. Ia memejam sejenak. Menghalau. Kelebatan peristiwa tak akan membuatnya mampu menyelesaikan apa yang sudah dimulainya sejak satu jam yang lalu. Ia tak akan berhenti sekarang sebab ia tak akan pernah mampu menyelesaikannya nanti. Sebuah kebiasaan. Betapa berhenti akan menghapus semua ide segar di kepalanya. Maka jarinya kembali menari di atas keyboard. Persetan dengan Winar. Sekuat apapun paras eksotik itu melibas waktu dalam kepalanya. Ia akan menemuinya nanti sesuai janji tanpa pernah tahu semua takkan berjalan sesempurna itu.

Tujuh koma lima kilometer darinya, seorang gadis bercelana jeans dan jaket kulit yang dikancingkan menutup leher, berdiri di halte bus. Sembab langit yang bergerimis membuat kesan indah seperti cuplikan adegan film; seorang perempuan menunggu kekasihnya di halte bus. Tapi Winar tidak sedang menunggu kekasihnya. Ketika bus kota dengan iklan sabun mandi berhenti, ia bergegas masuk. Rambut lurusnya berkibar ketika bus melaju dan angin meniupnya dari jendela kaca yang terbuka.

*

Ia resah. Berkali-kali matanya singgah pada gelas bening di atas meja. Semalam diseduhnya kopi Lampung oleh-oleh dari temannya. Sisa ampas mengendap kehitaman di dasar gelas. Entah kenapa semalam ia lupa menandaskan ampas kopi itu, biasanya ia meminum kopi beserta ampas-ampasnya. Ketukan jarinya berhenti lagi. Layar monitor dipandangnya seolah memandang kapal di kejauhan dari tepi pantai. Telepon selulernya berdering. Lengking gitar Yngwie dalam Like An Angel mengembalikan kesadarannya. Pesan.

Smua yg g mgkin bs jd mgkin jika dipaksa. Kdisiplinan jg bentuk paksaan kan?

Apakah cinta jg dipaksa?

Ya. Dipaksa oleh cinta itu sndiri.

Pukul setengah delapan. Pantai berdebur di luar jendela. Ia berjalan ke jendela. Menyibakkan tirai dan menikmati lanskap favoritnya, impiannya sejak kanak-kanak; berumah di tepi pantai. Ombak berkejar-kejar ditingkah gerimis. Ia benar-benar tak mampu melanjutkan draft dalam komputer. Kepalanya mendadak kosong. Sh*t!. Ia meninju birai jendela. Ini kali keberapa betina itu membuatku kesal?

Rutinitas tanpa kenikmatan. Cuci muka. Makan sereal coklat bola-bola dengan susu putih. Minum jus instan. Puntung rokok dan botol bir masih bertebaran, sisa kawan-kawannya nonton bola tadi malam. Hampir subuh tadi kawan-kawannya baru pulang. Ia terlelap dan bangun pukul enam, menyalakan PC untuk ide yang tiba-tiba memberontaki otaknya. Tapi pagi ini betina itu menggagalkanku lagi! Ia menelan sereal dengan susah payah.

Satu tahun lalu ia mengenal Winar. Mahasiswi jurusan komputer. Rambutnya yang lurus tersapu angin di jendela bus kota sore itu. Menggerakkan sesuatu di hatinya, hingga berlama-lama memandang dan tersadar ketika kondektur menyenggolnya meminta ongkos. Terlalu banyak kebetulan di dunia ini, ia yakin bahwa kebetulan juga yang membawanya kembali bertemu Winar dua minggu kemudian, di dalam bus kota yang sama, suasana yang sama, angin yang sama. Kali ini ketika mata mereka bersitatap, ia tersenyum. Gadis itu membalas. Terbayang Monalisa di dinding kamarnya. Saat penumpang di sebelah gadis itu turun ia memanfaatkan situasi. Duduk bersebelahan. Deretan puisi cinta yang dihafalnya mulai mendesak-desak. Tapi ia memutuskan ini bukan saat yang tepat kecuali ingin dianggap sebagai orang aneh. Jadi ia cuma bilang:

"Kau seperti Monalisa."

"Da Vinci?"

Gadis itu tersenyum penuh rahasia. Lalu menambahkan di akhir senyumnya.

"Da Vinci membuat orang bertanya-tanya apa arti senyuman Monalisa..."

"Tapi ia cantik, kan?"

"Monalisa tak hanya memiliki kecantikan perempuan, entah kenapa Da Vinci menambahkan garis maskulin di wajahnya."

Ia angkat bahu. Untuk sebuah perkenalan, perbincangan ini lumayanlah.

"Aku Angin"

"Namamu aneh. Winar."

Dentang jam beker yang dipasangnya untuk pukul delapan tepat berdering nyaring. Ia nyaris terlonjak sebelum akhirnya menyumpahserapahi jam beker warna perak di atas lemari es. Merapikan sisa sarapan seadanya, lalu bergegas menyambar handuk. Beberapa detik kemudian terdengar teriakannya membaca puisi keras-keras di kamar mandi.

