Jumat, 19 Desember 2008

Aku Dibunuh



Beberapa jam yang lalu aku dibunuh. Saat pertama, rasanya seperti melihat pijaran kembang api waktu perayaan tahun baru; silau. Perlahan-lahan, aku bergerak keluar dari tubuhku, meninggalkan sepasang kaki tak bersandal, meninggalkan pinggulku yang padat, meninggalkan jantung di balik buah dada yang digilai banyak lelaki. Tubuhku mengejang luar biasa saat aku hampir tiba di luar.Tubuhku kesakitan seperti ditombak bertubi-tubi dengan pencungkil perapian yang membara. Di ulu hatiku. Tak lama kemudian aku dengan jelas melihatnya, meskipun gelap melingkup sekitar: tubuhku memang ditombak dengan sebatang linggis karatan, tepat di ulu hati . Darah mulai mengental, menempel di renda bra putih yang sangat kukenal. Tubuhku setengah tak berpakaian. Perutku yang rata seperti dibubuhi semacam saos kental, menjijikkan. Pinggulku mati dan memar membiru. Aku tak tahu siapa yang membunuhku. Aku pun tak pernah membayangkan akan mati dibunuh, lalu foto tubuhku yang mati muncul di koran-koran, dinikmati oleh orang-orang penggemar cerita kriminal, sambil menyeruput kopi di bawah pohon asam pinggir jalan. Mungkin satu jam, dua jam atau dua hari lagi tubuhku akan ditemukan orang-orang. Seperti mayat artis yang dua bulan lalu ditemukan di pematang sawah. Lima tusukan pisau. Orang-orang berkerumun sambil menutup hidung, polisi memasang batas kuning di lokasi, wartawan gosip memburu sensasi dan dramatisasi. Ada pula pedagang minuman tiban yang melihat kesempatan mengais rezeki. Waktu itu aku disana. Aku sempat melihat mayat artis itu sebelum dikemas ke dalam kantong.

Entah pukul berapa sekarang. Aku masih menunggui tubuhku. Apa yang tadi terakhir kulakukan sebelum dibunuh? Otakku berhenti sejak tubuhku mati, ingatanku sama sekali tak bekerja. Aku duduk di dekatnya, memandanginya. Kasihan tubuhku. Semut-semut mulai membuat jalur tak putus-putus di sekitar tubuhku, beruntung tak ada burung pemakan bangkai terbang melintas malam begini, atau hewan pengerat yang kebetulan lewat dan terpancing dengan amis darah, sebab aku tak akan sanggup melihat ususku diburai, dan binatang-binatang itu berpesta pora. Tapi keberadaan semut-semut itu pun mulai menyesakkanku. Mereka mulai memasuki lubang-lubang di tubuhku, membawa secuil-secuil entah apa dari tubuhku, sambil bergunjing.

"Lihat wajahnya. Dia cantik."
"Sstt... "
"Tapi dia mati."
"Sstt... "
"Sakit sekali pasti ditombak di situ..."
"Sstt.... Kerja, kerja, kerja. Keburu ditemukan..."

Aku ingin memeras otak, mengingat saat sebelum aku dibunuh. Tapi otakku sudah beku di dalam kepalaku yang terkulai di atas kerikil. Kerikil? Itu pecahan batu yang hampir sama ukurannya, terlalu besar untuk disebut kerikil. Koral mungkin lebih tepat. Setengah meter dari tempat tubuhku mati adalah batangan-batangan besi, dijajar rapi untuk sebuah tujuan; suara alarm memekakkan lalu gemuruh yang ganjil menggetarkan bumi membersamai sorot sangat terang, muncul tiba-tiba. Tubuhku terlihat jelas dalam cahaya, telentang dalam posisi vitruvian yang tak sempurna dengan jemari seperti hendak mencengkeram, bergetar-getar di permukaan miring hamparan koral, linggis karatan itu tampak seperti tonggak nisan kuburan dukun ilmu hitam. Kelam. Tapi cahaya itu tak berhenti. Setelah kotak-kotak cahaya yang lebih kecil dibelakangnya bergerak cepat melintas di sebelah tubuhku, sepi kembali mendominasi.

Tuhan, aku dibunuh di tepi rel kereta api. Dan entah pukul berapa sekarang. Tubuhku mulai kaku. Saat ini yang paling aku inginkan adalah mengambil otakku dan mencungkil kejadian-kejadian dari sana. Aku pernah mendengar di televisi berita pesawat jatuh, selain korban-korban itu, kotak hitam menempati urutan penting untuk dicari. Konon, kotak hitam menyimpan rekaman kejadian terakhir yang bisa dipakai sebagai dasar investigasi. Mengapa manusia tidak dilengkapi dengan perkakas semacam kotak hitam? Mungkin dengan begitu setiap orang akan berpikir dua kali sebelum membunuh orang lain, dan tubuhku tak akan mati dibunuh di pinggiran rel, di atas koral kasar, dirubung ribuan semut dengan linggis karatan menombak angker di ulu hati. Darah sudah mengental menjadi saren. Aku ingin muntah. Tapi aku tetap bertahan di samping tubuhku. Mungkin aku akan menemukan jawaban siapa yang terakhir kali bersamaku di pinggir rel kereta ini, dan mengapa aku dibunuh...



Jelas sekali ini lewat tengah malam, meskipun aku tak tahu jam berapa sekarang. Tak ada orang melintas di sini. Pegawai PJKA yang bertugas mengecek rel barangkali pun tak lewat malam ini. Aku sering berpikir mengapa ada orang mau mengerjakan pekerjaan seperti itu; menjinjing lampu ting di saat orang-orang lain tertidur lelap, berjalan puluhan kilometer di jalur kereta api membiarkan istrinya meringkuk sendirian kedinginan di kamar, tapi saat ini tiba-tiba aku merasa sangat membutuhkan salah satu dari mereka. Setelah aku mati dibunuh, tiba-tiba muncul kesadaran untuk jangan pernah meremehkan orang lain, apapun pekerjaannya, apapun isi pikirannya. Suatu hari ternyata aku membutuhkan orang-orang yang tak pernah kuanggap penting dalam hidupku. Suatu hari. Dan ternyata hari itu adalah hari saat aku mati dibunuh. Aku tiba-tiba membutuhkan pegawai PJKA itu.

Orang macam apa yang bisa membunuh dengan demikian sadis? Sekilas tadi saat cahaya sorot kereta api menimpa tubuhku, aku melihat pakaian dalamku tercabik. Pakaian luarku entah teronggok di mana.Kulit langsatku tampak pucat tak berdarah. Tampak jelas sekali sebab tubuhku hampir telanjang. Apakah si pembunuh telah memperkosaku pula? Melihat tubuhku yang lumayan molek dan tentunya tadi tak berdaya, sangat mungkin menyulut pula nafsu binatangnya. Mengapa pula ia membunuh perempuan sepertiku dengan linggis karatan yang berat alih-alih menggunakan pisau lipat kecil yang bisa dimasukkan dalam saku? Apakah tadi aku langsung mati saat linggis karatan itu menghujam, atau pembunuhku sempat memutar-mutar linggis itu setelah menancap dan menikmati ekspresi kesakitanku? Waktu masih berada dalam tubuh itu dan hidup, aku memang penggemar kisah-kisah psikopat, aku menikmati kisah-kisah dengan tokoh protagonis sekaligus antagonis pengidap penyakit jiwa yang tampil sangat waras dan innocent. Menurutku tokoh-tokoh berkehidupan ganda memiliki perjalanan hidup yang sangat menarik, penuh tantangan dan lebih mampu mewujudkan imaginasi. Tapi aku benar-benar tak pernah berita-cita menjadi korban seorang psikopat yang orgasme melihat ekspresi sekarat korbannya. Mungkin, pembunuhku tadi pun melenguh puas di tengah-tengah sekaratku.

"Jangan serakah. Sampai besok ia tak kan habis..."
"Mumpung belum busuk."
"Tinggalkan yang darah-darah..."
"Hmm?"
"Sstt... Kau lupa, di seberang rel ini sawah-sawah semua. Kau tahu artinya itu?"
"Tikus...."

Semut-semut semakin banyak hilir mudik. Bekerja sama sambil bergunjing, seperti ibu-ibu rewang di rumah orang punya hajat. Semut-semut itu tak punya jam malam, tak mengajarkan anak-anaknya tidur tepat waktu setelah mengerjakan PR. Naluri mereka adalah makan, makan, makan dan beranakpinak. Kapan terakhir kali aku makan, apakah tadi aku sempat makan malam pula dengan pembunuhku? Sebuah skenario muncul; pembunuh itu, mungkin seorang yang kukenal baik. Ia datang ke rumah atau menjemputku entah dari mana lalu mengajakku makan malam. Setelah itu barangkali ia mengajakku menikmati bintang-bintang - bukankah semasa hidup aku sangat menyukai bintang dan menebak-nebak rasi? - dari pinggir rel kereta api ini. Di seberang terhampar persawahan hingga bintang tak terhalang pepohonan apapun. Kemudian, barangkali kami berseteru entah tentang apa. Lalu ia mengambil linggis dari semak-semak dan menombak ulu hatiku.Pembunuh itu kemungkinan seorang laki-laki dan sudah merencanakan hendak membunuhku. Ia telah lebih dulu menyembunyikan batang linggis berkarat di semak-semak dan menggunakannya sesuai rencana. Tapi mungkin juga ia seorang perempuan. Perempuan yang pasti terbiasa dengan benda-benda kotor sebab tak banyak perempuan mau berurusan dengan karat, kecuali jika itu terhubung dengan perhiasan. Jika ia seorang perempuan, mungkin pilihan senjatanya juga lebih manusiawi. Tapi, jika ia seorang perempuan, latar belakang apa yang membuatnya membunuhku? Hidupku biasa-biasa saja, tak ada sesuatu yang bisa membuat perempuan lain merasa iri dan orientasi seksualku termasuk sangat normal. Pembunuh itu, aku hampir yakin seorang laki-laki. Tapi laki-laki siapa? Apakah dia kekasihku atau ayahku? Dalam berita-berita di koran yang pernah kubaca, seorang gadis ditemukan mati di dalam rumah kost, ternyata dibunuh oleh pacarnya sendiri. Mayat gadis cantik yang dibuang di pinggir jalan tol pun, juga dicekik oleh pacarnya sendiri. Tak pernah habis aku berpikir, apakah cinta memiliki alasan untuk membunuh seorang kekasih dan alasan macam apa yang dapat diterima oleh akal sehat? Cinta memang konon tak masuk akal, tapi lebih tak masuk akal jika ia dijadikan alasan untuk membunuh. Pasti bukan cinta pula alasan seorang ayah jika menyetubuhi anak gadisnya sendiri, kemudian membunuhnya dan menyimpan mayatnya di kolong ranjang. Namun, jangan-jangan benar kekasihku yang telah membunuhku.



Ayam jantan mulai berkokok. Sepertinya pagi hampir tiba. Sedikit merasa tenang sebab orang-orang akan segera menemukan tubuhku, setidaknya petani-petani yang hendak pergi ke persawahan itu. Aku juga berharap wanita-wanita pedagang di dusun dekat sini melewati pinggiran rel untuk pergi ke pasar pagi-pagi sekali. Aku belum menemukan jawaban oleh siapa dan mengapa, aku dibunuh. Tubuhku masih tetap kutunggui sebab aku takut jangan-jangan ada anjing liar lapar muncul entah dari mana, menyerobot tubuhku dan mengobrak-abrik tempat itu. Pihak berwajib yang kelak menyelidiki kematianku akan kehilangan bukti-bukti jika tempat itu mosak-masik. Bisa-bisa pembunuhku tetap berkeliaran bebas diluar sana sementara tubuhku digerogoti cacing di dalam kubur, tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Di sana..."
"Keretanya setengah lima. Cepat!"

Ada orang. Siluet orang. Berapa orang? Ayam jantan berkokok sahut menyahut sekarang. Semburat kemerahan samar-samar di langit sebelah timur, hampir belum tampak dan entah mengapa aku mulai terangkat naik, melayang di atas tubuhku. Aku panik, seperti Bandung Bondowoso menyadari pagi datang lebih cepat sebelum seribu candinya selesai. Aku berusaha berpegangan pada batang linggis berkarat yang tertancap di ulu hatiku, aku masih ingin menunggui tubuhku dan memastikan ia mendapat perlakuan yang layak setelah benar-benar kutinggalkan. Tapi aku hanya menggenggam udara kosong, tak bisa menyentuh apa-apa lagi.

"Linggisnya. Cabut pelan-pelan."
"Dibuang?"
"Nanti di kali. Jangan di sini."

Orang-orang itu berdiri di samping tubuhku. Aku masih melayang-layang, betapapun usahaku untuk turun. Bobotku sepertinya hampir dilupakan oleh gravitasi. Aku hanya dapat melihat di keremangan subuh, dua orang berkudung sarung melakukan sesuatu terhadap tubuhku yang mati itu. Satu orang menginjak perutku yang terbuka dan penuh darah kering, menekankan kakinya sementara kedua tangannya menarik linggis karatan sekuat tenaga. Kawannya mengamati sekitar sambil memicingkan mata, menembus remang subuh. Tubuhku yang sudah kaku tersentak sesaat ke atas. Linggis itu lepas. Meninggalkan lubang hitam keunguan yang menimbulkan rasa ngeri sekaligus jijik.

"Kau penasaran tidak?"
"Apa?"
"Kok dibunuh. Sepertinya bukan orang jahat."
"Banyak orang baik-baik mati dibunuh...."
"Cepat. Seret..."
"Kau penasaran tidak? "
"Bukan urusan. Tugas kita hanya memindahkan mayat ini. "
"Kenapa tidak langsung dipindahkan tadi setelah dibunuh? Aneh orang itu."

