Jumat, 31 Agustus 2007

Mendung Di Langit

Aku memandang teriknya Yogya dari dalam taksi. Sebentar-sebentar lampu merah. Ada anak kecil ngamen, bibir kering dan kakinya dekil. Pagar-pagar tembok, jembatan dan pintu ruko-ruko penuh coretan. Bus kota berseliweran berebut penumpang. Aku pulang dengan segenap aliran darahku membuncah rindu. Untuk sebuah perkawinan. Sebuah kata yang membuat Julie, sahabatku di Melbourne, tertawa mencemooh.

Get married? You?” Aku mengangguk.

“Bilang donk sama keluargamu perempuan bisa hidup tanpa bergantung lelaki. Pendidikanmu tinggi, masa depanmu terjamin, di sini kau kuliah, hampir kerja dan tinggal di apartemen mewah. Apalagi?” Julie menghisap dalam-dalam rokoknya. “Meilani, man can be bought...and you're still so young.”

Tapi itu keyakinanmu, Julie. Tahukah kau bahwa kebudayaan di kota kelahiranku menolak pendapatmu itu? Usiaku 29. Mama bilang aku sudah perawan tua. Tante wanti-wanti agar aku segera menikah sebelum usiaku kepala tiga. Aku tertawa saja.

From Indonesia?” Julie menjatuhkan tubuh tipisnya di atas sofa biru di apartemenku. Menyambar remote control televisi sambil menatapku ingin tahu ketika aku baru saja menerima telepon dari mama. Membelakangi pantai samudera sebelah selatan Australia yang tampak kabur di kejauhan, di apartemenku di lantai 24, aku ceritakan pada Julie semuanya, bahwa keluargaku dan keluarga Dimas sudah matang merencanakan pernikahan kami. Alasannya, aku semakin tua. Dan yang lepas dari bibir kecoklatan Julie adalah cemoohannya itu.

Julie gadis bebas, paling tidak itu yang kuketahui selama setahun ini bertetangga dengannya. Pintu apartemen kami yang berhadapan memungkinkan aku tahu siapa saja yang pernah masuk apartemen Julie, khususnya laki-laki. Usia Julie tak beda denganku. Wajahnya kekanak-kanakan. Soal perkawinan dia bilang, I’ll never marry someone. Lelaki tidak pernah mencintai perempuan, they just play a game.


Aku baru tahu rupanya Julie pernah dikecewakan. Beberapa tahun yang lalu,lelaki itu menawarkan musim bunga pada Julie, membawakan bertangkai-tangkai mawar ke apartemennya, menemaninya belanja di Queen Victoria Market, duduk mengagumi pemandangan fantastik jantung kota Melbourne dengan Rialto Towernya, mengajaknya makan malam romantis di atas feri yang melaju di atas Yarra River.

“Kami kejar-kejaran seperti anak kecil dalam trem...” Julie tersenyum mengenang. “Tapi ibunya tidak menyukaiku.” Ia memindah channel televisi

“Hmm...”

“Ibunya akan berhenti mengirim biaya kuliah jika ia masih denganku”.

Julie menghembuskan asap rokok ke udara. Aku beranjak meraih Cola dari refrigerator. Julie berceloteh lagi

“Padahal uang dari ibunya tidak pernah cukup. I sold my apartment for paying his tuition fee. Dia makan malam di apartemenku dan aku yang sering bayar laundry pakaiannya....”

You loved him so much...”

“Ya, dulu aku bukan penganut free sex. Sama seperti kamu, and I was still virgin at that night. His mother never know that. Dipikirnya aku sering tidur dengan bermacam laki-laki.”

“Dan?” aku berusaha antusias dengan cerita Julie. Sebab Julie tak pernah cerita ini sebelumnya, perbincangan kami biasanya berkisar tentang tempat-tempat belanja dan fashion.

As you see. He has canged me”. Julie menerawang, ada kesakitan di sayu matanya. Mungkin bajingan benar laki-laki itu.

“Lalu kau merokok, minum, dan bercinta dengan siapapun yang kau sukai, seperti callgirl eh?” Julie menatapku tajam, lalu luruh lagi.

“Aku bukan pelacur, Mei.”

“Di negaraku itu sama saja dengan pelacur, Julie sayang.”

“Terserah katamu. Aku benci orang Indonesia.” Remote control ditekannya dengan gemas. Televisi padam. Julie menyambar Cola yang kusediakan di meja.

Why? I'm Indonesian ,Julie...” Dia malah tertawa.

He is Indonesian too..” Kau pengecualian, Mei. Jadi bagaimana denganmu, jadi juga kau akan kawin?” ejeknya. Manis aku tersenyum

I have decided it.”

“Semoga suamimu orang baik.”

Julie menutup pintu. Kudengar senandungnya di luar.


Dalam taksi aku tersenyum sendiri. Sebuah cerita manis untuk Dimas sebagai kado perkawinan kami. Tak sabar rasanya aku sampai di rumah. Aku akan mengusulkan honeymoon ke negeri Julie saja. Makan malam di atas Yarra River seperti kata Julie, kejar-kejaran dalam trem...

Hei, itu Dimas di beranda rumah dengan seluruh keluarga.

“Maaf ya hun, aku gak bisa jemput di airport. How's everything with you?” Aku mencibir, mentang-mentang pernah kuliah di luar negeri nih, di rumah pake bahasa Inggris segala. Dia mencubit pipiku. Kami berpelukan.

epilog

Perkawinan yang bahagia. Aku kembali ke Melbourne menyelesaikan pasca sarjanaku, meskipun Dimas tak bisa menemaniku. Tak apalah. Dimas sedang menyiapkan masa depan yang cerah untuk kami berdua. Toh ada Julie di sini. Tapi ternyata dia juga kemudian harus pindah ke Perth karena tuntutan pekerjaan. Aku membantunya mengepak barang-barang ke kotak.

“Tolong berkas-berkas di meja rias itu , Mei. Aku berterimakasih sekali atas bantuanmu Sayang.”

Aku mengikat kardus kuat-kuat dan menghampiri meja rias. Setumpuk berkas berdebu, rekening telepon, nota belanja Queen Victoria, nota laundry, tisu-tisu kusut, kartu-kartu ucapan natal dan setumpuk foto yang telah saling melekat satu sama lain karena tak disimpan di album. Ada satu yang masih tampak jelas. Dan kepalaku mendadak pusing. Aku jatuh terduduk.

Are you okey, Mei?” Julie menghampiriku. “Berkas-berkas ini sudah terlalu berdebu, kau mungkin terganggu ya? Biar aku saja...”

Mataku nanar. Debu tak membuatku pusing, Julie. Julie memandang foto di tanganku. Tatapan kami kemudian bertemu, saling membaca. Julie terbelalak. Berkas-berkas jatuh berserak di lantai.

Di luar, mendung bergayut di langit. Mungkin akan ada badai.


*

Watulunyu, saat hujan, entah kapan sebab waktu sedang tersesat
(Untuk seseorang: seperti sebuah bangunan, kadang kita perlu membuka pintu dan mengajak seseorang memasuki ruang-ruang, membagi kisah dan ornamen hari-hari kita)

Tidak ada komentar: