
“...Aku menunggumu. Bahkan sampai mata berlumut dan tubuh mengeras batu. Aku menunggu. Sentuhan dan rabaan tangan yang ajaib itu...”2
Aku berhenti menyapukan cat di kanvas. Diam kupandang Nan. Seperti biasa matanya bicara bahasa yang hanya bisa dimengerti hati. Hubunganku dengan dia memang hanya hubungan hati dalam makna sebenarnya. Persentuhan fisik sepertinya bukan sesuatu yang penting buat Nan. Tanpa persentuhan ia memang telah mampu menyentuh hatiku. Nan pernah bilang cinta tingkat tinggi kadang tidak membutuhkan sebuah pertemuan fisik. Seperti kata Jalaluddin Rumi dalam syair-syairnya.
“Tapi Rumi bersyair lebih menuju Tuhan, Nan”
Waktu itu Nan hanya tersenyum penuh arti dan menggenggam tanganku, sebelah tangannya memegang buku puisi.
“Seandainya aku bisa bilang betapa aku mencintaimu. Tapi kalau aku bilang aku cinta kau pasti kau tertawakan aku. Pasti kau bilang ‘apa tidak ada kalimat lain yang lebih indah?’”
Nan mengecup tanganku. Aku tersenyum. Tertawa kecil dan kembali menyapukan cat menyelesaikan pulasan terakhir pada langit dalam lukisanku.
*
Hidup ini memang pelik. Di sebelahku Era bermain dengan pikirannya sendiri sembari menggenggam tanganku. Bagaimana mungkin aku hendak tak peduli padanya? Mungkin aku bukan orang baik. Menit-menit yang kulalui bersama Era rasanya seperti membaca Supernova3. Meledakkan emosi dan mempermainkan imaji liar.
Era berbeda dengan Nan. Suatu kali pernah kuajak ia menonton pementasan puisi yang membacakan karya-karya Afrizal Malna. Sudah kusiapkan tiket namun sengaja bukan mengajak Nan sebab aku mau suasana baru.
“Aku gak ngerti, Afrizal Malna tu siapa? Bagaimana aku bisa nonton?”
Suatu kali pula, saat senggang aku memberikan padanya bacaan ringan dari salah satu seri Chicken Soup. Tahu apa reaksinya?
“Kau ini, kenapa kau suruh aku baca buku masakan?”
Begitulah. Tapi kau menemukan dunia yang berbeda, yang dengan Nan tak pernah bisa kudapatkan. Apa aku terdengar rendah jika kukatakan ini adalah dunia persentuhan fisik? (Aku sempat malu mengakuinya!). Tapi aku seolah mendapatkan sedikit pembelaan saat aku selesai dengan lembaran terakhir Larung4. Digambarkan bahkan seorang pastor pun akhirnya, sebab kemanusiaannya, melakukan apa yang baginya terlarang.
Era membawaku pada sebuah dunia yang – mungkin – hedonis. Dunia penuh kesenangan yang menolak berpikir. Dan aku dengan mudahnya ikut terjebak di sana. Nan akan butuh waktu dan kata-kata yang tepat untuk bilang bahwa ia mencintai aku, tapi Era tidak membutuhkan apapun untuk menyekap bibirku dalam suatu ciuman tergesa. Selalu tergesa, tapi kusukai. Apalagi jika gerimis turun, betapa indah sebuah ciuman di bawah rintik air.
Dan, aku jatuh cinta. Dengan begitu mudahnya.
*
Mungkin aku memang bukan orang baik. Dengan Nan dahagaku akan dunia yang kucintai terpuaskan. Batinku kaya dengan pengalaman-pengalaman dan jiwaku mendapatkan supply energi untuk menikmati hidup. Nan adalah belahan yang sepertinya disediakan Tuhan untukku. Dengannya aku bisa berbincang tentang apapun, mulai membahas komik Doraemon sampai mengapresiasi Rendra, dari mulai mengomentari artikel di majalah sampai berdiskusi soal trafiking. Nan juga pasangan yang kompak untuk duduk menonton pementasan-pementasan puisi dan teater, penikmat sastra sepertiku.
Nan sempurna. Untuk batinku. Nan sangat sempurna memuaskan keliaran pikiranku, menampung semua yang bahkan tak terkatakan.
Tapi mungkin sebab aku bukan orang baik. Nan yang dingin dan alpa membaca naluriku membuatku memasukkan Era ke sisi hidupku yang lain, membuatku menginginkan Era. Yang lugas dan terus terang, sentuhan-sentuhannya membuatku mendamba. Pengakuan yang mungkin akan membuat muak orang lain. Tapi bukankah itu salah satu dari ghara’iz manusia? Kehilangan satu naluri ini membuat manusia bukan lagi manusia. Ah, mendadak aku sok agamis.
Tapi Era bukan teman untuk bicara. Bincang dengannya membuat aliran ideku serasa tersumbat. Saling tak mengerti dunia masing-masing. Bincang dengannya pasti akan berhenti pada satu titik, kebekuan.
Kemudian, suatu sore, saat cuaca yang aneh mengubah warna pohon akasia langsing di depan rumah menjadi keunguan, suasana menjadi ganjil dan tak dikehendaki ketika Nan dan Era muncul di teras rumah. Tiba-tiba kecemasan bertebaran di udara.
“Kau tentukanlah pilihanmu!” Era mulai meneriakiku sementara Nan mencengkeram bahuku dan memaksaku menatapnya.
“Hatimu pasti membawamu padaku. Kau perempuan padang lalangku.” Mata Nan yang biasanya lembut tiba-tiba terasa sangat memisauku.
Era mendorong Nan.
“Ia tak akan datang padaku jika kau urus baik-baik perempuan padang lalangmu ini!”
“Sudah!” aku berteriak. Berlari masuk dan kubanting pintu.
Di balik pintu waktu berlalu lambat, seperti neraka yang tak pernah berakhir. Lalu bagaimana mungkin aku memilih? Aku membutuhkan keduanya dalam hidupku. Aku membutuhkan Nan bagi jiwaku, sekaligus juga membutuhkan Era untuk ragaku. Seperti Chairil membutuhkan Mirat untuk gejolak jiwanya, untuk inspirasi puisi-puisinya, tapi juga setia mengunjungi Siti yang buta huruf dan tak mengerti sajak, di gubuk pinggir rel kereta5. Seperti banyak hal di dunia ini yang saling tak bisa dilepaskan satu sama lain. Jadi jangan pernah salahkan jika keputusan untuk memilih itu, bahkan tak kupertimbangkan.
Watulunyu, Mei 2007
1) Sebuah puisi Warih Wisatsana
2) Cuplikan puisi Perempuan Padang Lalang, Warih Wisatsana
3) Novel Dewi Lestari
4) Novel Ayu Utami, setelah Saman
5) Aku, Syumandjaya
(published on Lontar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar