Kamis, 27 November 2008

Stasiun-stasiun

Keberangkatan

perempuan buta di peron stasiun. menunggu
seperti pesakitan. detik terakhir sebelum peluit
melengking sampai dada; seorang lelaki yang menjanjikan
kornea. demi kenikmatan memandang bumi berlari
ke belakang

di kepalanya bertumbuhan ladangladang
gunung. burungburung putih di atas sawah
kebun strawberi. dan hujan. gelandangan
meminum sisa dari plastik es yang dilempar keluar jendela
dan wajahwajah pengantarnya. di peron

tiga hari yang lalu
"bawa korneaku denganmu, di hari keberangkatan
untuk menebus segala kecintaan yang kubatalkan"

peluit melengking sampai dada. peron beranjak dari rabaannya
terakhir kali

lelaki

yang menjanjikan kornea
berjingkat melintasi ladangladang. di kepalanya.
di hari keberangkatan




Kedatangan


pada kedatangan di tubuh maghrib
macet. suntuk menyambut di stasiun
hirukpikuk. menyumpalkan guguran waktu
antara celah besi rel hitam
dan cericit sms dalam handphone
menghitung waktu mundur

kaleidoskop. gambar dalam otak
ditambah keliar matarasa dari jendela
kereta. dan sepincuk tangis anakanak di gerbong
makan
sampai di mana?

di kedatangan yang paling murung. ujung jarum
jam murung. menulisi ingatan dengan sebait
sajak; waktu jadi gasing. hitungan mundur makin detik
ketika stasiun hilang. cericit dalam handphone
beranakpinak dari keberangkatan yang mencacah
tubuhku di celahcelah besi rel. hingga. semaghrib ini
selasar pintu keluar adalah waktu yang menjadi suam
di dalam hitungan

ku

sampai di mana?

kulipat waktu di dalam saku



The Hardest Part

di kota tanpa pantai. aku masih membaui laut
dari poripori kulit. seperti minyak wangimu
senyawai lindap selimut

itu kerinduan, serbuk laten dari arah
keberangkatan. bertahan
dengan memakan kesepian.

bukan. telah kutinggal di trotoar pada hari sibuk
ketika rasa hirukpikuk. sebelum jarum jam berputar
mabuk. di kota lain. tempat asal
tercium asin. lantas apa?; persetubuhan
kerinduankenangan. melahirkan anakanak yang tak patuh
pada petuah. ribut mendobrak bilik hukuman
(sederhana saja, kata siapa)

maka sejumput liar keringat sendiri . penat dan kuyup
mengayuhkayuh. di pusat kota

kesepian

Sang Parang Jati; A Review To Bilangan Fu



Bilangan Fu
Ayu Utami
KPG, 2008
537 hal




Saya adalah orang yang tak pernah merencanakan judul buku yang hendak saya beli sehingga kegiatan ke toko buku hampir selalu memakan waktu berjam-jam. Kebiasaan yang memang sangat tidak efektif.. he..he.. Tapi akhirnya sore itu saya mengakhiri jelajah saya di sebuah toko buku diskon di Bandung (jangan tanya spesifiknya sebab saya belum terlalu hafal jalan-jalan di kota kembang, sampai ke toko buku itu juga berkat tanya-tanya sama sopir angkot :D), dengan membayar Bilangan Fu di kasir.

Ayu Utami, penulis perempuan peraih Prince Claus Award tahun 2000 (karena dianggap memperluas cakrawala sastra Indonesia) kembali menetaskan sebuah novel bertajuk Bilangan Fu. Cetakan pertama bercover warna coklat keemasan yang tidak terlalu menarik, menurut saya, apalagi jika saya bandingkan dengan beberapa buku Dee dengan cover hitam ekslusifnya (karena saya suka warna hitam?), atau tetap kalah menarik juga jika dibandingkan dengan Recto Verso -buku terbaru Dee- yang bercover warna hijau cerah.

Dalam 537 halaman, novel ini pada awalnya berkisah tentang dan dari sudut pandang seorang pemanjat tebing bernama Yuda. Ia memiliki pertanyaan kabur tentang sebuah bilangan, yang jawabannya selalu dibisikkan oleh sosok dalam mimpi-mimpi intimnya , sebagai bilangan Fu. Pada suatu ketika, Yuda bertemu dengan Parang Jati, pemuda berjari dua belas yang kelak menjadi sahabat yang mengubah jalan hidup dan agamanya dalam pemanjatan tebing. Sejak pertemuan Yuda dan Parang Jati, sentral novel ini beralih ke kehidupan Parang Jati. Parang Jati bayi ditemukan di sebuah mataair, kemudian diangkat anak oleh guru kebatinan dan dididik untuk menanggung segala sesuatu. Parang Jati menjelma pemuda kritis yang tidak mengukur apa yang metaforis secara matematis, dan tidak yang spiritual secara rasional. Ia pejuang pelestarian alam, dan menggagas pemanjatan bersih kepada kelompok Yuda, sebagai wujud penghormatan terhadap alam. Menurut iman kritisnya, alam banyak memberi tanda kepada manusia. Iman kritisnya membuat ia seolah mencampuradukkan agama, berada di antara Tuhan dan Nyi Roro Kidul, sebagai bilangan Hu, bilangan satu yang juga nol. Hal ini ditentang oleh Farisi, adiknya yang sama-sama ditemukan di mataair.