*

Winar turun di depan sebuah gereja kuno. Ia menarik jaket kulit di pergelangan untuk melihat jam tangan. Pukul delapan. Masih ada satu jam lagi dari waktu yang disepakati. Gerimis sudah berhenti. Ia memutuskan menunggu di bangku taman gereja itu. Ia tahu Angin akan tiba-tiba muncul seperti biasanya. Di manapun mereka sepakat bertemu, Angin akan muncul dari sudut yang tak disangkanya. Winar mengitarkan pandang ke seputar halaman gereja, menduga-duga kelak dari mana Angin akan muncul. Ia tak akan menghubungi ponsel Angin sekarang. Ia penyuka kejutan. Ia tak pernah tahu kejutan kali ini tak akan seperti biasanya. Winar bersenandung. Like an angel you came to me and now I see - the stranger in me is finally free to feel true love**.

*

Ia membutuhkan lima menit untuk mandi. Termasuk di dalamnya memikirkan kalimat selanjutnya dari tulisan yang tengah digarap tadi. Separuh pikirannya yang lain melayang pada Winar yang mungkin saja telah tiba di tempat yang dijanjikannya untuk bertemu. Ia selalu datang lebih awal. Betapapun betina itu mengesalkanku, sh*t, aku mencintainya! Ia menutup pintu kamar mandi dengan satu bantingan keras. Betapa aku mencintainya! Dan betapa ia begitu skeptis terhadap penulis!

Monalisa itu, suatu senja mengusik kedamaian di antara mereka. Hanya sesaat setelah suratkabar yang memuat tulisan Angin dilempar pengantar koran di halaman rumahnya.

"Kau mencintaiku, kan?"

Ia mengangguk. Tak mengerti mengapa pertanyaan itu meluncur dari bibir Winar.

"Berhenti menulis."

Dua kata yang dirasakannya seperti sambaran petir di siang bolong.

"Alasan?"

"Mereka dekat dengan kebiasaan buruk. Merokok, minum, tak kenal waktu, tak kenal ruang. Hidup di wilayah abu-abu. Kadang berbahaya."

"Tak semua."

Winar menyebut nama penulis-penulis penyabet award, yang merokok, minum, bergaul demikian bebas bahkan ketika sedang diwawancara televisi, ada juga yang melepas jilbab setelah jadi penulis. Ada yang dibunuh. Dibuang ke pulau terasing.

"Kau suka lukisan. Artinya kau penikmat seni. Aku tak mengerti. Menulis juga seni, Winar, hanya menyatakan diri dalam kalimat-kalimat dan imaginasi, bukan warna dan garis seperti lukisan. Lagipula tak semua penulis seperti kau kata itu"

"Aku memaksamu."

"Apa yang tak mungkin tak bisa dipaksa."

Ia menggumam sambil berpakaian. Kelebatan peristiwa seperti itu selalu membuatnya kehilangan ide di tengah-tengah menulis. Persetan dengan Winar! Betina itu tak akan membuatku berhenti menulis. Ia merancang kata-kata dalam menit yang tersisa. Ia mampu menemukan sesuatu yang tepat, biasanya, dalam keadaan mendesak. Seperti malam itu ketika artikel dan gambar-gambar bertebaran di kaki kursinya. Kepalanya pening sekali, sebotol bir sudah tandas ke perutnya. Ia memejamkan mata, membayangkan semua yang ada di sekitarnya. Lalu seperti kaleidoskop, peristiwa berlaluan di kepalanya membawanya pada satu penemuan penting yang sangat mengejutkan. Lalu seperti kesetanan ia mengurutkan artikel-artikel, gambar-gambar. Tertawa keras dan puas sebelum jemarinya menggila di atas keyboard. Pagi hari berikutnya di surat kabar nasional terungkaplah jaringan penjualan gadis-gadis ke luar negeri yang melibatkan seseorang, yang sebulan lalu dicopot jabatannya. Ia puas menyaksikan hasil pencariannya selama beberapa bulan. Ia mengatakan pada Winar, ia menulis puisi, cerita-cerita pendek, essay, tapi menulis di wilayah berbahaya membuat adrenalinnya terpacu lebih deras. Puas.



Ia melirik gelas bening di atas meja. Semalam ia memilih kopi daripada bir yang dibawa dan ditawarkan oleh kawan-kawannya. Gelas bening bergaris merah pemberian Winar. Untuk mengganti botol bir, katanya. Ah, Winar sedang menunggu. Hanya butuh tujuh menit untuk sampai di gereja kuno itu. Ia menyambar kunci sepeda motor dan setengah berlari menuju pintu.

*

Winar masih bersenandung. Burung gereja bercicit-cicit di lubang angin. Hawa pagi setelah gerimis begitu segar. Bau rumput. Winar menghirup dalam-dalam seolah ia tak akan menghirupnya lagi esok hari. Ia selalu takut kehilangan waktu-waktu penting dalam hidupnya.

Pukul sembilan kurang tujuh menit..Dari arah mana Angin akan muncul? Ia telah mengenalnya setahun ini. Ia mencintainya. Ia mencoba memahami kepuasan Angin meskipun khawatir telah salah mencintai orang yang hidup dengan kebiasaan begadang berteman komputer, rokok dan bir, dan menulis sesuatu yang bisa saja kelak membahayakan dirinya. Okey lah, aku tak akan menyinggung apapun tentang menulis hari ini.

*
Pegangan pintu baru saja ditariknya. Ia terdorong ke belakang.

*
Winar melihat jam tangan. From heaven I knew you were born. On the wings of love you were brought to me. I've been longing for truth, journeyed so far to be with you**

*

Sebuah kekuatan lain di luar pintu mendorong masuk. Dan satu detik berikutnya pintu kembali tertutup rapat. Kilatan itu menghentikan arus pikirannya pada Winar.

*

Pukul sembilan tiga puluh menit. Ponsel Winar berdering. Dalam gelisah ia membuka pesan. Setengah hari kemudian, orang-orang menemukannya masih duduk di sana memandang matahari yang sedang memasuki gerbang pulang.


** )Penggalan lagu Like An Angel, Yngwie Malmsteen


published on Alis

Minggu, 12 Oktober 2008

SAJAK-SAJAK KEPADA SESOSOK SEPI

sajak 1

subuh ini aku telah menjejak dasar palung
tempat kau letakkan hatimu di tengah cangkang
mutiara
setelah semalaman
aku menyelam

tapi matahari terlalu lekas menembus
;aku sobek di dada
melayanglayang
di antara dasar dan permukaan
bingung sekali ruh ini!



sajak 2

jangan berkata apapun
terkadang sepi lebih baik
bahkan dari suara tarikan nafas atau getar handphone
cukup kita duduk dalam diam
kuletakkan jantungku di dadamu
(ia masih berdetak!)
menggeser palangpalang besi
di pintu nurani

jangan berkata apapun
sebab katakata sejam yang lalu
telah menjadi belati

terkadang sepi lebih baik
bahkan dari detak jantung kita sendiri



sajak 3

bekas kukumu merajah lingkar leher waktu
tapi aku enggan dengan cekikan
pada akhirnya!



sajak 4

seperti apa rasa matahari terbenam
aku tak pernah bertanya. tapi lembut lidahmu
menari di rongga mulutku
; ini
belum usai kucatat. sungguh!



sajak 5

matahari terbenam
maka kita mencicip rasanya
dalam saus keringat dan airmata
kepenatan
setelah sepanjang hari
melompat
bergelantungan di sambungan gerbong kereta
melihat waktu. bergesekan
dan menelan gemuruh iblis dari dasar sadar

matahari terbenam
seperti maumu sejak pagi; biar kita tak bergelandang
melompat gerbonggerbong kereta di stasiun

matahari terbenam
tapi kita terlanjur menjadi gelandangan
tak pernah menemukan rumah



sajak 6

biarkan angin itu
melewati helaian rambutmu
seperti gerak lambat peluru
suatu waktu ia tiba di titik ini
; memecah cermin dan bayanganku

Rabu, 18 Juni 2008

Untuk Jengkerik dan Ilalang

SEORANG LELAKI DAN GITAR

bagaimana suara denting itu kemudian disebut nada?


aku mendengarkan. teringat peristiwa
dan suarasuara yang terekam jauh di bawah sadar
tentang masa kecil, ruangan bercat biru
dan Wind of Change

maka ketika aku berkenalan dengan denting gitarmu
di tubuh malam penat dan ringkik stasiun
terlempar. seperti kulit jeruk dari jendela kereta api
aku merangkak mencari kenanganku
dawaimu menggeletar ingatan. masa kecil

bagaimana suara denting itu kemudian disebut nada?

seperti cambuk yang dilecutkan tepat di pusat otak kanan
yang sedang purapura sibuk merasakan sesuatu
terjaga. setiap kenangan tak pernah benarbenar hilang
engkau telah memilih memetik gitarmu
kemudian melempar jauh
jatuh dalam perigi masa kecilku

bagaimana suara denting itu kemudian disebut nada?
kau dan aku tak ada yang pernah benarbenar tahu




MALAM DI PUSAT KOTA KECIL KITA

kau akan mencibir ; di mana letak pusat kota kecil kita?
gerumbul perdu selalu menyusutkan malam
hingga tak pernah demikian panjang
seperti sebuah pementasan karakter
adegan cepat mengalir. kadangkala tak tertangkap oleh pikiran

lalu kita masingmasing mencari sudut yang masih menyalakan lampu
tak berkeluh sebab peristiwa seharian belum lagi selesai terangkum
dalam puisipuisi janggal tentang kehidupan
yang membangun perbincangan antara kau dan aku

di pusat kota kecil kita-entah dimana- malam hari
aku bersinggungan dengan medan magnet kehidupanmu
dari sudut yang masih ada kerlip. barangkali lampu merah jalan
segerombol orang berbincang. gemeretak kerupuk kulit dan desis
kepedasan. kelontang gelas



aku di lintasan yang sama. pada malammalam lain
mencoba mengulur waktu. sebelum tiba fajar

Minggu, 08 Juni 2008

Untuk Mereka

KOTA


kota. puisi kedua hari ini kutitipkan
pada cahaya.
gemintang tak padam
dalam jingkat langkah mungil
kerjap sudutsudut matanya

kota. puisi kedua hari ini
sisipkan pada celah lembab bibirnya
sudutmu paling lekuk
biar dibacakannya pada malam perayaan
atas cinta. bercecer di aspal
para malaikat turun
memungut air mata

kota. di kelokan itu kemudian ia akan menghilang
setelah menyihir puisiku
menjadi bayang
lesap
seperti para malaikat itu



SUNGAI


sentakkan, sebab sajakku sendat di mata pancingmu
kehidupan menungguku, kawan

ada gerombol ikanikan di pertemuan arus
riak rencana ke perairan dalam yang kelam riuh
planktonplankton.

aku di sini, kabarmu pada malamku
mata pancingmu tersangkut di perairan dalam itu
duhai, puisiku menjadi rakus pada umpan
berebut mencicip kehidupan kalah
di ujung mata pancing
tapi sentakkan, kehidupan masih menungguku
gerombol ikanikan di pertemuan arus
riak rencana baru. kemana mata pancingmu
takkan singgah




GUNUNG


kadang penat. menafsir mata
rangkuman sepersekian detik lalu
curam jalan. pohon kayu putih membiusi
kita masih mendaki di sekian puluh kilometer
mencecerkan peluh

jika kau ajak aku bincang sepanjang jalan
tentang cinta. maka berseberang kita menafsir
kau mulai mengeluh tentang penat
tapi kataku; itu hanya sepersekian penat
yang disodorkan cinta

cinta seperti curam jalan. seperti wangi kayu putih
menguras peluh dan memabukkan. sampai hilang
pertimbangan kemana jika tiba di persimpangan

kugamit lenganmu. bukan kuajari
kita bersisian saja mengukur jalan
membacakan tafsiran masingmasing
tentang cinta yang kau keluhkan, kali ini.



PESISIR


sajak yang tak selesai
putus di garis usia
pertanda telah sampai pada ujung
pengembaraan atas karangkarang mati. malam hari

adalah kabar perahu kertas
sobekan buku harian. saat mencekik kepenatan
berlarilari dalam labirin
perahu kertas tanpa bobot
diperebutkan gelombang dan angin
kemana, tanyamu

; menunggu. sisasisa perahu kertas
kembali ke pesisir. seperti telah dimengerti
sajak yang tak selesai
akan menyelesaikan dirinya sendiri



BUMI


apa yang mungkin dan tak mungkin
kau gumpalkan menjadi bola salju
sejumput musim belahan dunia. satusatu

dalam sebuah bingkai
kau bawa padaku

katamu, bumi adalah tempat semua bertumbuh
saling mengisi. seperti kenangankenangan antara
pecahan yang sungguh lengkap


Minggu, 30 Maret 2008

Metamorfosa

SELEBIHNYA

Malam melolong di atas bukit
menyaru serigala yang terpasung
di kolong.
setelah malam kemarin kau berangus
dengan selempang lelakimu
Lalu kau ikat di kaki ranjang
kau pameri persetubuhanmu dengan bulan

Di atas bukit, malam menangguhkan titiknya
yang terpekat. Melalui desau angin
didengarnya desah paling sublim
Bulan yang sedang kau setubuhi
dan kuik serigala meringkuk
di keremangan kamar

Dan udara di kamarmu mendadak panas
percintaanmu
serigala yang marah
Lolongan malam
Menjadi keinginan yang mendendam
Menyusupkan serigala lain yang tak bertubuh
ke kisikisi. Menyulut kamarmu

Selebihnya, siluet kau memanggul salib
ke atas bukit....



ASING

Lihat ladang kita. Bijibijian yang kita tanam setahun lalu
Telah tumbuh jadi pohon. Rantingnya seperti gurita
Membelit keterasingan kita pada dosa lelaki dan perempuan
diceritakan sejarah turuntemurun. Dari mula di jatuhkan ke bumi

Semakin rapat pohonpohon. Kita tak bergerak
Demikian asing memahami kehendak sublim dalam diri
Mulamula menyalahkan rimbunan semak. Lalu gelap malam
Bulan nyusup ke jantung. Semakin hari mengaum di dalam jantung

Lihat ladang kita. Bijibijian yang remeh setahun lalu
Menyesap berjengkal humus. Sampai habis. Kita mulai mengeluh
Tambah terasing dengan sisasisa, dedaunan gugur di wajah.
Adakah jawab, mengapa dosa diciptakan?




CATATAN SEORANG PENGKHIANAT

Ke menit. Ke jam. Ke hari
dari sebuah perbincangan rahasia di balik pintu
Kutuliskan rencanarencana besar
Tentang kehendak. Nerjang batas
kusisipkan dalam kode yang dikirim padamu menjelang pertempuran

Jika saat fajar namaku dihapus
Jangan menuliskan lagi sebab satu kali cukup sudah
Aku telah menemukan jati diri ketika aku adalah pengkhianat!


DAN KITA TAK PERNAH BERTEMU LAGI

Di dalam matamu. Ada ruang
yang menyangkalku
Entah sebab aku tak membikin peta
buat perjalananmu. Atau sebab tak ada pelita
di kemahkemah yang kau singgahi
Barangkali juga sebab harapan
yang belum sempat kujejalkan
ke celah lipatan pakaian dalam ranselmu

Sampai di ujung sini. Matamu makin kukuh
menembok ruang yang menyangkalku
Tak masalah dengan peta, katamu. Juga bukan pelita
Harapan hanya imajinasi keterlaluan
membekukan kesadaran
Padahal kita bersisian dengan kenyataan
yang setiap waktu mengingatkan
dosadosa yang belum kita lakukan

Dan di persimpangan.
Kau memilih ke kanan sementara aku ke kiri
Tak pernah tahu
kemudian kita tak pernah bertemu
lagi.

Resah

DI TEPI PANTAI

Di tepi pantai. Orangorang menangkap ombak
Mengayak buih. Untuk segenggam nafas para kekasih
di saat terakhir
Serentetan kejadian hanya menyisakan pertanyaan
ketakpastian kehilangan
dan sayatsayat harapan
Juga setumpuk janjijanji basi yang diucap berulangkali
Sampai nanah di kuping

Di tepi pantai. Orangorang menunggu
Berita camar di tengah-tengah deru cuaca tak ramah
Sekelumit detak dari jantungjantung di dasar
melupakan semua omongkosong janjijanji
Sebab pelunasan ambyar sudah
kemarinkemarin itu
Sedang dirundung kesedihan yang lain, kata entah siapa

Di tepi pantai. Orangorang mulai menghitung senja dan fajar
Mengumpat deburan ombak. Saat nafas para kekasih
Barangkali tersendat
dihalanghalang pecahan kapal. Atau hiu yang marah
Tak ada yang sempat tahu

Di tepi pantai. Orangorang kemudian menjadi pasir.
Tak ada yang peduli lagi



MENUNGGU GERHANA

Kau menjelma onggokan
Diam di tong sampah. Saluransaluran air. Pembuangan
Orangorang lewat mencibir. Lekaslekas
Berapa lama sudah?
detik menjadi menit menjadi jam menjadi hari
Masih menunggu sampai mengeras batu
Saat matahari dan bulan bertatapan
dan semesta mematikan lampu
Perjumpaan
Luka

(Sekali waktu dalam diammu, kau mengigau
tentang kekasih yang hilang di rimba tahun)



SIAPA

Siapa kau dan aku? Seorang perempuan melongok ke luar jendela. Kanak di halaman menangis
Pertanyaan tak penting - seperti apa pertanyaan
yang penting? - berlalu seperti mimpi yang lantas terlupa ketika terjaga
Seorang perempuan turun ke halaman. Di luar pagar seseorang berteriak
Siapa kau dan aku? Pertanyaan tak penting. Diulang-ulang.

Kanak tadi berlari mengejar kupu
Tangisnya tak terdengar lagi
Seorang perempuan di tengahtengah halaman. Rumput hijau
Di luar pagar seseorang membuang bungkusan ke tong sampah.
Siapa kau dan aku?

Selasa, 04 Maret 2008

Prasasti Project, Sambil Menunggu Gerhana

Hai, haloo... lama juga saya gak update blog, lumayan kangen juga. Lumayan kangen dengan warnet tempat saya part time dulu. Sekarang berubah lumayan banyak baik interior maupun kebijakannya :D. Sempat kaget juga dengan interior baru yang lebih 'berani'. Tidak berprasangka ah, katanya prasangka itu dosa..he..he... Mungkin mas dan mbak pengelolanya punya pertimbangan tertentu kenapa mengubah interior yang - menurut saya pribadi - lebih cocok interior yang dulu. Ups. Ada yang marah gak ya saya ngomong gini? Atas nama kebebasan berbicara, saya membela diri dulu ah sebelum kejadian. :D.

Cerita ah.

Saya memberi judul cerita ini; Prasasti Project. Bingung ya? He..he..he.. gak penting lah apa tuh Prasasti Project. Saya cuma pengen cerita ternyata bikin buletin itu susah. Gimana gak? Mulai dari pembagian kerja dengan kru yang terbatas, menyiapkan naskah, mengontak percetakan, ngurusin pasca cetak, and distribusi sampai ke tangan pembaca. Mungkin ada juga sih proses-proses yang lupa saya sebutkan sebab -terus terang saja- saya masih awam dengan hal beginian. Dan? Akhirnya saya dan beberapa teman bisa juga menerbitkan sebuah buletin -tentang apapun itu- yang penting buat kami adalah 'perhargaan' terhadap kerja keras. He..he..he.. Penghargaan yang dimaksud bukan semacam perhargaan finansial begitu (buletin ini kami bagikan gratis loh... sebanyak 500 eksemplar - iklan dikit - ), tetapi sebentuk perhargaan sederhana seperti; buat yang terjangkau oleh 500 eksemplar gratis kami, baca donk tulisan-tulisan sederhana di dalamnya. Jangan dijadikan bungkus kacang doang. Hikz... mentang-mentang gratis.

Sejauh mana? Pasti ada yang tanya gitu. Waktu saya membikin tulisan ini, Prasasti dengan konsep yang fix baru terbit 1 edisi. Tetapi Prasasti yang masih mencari bentuk sebelumnya telah sempat terbit 3 edisi, kemudian vakum sebentar sebab orang-orang di dalamnya lagi nyari konsep, dan juga ditelan dunia yang luar biasa sibuknya. Sebenarnya orangnya sih gak sibuk-sibuk amat, tapi imbas dunia yang sangat sibuk, jadi pura-puranya (biar wangun) ikutan sibuk juga lah.

Buat yang merasa muda Prasasti ada, tapi yang usianya terbilang gak muda juga sah-sah aja baca buletin ini sebab kami menyuguhkan sesuatu yang mudah dicerna, umpama makanan, formula bayi deh. Fenomena-fenomena biasa di sekitar kami coba angkat ke dalam suatu artikel bebas, berusaha peduli, berusaha tetap kritis, dengan bahasa muda yang tidak ribet, dan sebisa mungkin tidak mendikte. Ada ruang khusus untuk yang suka puisi. Ada juga ruang khusus untuk mereka yang ingin berbicara menanggapi fenomena-fenomena yang kami angkat dalam artikel utama. Baru 1 edisi dengan konsep seperti ini sih, untuk distribusi kami juga masih ndompleng orang tua kami ; Komunitas Lumbung Aksara yang menerbitkan buletin sastra Lontar dan sangat sukses coz pembacanya bertebaran di mana-mana.

