Senin, 13 Oktober 2008

Anak Laki-Laki Di Teras Rumah Dua Belas Tahun Yang Lalu

Mungkin dia bukan siapa-siapa kami. Aku bahkan tak mengenalnya hingga suatu sore ia berdiri di teras rumah, mengepit tas kain kumal,bercelana pendek dan kaos oblong yang sudah mulur. Kakinya polos tanpa alas. Waktu itu aku yang teringat film-film dengan adegan seorang ibu berpesan kepada anaknya ; don't talk to stranger, langsung berlari ke dalam rumah, menjumpai kedua orang tuaku. Mereka keluar, dengan aku membuntut memegangi rok ibuku. Anak kecil itu berdiri menggigil sebab gerimis tiba-tiba bertambah deras. Rambutnya yang masai menutupi sebagian wajahnya. Ayah membimbingnya masuk. Ibuku mengeluarkan serentet pertanyaan seperti muntahan peluru di serial Combat sambil menepiskan peganganku pada roknya.



Sekarang sudah duabelas tahun berselang. Anak itu tumbuh bersama-sama denganku. Ibuku sudah enggan lagi bertanya siapa gerangan dia sebab ayahku akan selalu bilang ; dia tak penting. Ibuku sudah tak bertanya-tanya lagi akhirnya. Tapi rupanya keingintahuan seorang perempuan melebihi apapun. Rasa ingin tahu ibu bertahan melewati tahun sampai aku tumbuh dewasa dan anak laki-laki asing itu juga. Apakah ia anak ayah dengan perempuan lain?

Suatu hari ibuku berkata.

"Ibu tak membenci siapapun, apalagi hanya anak kecil kumal yang tiba-tiba datang di tengah gerimis."

Aku diam saja tapi menemukan kelelahan sarat di mata ibuku. Setelah itu ia mengiris kubis sambil menangis.

Anak laki-laki itu tumbuh baik. Ia rajin membantu ayahku di ladang pantai kami. Ia betah menyiangi rumput liar di antara tanaman cabe merah, terbakar matahari. Jika musim bertanam melon, ia akan terlibat dari penanaman benih hingga mengangkut melon-melon matang ke bak pick-up. Kulitnya semakin hari semakin legam tapi ia jauh lebih bersih daripada ketika pertama kali datang ke rumah kami.

Suatu hari yang lembab seperti saat pertama kali dia datang, aku dan anak laki-laki itu bercakap-cakap.

"Ibu selalu sedih karena aku?'

" Barangkali jika kau mau beritahu siapa kau...."

"Kau tahu, aku bisa membaca apa yang akan terjadi besok. Maka biarkan apa yang tak diketahui tetap begitu adanya."

Aku tertawa. Zaman sudah sangat maju, meski kami hidup di desa aku sudah tak percaya lagi dengan hal-hal berbau mistis dan supranatural. Aku lebih percaya pada internet. Maka kubiarkan dia menunggu gelakku habis.

"Kau tak percaya kan? Tapi ayah dan aku percaya."

Sejak hari itu, dia berusaha membuatku percaya bahwa ia bisa membaca masa depan. Ke kamarnya yang penuh dengan gambar konstelasi zodiak anak laki-laki itu sering menuntunku masuk. Di dalam ia akan mencoret-coret menunjukkan gambaran di pikirannya tentang ayam-ayam ayah, berapa bertelur minggu ini, berapa ton hasil ladang cabe, dan ikan apa saja yang dibawa pulang nelayan di pantai dekat ladang kami. Suatu kali ia tak mencoret-coret tapi menatapku dalam-dalam.

"Apa-apaan sih?"

"Ssstt. Aku sedang membaca masa depanmu."

"Ah, katakan saja padaku apa soal ujian besok daripada kau baca masa depanku. Itu lebih penting buatku." Aku tergelak dan dia melotot.

Ibuku, menangkap kelebatan anak laki-laki itu menuntun aku masuk ke kamarnya suatu sore.

"Kau tak tahu siapa dia."

Ibuku mengiris kubis keras-keras, hingga aku khawatir jika meleset dan mengenai tangannya tanpa sadar seperti perempuan-perempuan di perjamuan Zulaikha.

"Aku hanya bercakap-cakap. Katanya ia bisa membaca masa depan."

Ibuku makin keras mengiris kubis. Aku merasa bersalah.

Anak laki-laki itu telah membawa warna yang lain ke rumah kami. Aku merasakan kegembiraan seorang ayah memiliki anak laki-laki yang bisa diajaknya mengerjakan ladang. Aku tak mungkin membantunya sebab sedikit saja kulitku terkena rumput maka gatal-gatal seluruh badan dan ibuku sambil berkeluh akan membedaki ruam-ruam di kulitku. Tapi di dalam rumah ada bara yang juga siap meledak. Aku masih ingat muntahan pertanyaan seperti rentet peluru di serial Combat itu, dan setelah bertahun-tahun ini, masih banyak ranjau tertanam yang siap meledak. Ayahku tak pernah berkata apa-apa tentang anak laki-laki itu.

Dan pada sebuah subuh, aku masih meringkuk di bawah selimut setelah terlambat tidur sebab harus mengetik berlembar-lembar laporan praktikumku, terdengar gaduh di ruang tengah. Aku beranjak melawan dingin sebab suara itu membuatku tak bisa lagi memejamkan mata. Daun pintu perlahan kubuka sedikit, berusaha tak menimbulkan derit. Cahaya lampu panjeran di ruang tengah yang redup tak menghalangiku melihat apa terjadi. Anak laki-laki itu berdiri di tengah ruangan, membelakangi televisi yang tak menyala. Ayahku duduk dan ibuku berdiri di tentang pintu antara ruang tengah dan dapur. Dan, seorang lelaki tak kukenal berdiri membelakangi pintu kamarku hingga tak kulihat wajahnya.

"Sudah saatnya ia menjadi hakku."

"Lalu bagaimana dengan janjimu?"

" Bagaimana bisa waktu dua belas tahun tak kau gunakan dengan benar?"

Ibuku menatap mereka silih berganti.

"Janji apa yang kau tunggu sebab anak laki-laki ini?!"

Lelaki asing itu memandang ibuku. Aku melihat ibuku yang meradang seolah tunduk di bawah tatapan laki-laki itu. Ayahku seperti hendak menjelaskan sesuatu tapi hanya terkunci di mulutnya. Aku melihat ruang tengah terbalut suasana mistis. Bukankah aku tak percaya pada hal-hal semacam ini? Tapi tak bisa kucegah tiba-tiba aku merinding.

Lelaki tak kukenal itu memanggil si anak laki-laki dengan isyarat tangan. Anak laki-laki itu mendekat. Mereka kemudian pergi tak berkata-kata. Ibuku beku di tentang pintu dan ayahku duduk terpaku. Aku menutup pintu. Tak tahu apa yang kupikirkan.

Tak ada yang berubah esok harinya, kecuali ibu yang semakin riang, suara irisan kubisnya terdengar merdu, dan ayah yang terlihat lebih murung. Anak laki-laki yang dua belas tahun lalu berdiri di teras kami itu, aku tak pernah tahu siapa.



published on Lontar

Journeyed So Far To Be With You

Pukul tujuh pagi. Detik ia menatap gelas bening bergaris merah itu, sebuah rasa aneh hinggap tiba- tiba, yang seketika menghentikan ketukan jarinya pada keyboard. Terbayang paras Winar. Ia memejam sejenak. Menghalau. Kelebatan peristiwa tak akan membuatnya mampu menyelesaikan apa yang sudah dimulainya sejak satu jam yang lalu. Ia tak akan berhenti sekarang sebab ia tak akan pernah mampu menyelesaikannya nanti. Sebuah kebiasaan. Betapa berhenti akan menghapus semua ide segar di kepalanya. Maka jarinya kembali menari di atas keyboard. Persetan dengan Winar. Sekuat apapun paras eksotik itu melibas waktu dalam kepalanya. Ia akan menemuinya nanti sesuai janji tanpa pernah tahu semua takkan berjalan sesempurna itu.

Tujuh koma lima kilometer darinya, seorang gadis bercelana jeans dan jaket kulit yang dikancingkan menutup leher, berdiri di halte bus. Sembab langit yang bergerimis membuat kesan indah seperti cuplikan adegan film; seorang perempuan menunggu kekasihnya di halte bus. Tapi Winar tidak sedang menunggu kekasihnya. Ketika bus kota dengan iklan sabun mandi berhenti, ia bergegas masuk. Rambut lurusnya berkibar ketika bus melaju dan angin meniupnya dari jendela kaca yang terbuka.

*

Ia resah. Berkali-kali matanya singgah pada gelas bening di atas meja. Semalam diseduhnya kopi Lampung oleh-oleh dari temannya. Sisa ampas mengendap kehitaman di dasar gelas. Entah kenapa semalam ia lupa menandaskan ampas kopi itu, biasanya ia meminum kopi beserta ampas-ampasnya. Ketukan jarinya berhenti lagi. Layar monitor dipandangnya seolah memandang kapal di kejauhan dari tepi pantai. Telepon selulernya berdering. Lengking gitar Yngwie dalam Like An Angel mengembalikan kesadarannya. Pesan.

Smua yg g mgkin bs jd mgkin jika dipaksa. Kdisiplinan jg bentuk paksaan kan?

Apakah cinta jg dipaksa?

Ya. Dipaksa oleh cinta itu sndiri.

Pukul setengah delapan. Pantai berdebur di luar jendela. Ia berjalan ke jendela. Menyibakkan tirai dan menikmati lanskap favoritnya, impiannya sejak kanak-kanak; berumah di tepi pantai. Ombak berkejar-kejar ditingkah gerimis. Ia benar-benar tak mampu melanjutkan draft dalam komputer. Kepalanya mendadak kosong. Sh*t!. Ia meninju birai jendela. Ini kali keberapa betina itu membuatku kesal?

Rutinitas tanpa kenikmatan. Cuci muka. Makan sereal coklat bola-bola dengan susu putih. Minum jus instan. Puntung rokok dan botol bir masih bertebaran, sisa kawan-kawannya nonton bola tadi malam. Hampir subuh tadi kawan-kawannya baru pulang. Ia terlelap dan bangun pukul enam, menyalakan PC untuk ide yang tiba-tiba memberontaki otaknya. Tapi pagi ini betina itu menggagalkanku lagi! Ia menelan sereal dengan susah payah.

Satu tahun lalu ia mengenal Winar. Mahasiswi jurusan komputer. Rambutnya yang lurus tersapu angin di jendela bus kota sore itu. Menggerakkan sesuatu di hatinya, hingga berlama-lama memandang dan tersadar ketika kondektur menyenggolnya meminta ongkos. Terlalu banyak kebetulan di dunia ini, ia yakin bahwa kebetulan juga yang membawanya kembali bertemu Winar dua minggu kemudian, di dalam bus kota yang sama, suasana yang sama, angin yang sama. Kali ini ketika mata mereka bersitatap, ia tersenyum. Gadis itu membalas. Terbayang Monalisa di dinding kamarnya. Saat penumpang di sebelah gadis itu turun ia memanfaatkan situasi. Duduk bersebelahan. Deretan puisi cinta yang dihafalnya mulai mendesak-desak. Tapi ia memutuskan ini bukan saat yang tepat kecuali ingin dianggap sebagai orang aneh. Jadi ia cuma bilang:

"Kau seperti Monalisa."

"Da Vinci?"

Gadis itu tersenyum penuh rahasia. Lalu menambahkan di akhir senyumnya.

"Da Vinci membuat orang bertanya-tanya apa arti senyuman Monalisa..."

"Tapi ia cantik, kan?"

"Monalisa tak hanya memiliki kecantikan perempuan, entah kenapa Da Vinci menambahkan garis maskulin di wajahnya."

Ia angkat bahu. Untuk sebuah perkenalan, perbincangan ini lumayanlah.

"Aku Angin"

"Namamu aneh. Winar."

Dentang jam beker yang dipasangnya untuk pukul delapan tepat berdering nyaring. Ia nyaris terlonjak sebelum akhirnya menyumpahserapahi jam beker warna perak di atas lemari es. Merapikan sisa sarapan seadanya, lalu bergegas menyambar handuk. Beberapa detik kemudian terdengar teriakannya membaca puisi keras-keras di kamar mandi.

*

Winar turun di depan sebuah gereja kuno. Ia menarik jaket kulit di pergelangan untuk melihat jam tangan. Pukul delapan. Masih ada satu jam lagi dari waktu yang disepakati. Gerimis sudah berhenti. Ia memutuskan menunggu di bangku taman gereja itu. Ia tahu Angin akan tiba-tiba muncul seperti biasanya. Di manapun mereka sepakat bertemu, Angin akan muncul dari sudut yang tak disangkanya. Winar mengitarkan pandang ke seputar halaman gereja, menduga-duga kelak dari mana Angin akan muncul. Ia tak akan menghubungi ponsel Angin sekarang. Ia penyuka kejutan. Ia tak pernah tahu kejutan kali ini tak akan seperti biasanya. Winar bersenandung. Like an angel you came to me and now I see - the stranger in me is finally free to feel true love**.

*

Ia membutuhkan lima menit untuk mandi. Termasuk di dalamnya memikirkan kalimat selanjutnya dari tulisan yang tengah digarap tadi. Separuh pikirannya yang lain melayang pada Winar yang mungkin saja telah tiba di tempat yang dijanjikannya untuk bertemu. Ia selalu datang lebih awal. Betapapun betina itu mengesalkanku, sh*t, aku mencintainya! Ia menutup pintu kamar mandi dengan satu bantingan keras. Betapa aku mencintainya! Dan betapa ia begitu skeptis terhadap penulis!

Monalisa itu, suatu senja mengusik kedamaian di antara mereka. Hanya sesaat setelah suratkabar yang memuat tulisan Angin dilempar pengantar koran di halaman rumahnya.

"Kau mencintaiku, kan?"

Ia mengangguk. Tak mengerti mengapa pertanyaan itu meluncur dari bibir Winar.

"Berhenti menulis."

Dua kata yang dirasakannya seperti sambaran petir di siang bolong.

"Alasan?"

"Mereka dekat dengan kebiasaan buruk. Merokok, minum, tak kenal waktu, tak kenal ruang. Hidup di wilayah abu-abu. Kadang berbahaya."

"Tak semua."

Winar menyebut nama penulis-penulis penyabet award, yang merokok, minum, bergaul demikian bebas bahkan ketika sedang diwawancara televisi, ada juga yang melepas jilbab setelah jadi penulis. Ada yang dibunuh. Dibuang ke pulau terasing.

"Kau suka lukisan. Artinya kau penikmat seni. Aku tak mengerti. Menulis juga seni, Winar, hanya menyatakan diri dalam kalimat-kalimat dan imaginasi, bukan warna dan garis seperti lukisan. Lagipula tak semua penulis seperti kau kata itu"

"Aku memaksamu."

"Apa yang tak mungkin tak bisa dipaksa."

Ia menggumam sambil berpakaian. Kelebatan peristiwa seperti itu selalu membuatnya kehilangan ide di tengah-tengah menulis. Persetan dengan Winar! Betina itu tak akan membuatku berhenti menulis. Ia merancang kata-kata dalam menit yang tersisa. Ia mampu menemukan sesuatu yang tepat, biasanya, dalam keadaan mendesak. Seperti malam itu ketika artikel dan gambar-gambar bertebaran di kaki kursinya. Kepalanya pening sekali, sebotol bir sudah tandas ke perutnya. Ia memejamkan mata, membayangkan semua yang ada di sekitarnya. Lalu seperti kaleidoskop, peristiwa berlaluan di kepalanya membawanya pada satu penemuan penting yang sangat mengejutkan. Lalu seperti kesetanan ia mengurutkan artikel-artikel, gambar-gambar. Tertawa keras dan puas sebelum jemarinya menggila di atas keyboard. Pagi hari berikutnya di surat kabar nasional terungkaplah jaringan penjualan gadis-gadis ke luar negeri yang melibatkan seseorang, yang sebulan lalu dicopot jabatannya. Ia puas menyaksikan hasil pencariannya selama beberapa bulan. Ia mengatakan pada Winar, ia menulis puisi, cerita-cerita pendek, essay, tapi menulis di wilayah berbahaya membuat adrenalinnya terpacu lebih deras. Puas.



Ia melirik gelas bening di atas meja. Semalam ia memilih kopi daripada bir yang dibawa dan ditawarkan oleh kawan-kawannya. Gelas bening bergaris merah pemberian Winar. Untuk mengganti botol bir, katanya. Ah, Winar sedang menunggu. Hanya butuh tujuh menit untuk sampai di gereja kuno itu. Ia menyambar kunci sepeda motor dan setengah berlari menuju pintu.

*

Winar masih bersenandung. Burung gereja bercicit-cicit di lubang angin. Hawa pagi setelah gerimis begitu segar. Bau rumput. Winar menghirup dalam-dalam seolah ia tak akan menghirupnya lagi esok hari. Ia selalu takut kehilangan waktu-waktu penting dalam hidupnya.

Pukul sembilan kurang tujuh menit..Dari arah mana Angin akan muncul? Ia telah mengenalnya setahun ini. Ia mencintainya. Ia mencoba memahami kepuasan Angin meskipun khawatir telah salah mencintai orang yang hidup dengan kebiasaan begadang berteman komputer, rokok dan bir, dan menulis sesuatu yang bisa saja kelak membahayakan dirinya. Okey lah, aku tak akan menyinggung apapun tentang menulis hari ini.

*
Pegangan pintu baru saja ditariknya. Ia terdorong ke belakang.

*
Winar melihat jam tangan. From heaven I knew you were born. On the wings of love you were brought to me. I've been longing for truth, journeyed so far to be with you**

*

Sebuah kekuatan lain di luar pintu mendorong masuk. Dan satu detik berikutnya pintu kembali tertutup rapat. Kilatan itu menghentikan arus pikirannya pada Winar.

*

Pukul sembilan tiga puluh menit. Ponsel Winar berdering. Dalam gelisah ia membuka pesan. Setengah hari kemudian, orang-orang menemukannya masih duduk di sana memandang matahari yang sedang memasuki gerbang pulang.


** )Penggalan lagu Like An Angel, Yngwie Malmsteen


published on Alis

Minggu, 12 Oktober 2008

SAJAK-SAJAK KEPADA SESOSOK SEPI

sajak 1

subuh ini aku telah menjejak dasar palung
tempat kau letakkan hatimu di tengah cangkang
mutiara
setelah semalaman
aku menyelam

tapi matahari terlalu lekas menembus
;aku sobek di dada
melayanglayang
di antara dasar dan permukaan
bingung sekali ruh ini!



sajak 2

jangan berkata apapun
terkadang sepi lebih baik
bahkan dari suara tarikan nafas atau getar handphone
cukup kita duduk dalam diam
kuletakkan jantungku di dadamu
(ia masih berdetak!)
menggeser palangpalang besi
di pintu nurani

jangan berkata apapun
sebab katakata sejam yang lalu
telah menjadi belati

terkadang sepi lebih baik
bahkan dari detak jantung kita sendiri



sajak 3

bekas kukumu merajah lingkar leher waktu
tapi aku enggan dengan cekikan
pada akhirnya!



sajak 4

seperti apa rasa matahari terbenam
aku tak pernah bertanya. tapi lembut lidahmu
menari di rongga mulutku
; ini
belum usai kucatat. sungguh!



sajak 5

matahari terbenam
maka kita mencicip rasanya
dalam saus keringat dan airmata
kepenatan
setelah sepanjang hari
melompat
bergelantungan di sambungan gerbong kereta
melihat waktu. bergesekan
dan menelan gemuruh iblis dari dasar sadar

matahari terbenam
seperti maumu sejak pagi; biar kita tak bergelandang
melompat gerbonggerbong kereta di stasiun

matahari terbenam
tapi kita terlanjur menjadi gelandangan
tak pernah menemukan rumah



sajak 6

biarkan angin itu
melewati helaian rambutmu
seperti gerak lambat peluru
suatu waktu ia tiba di titik ini
; memecah cermin dan bayanganku