Sabtu, 05 Januari 2008

My Sacrifice

Pemakaman Senja Pantai 2


; sudut ruang dan waktu yang salah

Setiap senja, lanskap pantai ini tetap begini
Sampansampan nelayan menantang surut matahari
ditinggalkan pemiliknya
Sisa amis yang melekat di sampan dihamburkan angin
sampai ke deretan bangunan di pinggir pantai
yang berdiri remang seolah menyimpan rahasia
merambat diseret angin makin ke utara
melintas ladangladang, hinggap di bebunga melon

Hingga sampai ke jajaran anthurium muka rumahmu

Hampir setiap senja,aroma yang hinggap di jajaran anthurium itu
menjarum ingatanku
Kata orang, ingatan memang tajam seperti jarum
Aku hanya tahu,pantai ini selalu menebar amis ikanikan mati
bangkai ikanikan kecil setengah terkubur di pasirpasir
yang sungguh heran tak pernah kita keluhkan
padahal sudah seribu petang kita baca dan kita salin
ke dalam lembaran buku harian ungu

Hingga lembaran terakhir yang kita tikaikan, hari ini

Seorang kawan menunggu, apa akhir yang akan dicatat
dalam lembar terakhir itu; petang yang berangin
ombak pasang menghanyutkan rumahrumahan pasir
Sampansampan amsal patung seperti biasanya
amis yang khas, perasaan yang mengeras batu, egoisme, kekalutan

Atau biarkan saja ia kosong?

Kata orang, kekosongan bisa diisi apa saja
Kekosongan adalah sebentuk ruang tenang tempat berlindung
dari keriuhan pikiran
tempat menyamakan kemauan tubuh dengan kebijakan hati
Tempat memberangus pemberontakan yang tersulut
mendinginkan angan yang terlanjur terbakar
kekosongan yang mungkin sanggup membelokkan cinta dari selasar yang salah
(kekosongan yang setengah mati aku usahakan!)

Tapi kau mau menuliskan versimu sendiri dalam buku harian ungu kita, kan?

Seorang kawan bertanya; mengapa mesti menyalin petang yang sama
pantai yang sama angan yang sama hasrat yang sama luka yang sama
ke dalam dua akhir yang berbeda?
Jika segala rasanya sama mengapa dipaksa berbeda?
Jika pucuk dedaun anthurium itu samasama menusuk, mengapa bersikeras
menanamnya di dalam hati?

Tidak semua pertanyaan akan terjawab, kataku
Maka suatu senja yang lain, kuperlihatkan lanskap pantai ini padanya
Amis yang sama tetap bercerita, rumahrumah semi permanen
dalam keremangan juga berbincang.
Ladangladang, bebunga melon
Kubiarkan ia mengikuti angin membawa aroma ikanikan mati

Sampai juga pada jajaran anthurium muka rumahmu

Masingmasing yang dilintasi angin membacakan versinya sendirisendiri
beberapa mengerti dan beberapa tak mengerti mengapa kita bertikai
untuk satu lembaran ungu yang tersisa
Padahal sejatinya kesamaan itu penuh, luka itu menggores sama dalam
Kawan itu menegaskan pula; bahasa mata adalah kejujuran yang terpancar
dari lubuk terdalam hati
Jangan pernah berbohong, sebab akan terlihat sangat jelas dalam pancaran mata
Katanya ia membaca badai yang sama di palung mata kita

Jangan berbohong, jangan memunafiki diri, jangan mengingkari pancaran mata

Hampir setiap senja, aku membelokkan arus ingatan pada halhal menyenangkan
Jauh ke utara, meninggalkan selatan yang badai
meninggalkan lembaran terakhir buku harian ungu kita
kuserahkan utuh biar petang di pantai ini menuruti jemarimu menyalinnya
mengemas kenanganmu sendiri, versimu sendiri

Aku menyerah

Aku menyerah membacai sampansampan yang masih tetap akan di sana
sampai tahuntahun mendatang
mungkin aroma amis ikanikan pun tetap akan terbawa angin
terseret terus semakin jauh ke utara, ribuan kali melintasi ladangladang
hinggap di bebunga melon

Sampai ke jajaran anthurium muka rumahmu, yang lelah menyaksi
pertikaian hati

Kata orang, ingatan adalah penyimpan rasa sakit
Aku hanya tahu, tak ada yang mampu mengelak dari ingatan
Tapi aku tidak menulis puisi nelangsa walaupun pertanyaan tetap bergaung
Semudah itu menyalin sebuah senja terakhir berakhir
di pantai tempat kita pernah mimpi membangun rumah kecil
di tepiannya?

Cinta tak hidup sebatas usia percintaan
Ia bertahan melintas generasi, menyaksikan
Kelak dermaga dibangun di pantai ini menggusur rumahrumah
Aspal mungkin melenyapkan ladangladang
Bangunanbangunan megah didirikan
Aroma tajam ikanikan mati tak lagi terhirup, sampansampan itu enyah
Meniupkan aroma kehidupan baru tanpa namaku pernah tertulis
Dalam kenanganmu

Kuserahkan padamu catatan pada buku harian ungu itu
Kukembalikan padamu sisa mimpi yang tak sempat jadi kenyataan

Hampir setiap senja, aku masih juga bertengkar dengan ingatan
Entah kapan, makam kecilku akan sunyi dengan nisan tegak di atasnya

makam hati setengah selesai, akhir tahun 2007

Tidak ada komentar: