Rabu, 31 Maret 2010

PERTEMUAN

Ia adalah lelaki belia yang menggebu-gebu tentang kehidupan, saat kami berpisah sembilan tahun yang lalu. Kehidupan yang berjalan di tengah jarakku dan dia telah membuktikan sesuatu, bahwa waktu mampu mengubah seseorang. Setelah percakapan maya hari itu, dan telepon-teleponnya kemudian, hari ini kuputuskan singgah, meskipun Yogya sedang sangat cerah dan panas.

Aku dan dia berkenalan di kota ini, dan untuk beberapa bulan yang hangat kami selalu bersama-sama menikmati siang dan malam. Ketika itu udara belum sepolusi sekarang, kendaraan roda dua tak sebanyak sekarang, dan bus-bus kota masih setia menelusup ke jalan-jalan kecil dalam kota. Aku senantiasa, sembilan tahun ini, masih mengingat senja-senja sederhana yang berkesan sepanjang jembatan di atas kali Code yang masih kumuh, percakapan kami tentang orang tua yang sama saban sore memilah sampah di bawah sana, sampai pada rembulan yang cahayanya berkilau-kilau di permukaan air kecoklatan itu. Aku senantiasa juga mengenang setiap tetes gerimis pagi hari, setelah malam beku di depan unggun api di pantai Parangtritis. Semua kenangan itu makin tercitra dengan jelas menjelang pertemuanku dengannya untuk pertama kali setelah berpisah, hari ini. [Lewat koneksi seorang teman lama di jejaring maya, aku menemukan account-nya.]

Ia tinggal di bagian kota yang padat sekarang. Aku tak kesulitan mencari rumah kontrakannya sebab terletak begitu dekat dengan sebuah hypermarket di kota ini, dan dekat pula dengan bekas rumah kost-ku yang terakhir, sebelum aku pindah beberapa bulan yang lalu. Tak kami sadari, bulan-bulan sebelum kepindahanku sebetulnya jarak telah memendekkan dirinya di antara kami. Namun, terpikir juga olehku seandainya saat itu aku bertemu dengannya, mungkin aku tak mengenalinya, atau sebaliknya ia tak lagi mengenali aku.

Sebab ia telah benar-benar bermetamorfosa. Aku sempat terdiam melihat foto dirinya di jejaring maya. Ia tampak lebih gemuk, meskipun tetap berkulit putih. Aku tak mengenali tatapan matanya. Ia dahulu, bukanlah lelaki yang memiliki tatapan mata serius dan seolah-olah menyembunyikan sesuatu. Mata yang aku kenal darinya adalah mata yang lucu dan kocak, dan selalu mengajak tertawa. Gerangan kehidupan seperti apa yang dijalaninya sembilan tahun terakhir?

“Hai, kamu di mana? Aku sudah di depan. Keluar ya…” Aku menelepon seperti pesannya jika aku sampai di jalan depan kontrakannya.

Lelaki yang dulu belia itu, keluar dari pintu rumah di seberang aku berdiri. Ia tersenyum kecil, Aku melangkah menghampiri dan dengan canggung ia mempersilakan aku masuk. Kami bertatapan sebentar dan tertawa. Suasana yang kaku itu kemudian mencair. Ia mengacak rambutku seperti dulu sering ia lakukan padaku. Aku menghalau tangannya sambil tertawa [aku tiba-tiba mempunyai perasaan bahagia seperti ketika masih belia dan jatuh cinta pertama kali]. Ia lalu membuatkanku minum. Aku duduk di ruang tamunya dengan kelebatan-kelebatan kenangan yang sesekali menyelinapi kepalaku.

Masing-masing ingin bercerita banyak tentang waktu yang hilang. Tetapi permulaan kadang-kadang memang membingungkan. Terdiam cukup lama dibuai suara Celine Dion, aku akhirnya bertanya.

“Sembilan tahun ini udah kemana aja?”

“Nggak kemana-mana. Aku tetap di kota ini setelah dulu itu.” Ia tersenyum sambil menatap aku, kemudian melanjutkan ucapannya.

“Sekali aku pernah mendapat kabar tentang kamu, itu pun sekilas. Aku hendak mencarimu, tapi tak punya kontakmu. Gila apa, mencari orang tanpa kontak, Yogya kan nggak selebar daun.”

Aku tertawa. Aku –entah mengapa- sangat ingin menatapnya lekat-lekat, dari sedekat ini. Dan aku memang melakukannya. Kulitnya tetap putih, seakan panas kota tak pernah membakarnya. Matanya bersaput warna merah, mungkin lelah atau kurang tidur, dan garis-garis usia itu, meskipun belum tampak tegas tetapi telah tergambar di sana. Aku memanggil bayangan wajahnya yang terakhir dari ingatanku, dan membandingkannya. Ia yang belia, telah diganti dengan sosok lelaki dewasa di hadapanku kini, di kepala tiga usianya.

Lalu percakapan kami bergeser ke arah yang sensitif itu; tentang siapa-siapa yang telah melewati kehidupan, di tengah waktu yang hilang antara kami. Ia yang banyak bercerita sementara aku mendengarkan. [Aku memang suka mendengarkan dia, kisah-kisah dari mulutnya selalu menarik, lucu dan indah. Ia memiliki cara yang khas bagaimana membuat ceritanya mengalir enak]. Ia bercerita tentang perempuan-perempuan hebat di dalam kehidupannya. Bekas-bekas kekasihnya. Aku tak hendak bertanya mengapa bekas-bekas kekasihnya yang ia ceritakan. Tak pula ingin tahu siapa kekasihnya sekarang. Aku hanya mendengarkan dan yakin pertanyaan-pertanyaanku akan terjawab dengan sendirinya di tengah-tengah ceritanya nanti.

Suaranya tetap lembut. Tetapi aku menemukan bahwa ia menggunakan nada-nada yang lebih lembut. Lembut sekali sehingga aku harus merendahkan nada-nadaku pula untuk mengimbanginya.

Bekas kekasih yang kelihatannya begitu mempengaruhi kehidupannya, telah menjalin hubungan dengannya hingga tahun kelima, ketika perempuan itu memilih menikah dengan lelaki lain. Kesetiaan, ia menyadarinya, kadang kalah di depan jarak dan waktu. Semua hal itu manusiawi dan tak ada yang sepatutnya disalahkan. Ia kuliah sambil bekerja di kota ini, perempuan itu menetap di kampung halamannya, sebuah kota dengan rasa kulinernya yang terkenal seantero nusantara. Jarak membuat kebersamaan menjadi semu, sedangkan naluri dasar manusia membutuhkan perhatian. Namun ia yakin ada sebuah alasan yang tak ia ketahui, sebab selama ini, kekasihnya selalu berkata ‘Kalau hanya soal jarak, ayolah kita bertahan. Ia toh tetap melepaskannya. Sama sekali tak pernah menyalahkan perempuan itu. Bahkan, ia masih mau mengangkat telepon atau membalas pesan-pesannya.

“Setiap kali menelepon, ia bertanya kabar, saat aku balik bertanya tentang kabarnya, aku hanya selalu mendengar isak tangis sampai telepon itu berakhir.”

“Ia menyesal?”

Ia mengangguk.

“Pertanyaanku tentang kabar, selalu membuka kesedihannya.”

Ia diam sejenak entah apa dalam pikirannya.Ia mengakui ada perasaan kehilangan yang sangat besar.

“Aku masih kagum sama dia. Mungkin juga karena dia termasuk perempuan yang susah didekati dan aku beruntung pernah mendapatkan dia.”

“Masih berhubungan baik?”

“Ya. Kadang berkirim pesan, tetapi tak menyinggung hal yang yang sensitif.”

Selebihnya ia menceritakan dirinya sendiri. Tentang sesuatu yang berubah setelah kejadian itu. Lelaki dewasa di hadapanku mengakui ada sesuatu yang lebih liar tumbuh di dalam dirinya. Meskipun pikirannya mengingkari, tubuhnya berlaku lebih jujur.

“Seperti ada dendam, ada keinginan untuk balas dendam, atau apalah namanya kalau kamu bisa merasakan.”

Aku mengangguk saja. Mungkin di satu sisi kehidupanku aku memang pernah merasakannya.

“Sekarang, aku jalan dengan siapa saja, berhubungan tanpa status, nggak berharap lebih, nothing to lose saja..”

Aku mengangguk lebih dalam. Aku mengerti perasaan-perasaan itu. Semacam perasaan ingin menyakiti diri sendiri, memperburuk diri sendiri, menyematkan kata ‘bad’ di depan nama diri. Semacam kompensasi, atau pelarian, atau kehendak untuk mengalihkan perasaan-perasaan tidak nyaman dan rasa sakit, pada hal-hal lain yang –ternyata- tidak lebih baik.

“Skripsi pun belum selesai. Statusku di kampus pun entah apa sekarang.”