Kru Prasasti semuanya pemula. Tapi punya semangat lumayan tinggi dan semoga saja tidak tergoyahkan (halah). Ow ya, Prasasti juga mungkin benar-benar hanya akan jadi prasasti tanpa dorongan teman-teman, senior-senior yang tergabung di Lumbung Aksara (LA). "Prasasti gak mau mati sekarang, sebelum berbuat apa-apa!" kata mas Cimenx nih, PU kami. Semangat kan? Jadi ketularan semangat juga lah. Yah, sekalian belajar lah, siapa tahu ke depannya besok benar-benar bisa jadi pemred media ternama di negeri ini. Hahahaha... setiap orang boleh bermimpi bukan, sebab mimpi yang benar-benar kita ingini, kita pikirkan setiap hari, suatu hari akan menjadi kenyataan. Percaya saja jika semesta akan memberikan apa yang kita sangat inginkan, tanpa kita perlu tahu bagaimana ia mengerjakannya untuk kita.(Hmm... njiplak The Secret ya mbak?). Eh, jadi inget ada yang pesan reviewnya The Secret belum sempat saya tuliskan, maaf yah, buat yang merasa pesan. Tak pinjamin bukunya aja ya?

Jadi, saya mau bilang, berteriak lantang, merasuk ke gendang telinga semua orang (halah, kalo yang ini njiplak Dewi Lestari), bahwa..."Horeee....Prasasti gak jadi mati sekarang!"

Baca ya, Prasasti edisi cetak buat yang terjangkau sama distribusi kami, gak maksa sih tapi jangan buat bungkus nasi donk (Landung PB, yang paling saya khawatirkan bakalan make Prasasti buat bungkus nasi bekal naik gunung!).

Udah ah.

Baca ya, sekali lagi. Gak puas? Gak suka? Kecewa? Benci? Cinta? Send us message, via blog boleh, via sms oke juga.

Satu paragraf terakhir, saya kecewa sekali malam ini. Teman saya gak bisa datang. Entah kenapa perjumpaan dengannya seperti menunggu gerhana. Langka. Padahal saya mau balikin uang yang saya pinjem tiga bulanan yang lalu, sekalian minta dia bawakan Digital Fortress yang saya beli di pameran buku awal Februari lalu. Belum sempat saya baca. Bye.

Senin, 14 Januari 2008

My Sacrifice 2

CINTA TAK MELINTAS DI JALAN INI

;Girra Martinda, Wikankara, Bim Yuda


Sepagi ini aku melihat orangorang berpayung
di jalanjalan dalam kota
mereka melompati genangan sesekali sumpahserapah
sebab terciprat kendaraan lintas

aku menyaksikan dari pinggir jalan
berlindung pada boks telepon umum bekas
dari sudutsudut jalan mereka datang
semakin banyak, seperti eksodus
ada yang berpayung sendirian, ada yang bergandengan
ada juga yang menggigil menembus hujan

Orangorang itu hendak kemana?
Bocah kecil dalam dekapan ibunya bertanya

Aku menajamkan telinga
Sebab aku juga ingin tahu kemana mereka mau pergi
Sepagi ini, tak biasanya
Di tengah hujan begini deras pula

Suara jawaban si ibu bergesekan dengan angin
Yang bertiup tibatiba menyeret sebagian hujan
Menampar wajahku
Aku makin merapatkan tubuh pada dinding bau karat
Tibatiba seseorang menempel pamflet di boks telepon umum bekas
Tempatku meringkuk seperti kelinci di lubang



Bocah kecil dan ibunya berjalan menjauh
Payungnya melengkung menahan deras hujan

Sepagi ini aku melihat orangorang
Keluar dari setiap gang, dari setiap pintu yang terbuka
Melompati genangan dengan sesekali sumpah serapah
Sebab terciprat kendaraan lintas
Mereka akan melewati semua jalan untuk mencari cinta

Aku menyaksikan saja dari pinggir jalan
Dulu cinta sering melintas di sepanjang jalan ini
Tapi sudah lama aku tak melihatnya lagi


Di antara sisa-sisa, 3 Desember 2008

Sabtu, 05 Januari 2008

Cinta Sudah Mati

Cinta Sudah Mati

; mata hati

Semalam aku melihat bayangbayang
Kerumunan mata hati di langitlangit mimpiku
berbincang tentang kelicikan
Cinta yang terjebak dalam muslihat
Jurang nafsu membentang jauh memalung dalam
Mencecerkan kesejatian di lumpur
Patah dua

Semalam aku hendak bergabung
Dalam kerumunan mata hati yang duduk melingkar
Menyaksikan cinta hancurlebur
Kehilangan keindahannya yang agung
Sebab angkaangka telah menguasai hati
Dalam pertimbangan untung dan rugi

Aku melihat segalanya jelas pagi ini
Cinta yang mempertahankan maknamakna
Yang menyentuh sisi jiwa dengan kelembutannya
Yang tak berambisi
Habis terlanggar keinginan tak bermatahati
Cinta telah menjelma kemasan atas racunracun
Menyusup halus ke dalam nadi

Aku melihat segalanya utuh pagi ini

Duhai mata hati yang berkumpul dalam mimpiku
Mari selesaikan menulis cinta yang koyakmoyak tersuruk di lumpur
Aku bersamamu mengikis cinta yang tak murni
Habis, lepas dan jangan kembali sebelum sejati
Jangan, sebelum cinta mampu membuat dirinya kembali
kupercaya



Aku Tidak Menulis Sajak Cinta

Sebab cinta telah mati
Aku melihatnya pagi ini
Terbenam di bak mandi

rumahhati, 1 Januari 2008



Aku Tidak Menulis Sajak Cinta 2

Kau tanya kenapa
Lihat pisau cukur di tanganmu
Baru saja mengiris lehernya

Malah kau jilati darahnya seperti lelehan cokelat.

rumahhati, 1 Januari 2008



Kejadian

aku terjebak di labirin perasaanmu
saat lampu padam dan tak ada bulan
aku meraba dan menerka dalam gelap
sampai akhirnya jatuh di lorong buntu

sendirian

Kau tergelak di ujung labirin

Fuck!

My Sacrifice

Pemakaman Senja Pantai 2


; sudut ruang dan waktu yang salah

Setiap senja, lanskap pantai ini tetap begini
Sampansampan nelayan menantang surut matahari
ditinggalkan pemiliknya
Sisa amis yang melekat di sampan dihamburkan angin
sampai ke deretan bangunan di pinggir pantai
yang berdiri remang seolah menyimpan rahasia
merambat diseret angin makin ke utara
melintas ladangladang, hinggap di bebunga melon

Hingga sampai ke jajaran anthurium muka rumahmu

Hampir setiap senja,aroma yang hinggap di jajaran anthurium itu
menjarum ingatanku
Kata orang, ingatan memang tajam seperti jarum
Aku hanya tahu,pantai ini selalu menebar amis ikanikan mati
bangkai ikanikan kecil setengah terkubur di pasirpasir
yang sungguh heran tak pernah kita keluhkan
padahal sudah seribu petang kita baca dan kita salin
ke dalam lembaran buku harian ungu

Hingga lembaran terakhir yang kita tikaikan, hari ini

Seorang kawan menunggu, apa akhir yang akan dicatat
dalam lembar terakhir itu; petang yang berangin
ombak pasang menghanyutkan rumahrumahan pasir
Sampansampan amsal patung seperti biasanya
amis yang khas, perasaan yang mengeras batu, egoisme, kekalutan

Atau biarkan saja ia kosong?

Kata orang, kekosongan bisa diisi apa saja
Kekosongan adalah sebentuk ruang tenang tempat berlindung
dari keriuhan pikiran
tempat menyamakan kemauan tubuh dengan kebijakan hati
Tempat memberangus pemberontakan yang tersulut
mendinginkan angan yang terlanjur terbakar
kekosongan yang mungkin sanggup membelokkan cinta dari selasar yang salah
(kekosongan yang setengah mati aku usahakan!)

Tapi kau mau menuliskan versimu sendiri dalam buku harian ungu kita, kan?

Seorang kawan bertanya; mengapa mesti menyalin petang yang sama
pantai yang sama angan yang sama hasrat yang sama luka yang sama
ke dalam dua akhir yang berbeda?
Jika segala rasanya sama mengapa dipaksa berbeda?
Jika pucuk dedaun anthurium itu samasama menusuk, mengapa bersikeras
menanamnya di dalam hati?

Tidak semua pertanyaan akan terjawab, kataku
Maka suatu senja yang lain, kuperlihatkan lanskap pantai ini padanya
Amis yang sama tetap bercerita, rumahrumah semi permanen
dalam keremangan juga berbincang.
Ladangladang, bebunga melon
Kubiarkan ia mengikuti angin membawa aroma ikanikan mati

Sampai juga pada jajaran anthurium muka rumahmu

Masingmasing yang dilintasi angin membacakan versinya sendirisendiri
beberapa mengerti dan beberapa tak mengerti mengapa kita bertikai
untuk satu lembaran ungu yang tersisa
Padahal sejatinya kesamaan itu penuh, luka itu menggores sama dalam
Kawan itu menegaskan pula; bahasa mata adalah kejujuran yang terpancar
dari lubuk terdalam hati
Jangan pernah berbohong, sebab akan terlihat sangat jelas dalam pancaran mata
Katanya ia membaca badai yang sama di palung mata kita

Jangan berbohong, jangan memunafiki diri, jangan mengingkari pancaran mata

Hampir setiap senja, aku membelokkan arus ingatan pada halhal menyenangkan
Jauh ke utara, meninggalkan selatan yang badai
meninggalkan lembaran terakhir buku harian ungu kita
kuserahkan utuh biar petang di pantai ini menuruti jemarimu menyalinnya
mengemas kenanganmu sendiri, versimu sendiri

Aku menyerah

Aku menyerah membacai sampansampan yang masih tetap akan di sana
sampai tahuntahun mendatang
mungkin aroma amis ikanikan pun tetap akan terbawa angin
terseret terus semakin jauh ke utara, ribuan kali melintasi ladangladang
hinggap di bebunga melon

Sampai ke jajaran anthurium muka rumahmu, yang lelah menyaksi
pertikaian hati

Kata orang, ingatan adalah penyimpan rasa sakit
Aku hanya tahu, tak ada yang mampu mengelak dari ingatan
Tapi aku tidak menulis puisi nelangsa walaupun pertanyaan tetap bergaung
Semudah itu menyalin sebuah senja terakhir berakhir
di pantai tempat kita pernah mimpi membangun rumah kecil
di tepiannya?