Serangkaian kejadian aneh dan berbau mistis, seperti orang bangkit dari kubur (pada akhir cerita, akhirnya ketahuan kalo mayat mereka ternyata dicuri sebagai pemenuhan syarat menuntut ilmu hitam), penampakan tuyul dan makhluk-makhluk aneh, teror pembunuhan dukun santet, ninja, isu aliran sesat mewarnai perjuangan Parang Jati menyelamatkan alam. Melibatkan pula militer yang akhirnya membuka jalan kematian bagi Parang Jati.

Di sisi lain, ada Marja, gadis kekasih Yuda yang digambarkan bertubuh kuda teji dan bersenyum matahari. Ia adalah 'manusia' di antara Yuda yang 'setan' dan Parang Jati yang 'malaikat'. Terjadilah sebuah kisah cinta segitiga yang dimengerti oleh mereka bertiga tanpa membutuhkan pengungkapan dengan kata-kata.

Seberapa menarik novel ini? Ayu Utami dengan kepiawaiannya meramu flasback dan memasukkan sejarah-dongeng menjadikan Bilangan Fu tidak membosankan untuk dibaca, sebab kita dibawa meloncat dari satu masa ke masa yang lain, dari kejadian sejarah-dongeng semacam Sangkuriang dan Siung Wanara hingga sejarah kontemporer yang berlatar waktu seputar reformasi. Penulis ini menggunakan simbol dan gambar-gambar untuk memperkuat penggambaran dalam novelnya. Dalam beberapa tempat gambar-gambar itu terasa mengganggu – kalo gak mau disebut merusak- imajinasi pembacanya, namun dalam beberapa tempat memang terasa diperlukan, misal dalam penggambaran tokoh pewayangan dan pohon silsilah dari Babad Tanah Jawi. Ayu Utami pun membuat simbol dan gambar itu lebih 'santai' hingga menjadi jenaka, seperti kejenakaan yang juga muncul dalam celetukan-celetukan sepanjang novel. Tapi Ayu Utami, sama halnya dengan kekhasan Saman dan Larung, memasukkan banyak kata berunsur seks sangat kental. Mereka yang pernah membaca Ayu Utami tentu tidak kaget lagi dengan perumpamaan-perumpamaannya tentang organ reproduksi pria dan wanita. Begitulah :D.

Saya nukilkan dari cover belakang sbb:
'Ia menamai novelnya 'spiritualisme kritis' yaitu yang mengangkat wacana spiritual -keagamaan kebatinan maupun mistik ke dalam kerangka yang menghormatinya sekaligus bersikap kritis kepadanya, yang mengangkat wacana keberimanan tanpa terjebak dalam dakwah hitam putih.'

Lalu bilangan apakah Fu, yang selalu menghantui Yuda? Ia sayup-sayup menyingkap dirinya di antara kejadian, di antara kisah Parang Jati sang Hu, di antara semua itu pokoknyalah...he..he.. biar gak penasaran baca aja sendiri. By the way, hari itu saya cukup puas membawa pulang Bilangan Fu setelah tak mendapatkan referensi Photoshop yang saya butuhkan. Namun sebab kegiatan ke toko buku yang tidak pernah efektif itu, saya jadi kehabisan waktu, rencananya mau ke BEC liat-liat T650, katanya lagi turun harga. Hikz. Gak jadi deh.



Inside the book :

Hu adalah bilangan sunyi. Hu adalah dimana satu dan nol menjadi padu. Sebab ia bukan bilangan matematis, melainkan metaforis. Dia bukan bilangan rasional, melainkan spiritual.
(hal 304)


...bahwa alam, seperti Tuhan, bersifat pasti. Reduksinya: ilmu, seperti agama, bersifat pasti. Yakni, bisa diturunkan ke dalam dalil-dalil yang bersifat pasti pula. Inilah sikap yang dirumuskan Parang Jati sebagai 'memaksakan kerangka matematis kepada yang metaforis, memaksakan kerangka rasional kepada yang spiritual'
(hal 353)


Aku. Tiba-tiba yang kuinginkan adalah menringkus anak nakal itu di sana, membentangkannya, dan membiarkan Parang Jati memuaskan gemasnya ke tubuh kucing liar yang akan mencakar-cakar punggungnya hingga berdarah.

Pada detik seharusnya aku melakukannya, aku tidak melakukannya. Aku takut kehilangan sesuatu. Jika itu terjadi, akankah hubungan kami tetap sama lagi?

Momen pertama telah dilewatkan.

Tapi Marja masih berbaring memasang di sana.

Dan Parang Jati masih mematung.

Aku tahu pada masing-masing kami telah ada embun yang membasahi kain.
(hal 430)


Seandainya Marja ada di sini, akan kukatakapadanya bahwa kita berdua adalah dua atom yang mengikatkan diri dalam sebuah molekul zat asam. Kita bahagia. Tapi sebuah atom yang sendiri bernama Parang Jati tiba-tiba datang melekat. Dan kita menjadi sebuah molekul dengan tiga atom. Kita menjelma Ozon yang bahagia.

Jika aku adalah bilangan satu, Marja bilangan nol, Parang Jati adalah bilangan Hu.

Tapi seperti Ozon. Atom yang sendiri itu- yang tiba-tiba menyusup mengikatkan diri kepada sepasang atom O yang hidup bahagia dan menjelma entitas ketiga – tidakkah dia sebelumnya memiliki pasangan juga? Kemana pasangannya itu?

Angin bertiup dari belakang. Dari arah bukit batu.

Suatu pengetahuan dalam diriku, seolah dari sel-sel asam darahku, bagaikan menjawab pertanyaan itu. Bilangan itu bernama Fu.

Fu adalah dengan siapa Hu sebelumnya mengikatkan diri, sebelum radiasi memisahkan mereka.
(hal 523-524)