Mereka bekerja bergegas. Tubuhku diseret seperti karung dedak di tempat penggilingan. Aku mendorong sekuat tenaga menggapai turun untuk mencegah, tapi aku tetap melayang-layang. Aku ingin berteriak keras-keras saat ini, jika tak mungkin mencegah mereka menyeret tubuhku setidaknya aku bisa bertanya siapa yang membunuhku, dan mengapa. Aku tak ingin mati penasaran seperti kisah-kisah dalam film, lalu menjadi hantu di pohon besar dan balas dendam. Dan sekarang tubuhku sudah berpindah dari permukaan koral miring itu, hanya setengah meter. Mereka meletakkan tubuhku yang kaku melintang di atas dua lajur besi. Mereka terengah. Aku yakin bukan sebab tenaga yang digunakan saat menyeret tadi, itu hanya butuh satu menit. Mungkin sesungguhnya mereka pun menanggung beban melakukan ini atas tubuhku. Kemudian, sehelaan nafas, suara alarm seperti yang kudengar tadi malam mengagetkan mereka. Alarm itu terdengar panjang dan jauh, dan batangan-batangan rel mulai bergetar.

"Ayo cepat! Bawa linggisnya!"

Mereka sudah menyelinap hilang saat sorot cahaya menyapu tempat itu. Tubuhku kembali terlihat jelas seperti tadi malam saat sorot yang sama muncul; posisi vitruvian tak sempurna, setengah telanjang, namun tanpa linggis karatan menancap ulu hati. Melintang di sana. Mati. Bergeser-geser sedikit sebab getaran rambat dari sesuatu yang besar dan sedang bergerak sangat cepat. Aku berusaha menggapai turun, tapi aku semakin melayang naik, semakin jauh.

Setengah menit kemudian sunyi. Getaran di batangan rel semakin lemah dan hilang. Lalu ayam jantan berkokok makin riuh. Ufuk timur berwarna merah darah. Aku melesat cepat. Gravitasi sudah tak mengenaliku lagi. Aku hanya tinggal perasaan dan emosi, pertanyaan dan dendam. Beberapa jam yang lalu aku dibunuh, ditombak dengan linggis karatan entah oleh siapa, mungkin pula sebelumnya diperkosa, namun hari ini di koran sore akan muncul foto sisa tubuhku yang hancur lebur -disensor kotak-kotak- di halaman kriminal; Dilindas KA, Gadis Tak Dikenal.


*

(mengapa dia membunuhku?)


Kamis, 18 Desember 2008

Dari Diary

berapa lama sudah kita lupa

menziarahi kuburan mimpi di pinggir jalan ke pantai
aku lupa membawa uba rampe. bunga, kemenyan dan sisa
parfum bermerk pierre cardin tertinggal di kamar. entah
di atas sprei kusut atau di bibir bak mandi

semalam aku menombak wajahmu
yang lancang berkeliaran meributi malam seperti dengung nyamuk
pagi harinya aku tak ingat menyiapkan segala uba rampe
aku sibuk mengingat dimana kuletakkan pakaianku
semalam kusampirkan sebagai ganti tirai. jendela yang berharihari
kubiarkan terbuka buat menguapkan nafsu

aku lupa, sayang, berapa lama sudah kau juga lupa
membaca puisipuisi berdebu dalam komputermu?



anak sungai glagah malam hari

derik. gesekan batangbatang kalanjana
membukakan pintupintu mimpi
ada gemuruh di bawah sana. arus terjun pada dam
terdengar sampai ke pintupintu yang terbuka
perlahan. mengasingkan kita
pada sebuah ruang luas; mengabarkan kenyataan
malam ini
kita masih berdiri di tentang pintu mimpi




Perkara Tubuh

tubuhku tubuh perempuan. tumbuh dalam kota penuh mimpi buruk
di mana anjing penjaga dijagal tuannya sendiri kemudian tulangbelulangnya dilempar
keluar jendela usai makan malam; hidup dalam kepala
membungkus benih pemberontakan
dua puluh enam, kota menciptakan makhlukmakhluk dari mimpi buruk
di dalam tubuhku. tubuh perempuan. perselingkuhan yang indah tak mampu
memabukkanku.

tubuhku tubuh perempuan sampai aku memperkosa si tuan yang menjagal
anjing penjaganya. di ruang makan yang redup dan penuh sisa makanan anjing
dua puluh enam makhluk keluar dari tubuhku hinggap di dinding. di langitlangit
kota kerlipkerlip di luar jendela terkekeh puas; pemberontakanku bukan
sebab mabuk perselingkuhan dan cinta segitiga terlampau panas.

kau memaki.
aku selesai.
makhlukmakhluk mimpi buruk menjilati sisa tubuhku di tubuh si tuan; sepertinya aku
masih perempuan.