Cinta tak hidup sebatas usia percintaan
Ia bertahan melintas generasi, menyaksikan
Kelak dermaga dibangun di pantai ini menggusur rumahrumah
Aspal mungkin melenyapkan ladangladang
Bangunanbangunan megah didirikan
Aroma tajam ikanikan mati tak lagi terhirup, sampansampan itu enyah
Meniupkan aroma kehidupan baru tanpa namaku pernah tertulis
Dalam kenanganmu

Kuserahkan padamu catatan pada buku harian ungu itu
Kukembalikan padamu sisa mimpi yang tak sempat jadi kenyataan

Hampir setiap senja, aku masih juga bertengkar dengan ingatan
Entah kapan, makam kecilku akan sunyi dengan nisan tegak di atasnya

makam hati setengah selesai, akhir tahun 2007

Iseng-iseng

Satu mingguan yang lalu, kalo gak salah ingat sih, suatu sore, iseng-iseng, sambil menunggu waktu gladi resik untuk pementasan Indonesia Dalam Sepotong Sajak, gurat tangan saya dibaca oleh seorang teman. Teman ini kebetulan berprofesi sebagai tabib (juga penyair? :D), ah, yang jelas beliau bisa membaca gurat tangan, gitu deh.

Sebenarnya saya buka tipe orang yang percaya dengan hal-hal begituan, ramalan-ramalan, zodiak dn semacamnya just for fun aja, gak percaya-percaya banget lah. Tapi hasil pembacaan gurat tangan sore itu cukup mencengangkan juga, saya akui. Kata beliau ni saya termasuk orang ngeyelan alias keras kepala, semua yang saya inginkan diusahaain harus bisa tercapai. Katanya saya juga gak gampang sakit tapi sekalinya sakit satu minggu bisa aja gak keluar-keluar...hehehhe... Soal keuangan, saya (katanya lagi nih) termasuk beruntung sebab saya gak pernah kehabisan uang (horee...), selalu saja ada uang datang dari sumber yang tidak terduga (hehehe.. dikasih paman, bibi, pakde, bude, nemu di jalan...mmm...dipinjemin temen termasuk juga gak ya?). Wah, saya langsung berdoa semoga yang bagus-bagus begitu bertahan sampai saya jadi nenek-nenek. Tapi katanya akan ada tiga kebutuhan besar deket-dekat ini, meskipun satu kebutuhan diantaranya masih dapat ditunda (jadi deg-degan juga :P). Jeleknya saya termasuk boros juga. Duh, hari gini gak boros? Susaahh....

Peruntungan. Nah ini. Beliau menyarankan agar saya sering ikutan kuis di radio atau tivi sebab kecenderungan saya untuk menang termasuk besar meskipun cuma dapat souvenir doank. Sayangnya saya jarang ikutan yang begituan apalagi zaman sekarang hampir semua kuis via sms, jadi berat di pulsa juga ( mendingan buat sms temen sekalian jalin silaturrahmi (halah..)

Tentang asmara. Gurat yang dibaca adalah gurat di telapak tangan yang dimulai dari pertengahan telunjuk-jari tengah sampai di bawah kelingking. gurat-gurat yang membentuk cabang dari gurat utama katanya adalah jumlah mantan pacar saya (huaa.. ternyata guratnya banyak!). Ada satu gurat cabang yang menutup seperti bulir padi, artinya dari sekian banyak satu itulah yang jadi the best one, selalu terkenang oleh saya (hmm...). Ada satu cabang yang keluar dari gurat utama, mencar, istilah gampangnya, itu bermakna ada satu mantan pacar saya yang sudah menikah. Yap, yang ini benar seratus persen.

Yang cukup mencengangkan saya, beliau bilang saya sedang memikirkan sesuatu terlalu dalam akhir-akhir ini, sebuah masalah yang berusaha saya atasi sendiri. Ini juga benar seratus persen. Saya spontan tanya darimana beliau bisa tahu. Beliau menerangkan dan menunjukkan sesuatu pada telapak tangan saya yang tampak samar tapi terlihat jelas jika benar-benar diamati. Beliau juga menyarankan agar saya berbagi alias curhat dengan seseorang yang saya percaya, dan jangan pernah sendirian sebab akan berpengaruh terhadap kesehatan terutama kepala (dan ternyata saya memang sering mengalami sakit kepala di saat-saat tidak terduga. Kata orang, terlalu sering menangis juga memicu sakit kepala ya?)

Oke deh. Tulisan ini cuma fun aja, biar gak tertekan menghadapi hidup yang kadang-kadang gak mau tahu keinginan kita.

Akhirnya, hidup itu memang indah tergantung dari mana kita memandangnya. Sepedih apapun yang disodorkan hidup pada kita, kitalah yang memilih untuk membiarkan kepedihan itu menguasai kita atau kita akan membuatnya indah dengan cara pandang kita.

Satu hal, saya jatuh cinta pada musik yang mengiringi pementasan puisi kami malam harinya. Padhang mBulan, menikmati musik kalian sungguh membantu menenangkan jiwa yang tengah berbadai begitu hebat. Terima kasih, buat Landung, terimakasih link-nya meskipun belum sempat link balik, tapi pasti suatu saat.... :D

Thank you...