Rabu, 18 Juni 2008

Untuk Jengkerik dan Ilalang

SEORANG LELAKI DAN GITAR

bagaimana suara denting itu kemudian disebut nada?


aku mendengarkan. teringat peristiwa
dan suarasuara yang terekam jauh di bawah sadar
tentang masa kecil, ruangan bercat biru
dan Wind of Change

maka ketika aku berkenalan dengan denting gitarmu
di tubuh malam penat dan ringkik stasiun
terlempar. seperti kulit jeruk dari jendela kereta api
aku merangkak mencari kenanganku
dawaimu menggeletar ingatan. masa kecil

bagaimana suara denting itu kemudian disebut nada?

seperti cambuk yang dilecutkan tepat di pusat otak kanan
yang sedang purapura sibuk merasakan sesuatu
terjaga. setiap kenangan tak pernah benarbenar hilang
engkau telah memilih memetik gitarmu
kemudian melempar jauh
jatuh dalam perigi masa kecilku

bagaimana suara denting itu kemudian disebut nada?
kau dan aku tak ada yang pernah benarbenar tahu




MALAM DI PUSAT KOTA KECIL KITA

kau akan mencibir ; di mana letak pusat kota kecil kita?
gerumbul perdu selalu menyusutkan malam
hingga tak pernah demikian panjang
seperti sebuah pementasan karakter
adegan cepat mengalir. kadangkala tak tertangkap oleh pikiran

lalu kita masingmasing mencari sudut yang masih menyalakan lampu
tak berkeluh sebab peristiwa seharian belum lagi selesai terangkum
dalam puisipuisi janggal tentang kehidupan
yang membangun perbincangan antara kau dan aku

di pusat kota kecil kita-entah dimana- malam hari
aku bersinggungan dengan medan magnet kehidupanmu
dari sudut yang masih ada kerlip. barangkali lampu merah jalan
segerombol orang berbincang. gemeretak kerupuk kulit dan desis
kepedasan. kelontang gelas



aku di lintasan yang sama. pada malammalam lain
mencoba mengulur waktu. sebelum tiba fajar

Minggu, 08 Juni 2008

Untuk Mereka

KOTA


kota. puisi kedua hari ini kutitipkan
pada cahaya.
gemintang tak padam
dalam jingkat langkah mungil
kerjap sudutsudut matanya

kota. puisi kedua hari ini
sisipkan pada celah lembab bibirnya
sudutmu paling lekuk
biar dibacakannya pada malam perayaan
atas cinta. bercecer di aspal
para malaikat turun
memungut air mata

kota. di kelokan itu kemudian ia akan menghilang
setelah menyihir puisiku
menjadi bayang
lesap
seperti para malaikat itu



SUNGAI


sentakkan, sebab sajakku sendat di mata pancingmu
kehidupan menungguku, kawan

ada gerombol ikanikan di pertemuan arus
riak rencana ke perairan dalam yang kelam riuh
planktonplankton.

aku di sini, kabarmu pada malamku
mata pancingmu tersangkut di perairan dalam itu
duhai, puisiku menjadi rakus pada umpan
berebut mencicip kehidupan kalah
di ujung mata pancing
tapi sentakkan, kehidupan masih menungguku
gerombol ikanikan di pertemuan arus
riak rencana baru. kemana mata pancingmu
takkan singgah




GUNUNG


kadang penat. menafsir mata
rangkuman sepersekian detik lalu
curam jalan. pohon kayu putih membiusi
kita masih mendaki di sekian puluh kilometer
mencecerkan peluh

jika kau ajak aku bincang sepanjang jalan
tentang cinta. maka berseberang kita menafsir
kau mulai mengeluh tentang penat
tapi kataku; itu hanya sepersekian penat
yang disodorkan cinta

cinta seperti curam jalan. seperti wangi kayu putih
menguras peluh dan memabukkan. sampai hilang
pertimbangan kemana jika tiba di persimpangan

kugamit lenganmu. bukan kuajari
kita bersisian saja mengukur jalan
membacakan tafsiran masingmasing
tentang cinta yang kau keluhkan, kali ini.



PESISIR


sajak yang tak selesai
putus di garis usia
pertanda telah sampai pada ujung
pengembaraan atas karangkarang mati. malam hari

adalah kabar perahu kertas
sobekan buku harian. saat mencekik kepenatan
berlarilari dalam labirin
perahu kertas tanpa bobot
diperebutkan gelombang dan angin
kemana, tanyamu

; menunggu. sisasisa perahu kertas
kembali ke pesisir. seperti telah dimengerti
sajak yang tak selesai
akan menyelesaikan dirinya sendiri



BUMI


apa yang mungkin dan tak mungkin
kau gumpalkan menjadi bola salju
sejumput musim belahan dunia. satusatu

dalam sebuah bingkai
kau bawa padaku

katamu, bumi adalah tempat semua bertumbuh
saling mengisi. seperti kenangankenangan antara
pecahan yang sungguh lengkap