subuh ini aku telah menjejak dasar palung
tempat kau letakkan hatimu di tengah cangkang
mutiara
setelah semalaman
aku menyelam
tapi matahari terlalu lekas menembus
;aku sobek di dada
melayanglayang
di antara dasar dan permukaan
bingung sekali ruh ini!
sajak 2
jangan berkata apapun
terkadang sepi lebih baik
bahkan dari suara tarikan nafas atau getar handphone
cukup kita duduk dalam diam
kuletakkan jantungku di dadamu
(ia masih berdetak!)
menggeser palangpalang besi
di pintu nurani
jangan berkata apapun
sebab katakata sejam yang lalu
telah menjadi belati
terkadang sepi lebih baik
bahkan dari detak jantung kita sendiri
sajak 3
bekas kukumu merajah lingkar leher waktu
tapi aku enggan dengan cekikan
pada akhirnya!
sajak 4
seperti apa rasa matahari terbenam
aku tak pernah bertanya. tapi lembut lidahmu
menari di rongga mulutku
; ini
belum usai kucatat. sungguh!
sajak 5
matahari terbenam
maka kita mencicip rasanya
dalam saus keringat dan airmata
kepenatan
setelah sepanjang hari
melompat
bergelantungan di sambungan gerbong kereta
melihat waktu. bergesekan
dan menelan gemuruh iblis dari dasar sadar
matahari terbenam
seperti maumu sejak pagi; biar kita tak bergelandang
melompat gerbonggerbong kereta di stasiun
matahari terbenam
tapi kita terlanjur menjadi gelandangan
tak pernah menemukan rumah
sajak 6
biarkan angin itu
melewati helaian rambutmu
seperti gerak lambat peluru
suatu waktu ia tiba di titik ini
; memecah cermin dan bayanganku
1 komentar:
: dan puisiku adalah lidah yang menjadi api.
Di gua guamu lah seringkali kutemukan artefak dari tubuh yang menyulam lupa menjadi serentetan pekik kerinduan.
Tujuhpuluhtujuh jumlahny , kuhitung dengan kepicikan mengelabuhi sumber ingatan.
Diam hardikku panik, jangan terus terus memelukku dari belakang.
Kau dan tubuhmu terlalu jahat untuk menanamkan rindu.. . . . .
Posting Komentar