Ada yang berkelebat dalam ingatanku. Ia saat belia dulu adalah guruku dalam banyak hal. Ia mengenalkan aku pada komputer dan banyak bahasa asing. Ia mengajariku ilmu agama dan nilai-nilai kebaikan. [Lelaki dewasa di hadapanku ini melewatkan masa kecil dan remaja awalnya di pesantren terkenal di Jawa Timur]. Tahun itu pula aku mencapai nilai terbaik dalam kehidupanku, dalam hal menghargai diri sebagai perempuan, terdorong oleh nasehat-nasehatnya. [Jangan tanyakan tentang nilai-nilai itu pada diriku yang sekarang!].Waktu berlesatan di dalam kepalaku. Perasaanku tidak salah, ia telah menemukan sesuatu di tengah-tengah waktu kami yang hilang. Sesuatu itu kemudian mengubah sebagian dirinya, jauh berbeda dengan dia yang kukenal dulu; polos, tidak neko-neko, tidak nakal. Sekarang pun sesungguhnya ia masih tampak serupa itu, tetapi ia mengatakan sebuah kalimat yang terkenal; don’t judge a book by it’s cover; pengalaman telah mengajarkannya tentang itu. Ia bukan lagi lelaki belia-ku yang dulu. Ia adalah lelaki dewasa sepenuhnya. Ia telah menjejakkan kaki di dunia lelaki-lelaki dewasa dengan segala macam problema dan hitam-putihnya. Demikian berbeda.

Aku tak banyak berkisah tentang diriku. Apakah aku tampak sama baginya ataukah berubah? Kurasa aku tak ingin mengetahui jawaban dari orang lain sebab kejujuran telah kupaparkan bagi diriku sendiri, dan itulah jawaban yang pasti benar.

Di menit terakhir pertemuan kami, ia menggenggam tanganku.

“Terimakasih sudah berkunjung, sebenarnya aku masih kangen sama kamu.”

Ia tiba-tiba memelukku.

Yogya sudah teduh sesenja aku melangkah keluar dari pintu kontrakannya. Dan di seberang sana, tampak dari sela-sela bangunan yang berhimpitan, sebagian dinding angkuh Plaza Ambarukmo. Hari sudah berubah, dan perasaanku – entah mengapa - menjadi lebih bahagia hari ini. Apakah aku merasa mendapat kawan dan pembenaran atas apa yang kulakukan di bagian hidupku yang lain? Ada orang-orang seperti aku dan dia di dunia ini, yang mendendam atas sesuatu, tetapi tak pernah terbaca sebab dendam itu dilampiaskan diam-diam kepada diri sendiri, sehingga orang-orang tertentu tetap hidup seperti biasa, tak mengerti badai yang bergolak di dalam jiwa kami.


March, 2010

Dedicated to my complicated old friend; C, this is my imagination inspired by our conversation. However, thank you for telling me such a beautiful story about love and life.




Sabtu, 06 Maret 2010

Jasadku Disalibkan Pada HarapanHarapan

1

bertahun ini, aku berkarib dengan bangkai lautan
penuh anyir dan asin. mengisyaratkan masa lalu yang luka dan nanah

apa yang terbaca dari setumpukan menit gelisah,
setiap kali membinasakanmu ke dalam mimpi buruk berlarutlarut
hingga lupa hari berganti?

tapi di tengah mimpi buruk ia menemukan
kepastian itu; mengeras dalam pias angin senja lautan
tentang kejujuran yang masih terasa menyakitkan
sampai keesokan harinya. kemudian seperti biasa
pertanyaanpertanyaan menyergapnya seperti angin dari semua penjuru
yang menjelma putingbeliung
(lalu, selalu erangnya parau di kamar mandi!)

batang kenangan itu sepanjang apa. badai setiap malam
membasahi jarak ke ujung bernama ingatan tempat bercampur segala
suara dari kedalaman masa; tak memiliki padanan ketika dibahasakan
kau tahu rasanya saat ketakutan mendatangimu?

tak berjawab sebab kau telah dimantra waktu.
menjadi batu di tengahtengah keranyas pilu yang menghujan
di atas matamu; bangkai lautan itu



2

di kota ini aku terpaksa membunuh puisimu
tentang lelaki perempuan yang dilemparkan dari surga
sebab ia menjadi mata bagi kesedihanku; merangkum
gempa waktu yang terjadi berulangkali dan disuling ke dalam nadi

lalu biasanya aku bangun pada dinihari yang aneh
tak ada yang menyeranta kesedihan tapi ia selalu datang
disisipi kekecewaan yang paling marah. tentang mengapa
perempuan mesti terbujuk. katakata
;maka ia menjelajah bumi asing yang lesap dalam badai

aku memerah. aku memarah. aku hendak membunuh
setiap puisi yang baru lahir dari pikiranmu



3

aku mengasihi setiapnya. tapi aku menyerah
jasadku disalibkan pada harapanharapan.
apakah kau dapat mempercayainya; kekasihmu yang memaku jasadmu?