September mengingatkanku tentang sebuah hari sebelum pertengahan bulan. Hei, aku sedang sakit. Sakit dada. Sakit jantung. Sakit ingatan. Ingatan tentang hari sebelum pertengahan bulan telah menambah gemetar dan keranyas di persendian. Kau mau membuat aku sekarat? Aku sudah dalam kesekaratan tingkat menengah beberapa bulan terakhir ini. Seperti kanker, jika tak segera ditangani stadiumku akan meningkat dengan cepat apalagi ditunjang gaya hidup tidak sehat yang sudah kujalani sejak hidupku menjadi semakin tidak teratur. Tak ada yang membangunkanku dengan telepon di pagi hari, tak ada yang mengingatkanku untuk makan dan menyuruhku mandi. Aku yang sejak semula sudah memiliki bakat hidup tidak teratur bagai memperoleh angin neraka; hidupku kacau balau. Waktu simpang siur. Jadwal tumpang tindih sehingga makan dan mandi menjadi prioritas kesekian. Hidupku berlari di antara program-program komputer, lelaki-lelaki minus status (dalam kehidupanku), dan jadwal-jadwal kegiatan sastra yang lebih sering tak sempat kuhadiri lagi. Hidup memaksa untuk memiliki sebuah pilihan. Dan aku memaksa untuk mengambil paling tidak dua pilihan sebab tak mungkin mengambil semua pilihan yang disediakan.
Sebuah hari sebelum pertengahan bulan September membawaku memasuki sebuah lorong waktu. Ada aku. Ada dia yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan bulan itu di dalam dokumen-dokumen pribadinya. Dan ada kejadian-kejadian yang terekam dalam memori otak. Senja, pagi, malam. Seribu petualangan di alam, seribu percumbuan di bawah rembulan. Juga seribu pertengkaran yang terjadi di dalam batin, antara aku dan diriku, juga pertengkaran sunyi antara dia dan dirinya sendiri, terkait dengan seribu petualangan dan seribu percumbuan itu. Sebab karenanya seribu larangan telah dilanggar, seribu norma telah diabaikan, dan seribu perjanjian pernah dibuat. Pernah dibuat. Tetapi tak ada realisasi. Seperti sebuah mimpi yang adalah bunga tidur; angan-angan pernah dilepas dan diulur tinggi, lalu angin memberat dan makin memberat, memutus apa yang terulur tinggi itu.
Hei, aku sedang sakit. Aku ingin membaringkan tubuhku di ruang yang tenang dan tak ada cahaya yang menyilaukan. Aku ingin mengeluarkan semua suara bising yang berpusar, berkejar dan membelit-belit itu. Semua suara yang mengingatkan aku; alarm tentang sesuatu di sebuah hari sebelum pertengahan bulan September. Aku ingin beranjak dan mematikan alarm itu (rasanya aku sudah mematikannya sejak bulan Agustus). Tetapi hari ini alarm itu berdentang keras memekak di jantungku. Padahal jantungku sedang sakit. Dadaku sedang sakit. Dan ingatanku sedang sakit. Maka aku tambah sakit. Detak jantungku semakin cepat , dadaku panas. Ingatanku mau meledak. Aku telah menyediakan sebaskom es untuk mengompres. Aku mengompres sendirian. Kubasahi sapu tangan dari salah satu lelaki-ku, kuperas lalu kutempelkan di dadaku. Alarm itu tidak mati-mati. Ada bunyi sirine yang terus menerus di kepalaku.
Aku tersiksa. Sungguh tersiksa.
Aku meraba-raba dinding. Mencari tombol untuk mematikan suara itu. Tetapi tanganku tak menjangkau apa-apa. Aku sedang sakit. Aku tidak sanggup menemukan di bagian mana dalam otakku alarm itu terletak. Dia yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan bulan September bagaikan ideologi laten yang bersembunyi di dalam kepalaku. Tidak hilang. Ada. Dan muncul pada saat paling lemahku, paling sepiku, paling sendiriku dan paling sedihku. Dulu, ia yang pertama muncul dalam kepala di saat sedang bahagiaku. Tetapi beberapa bulan ini aku me-reset semua sehingga bukan dia yang muncul di kepala pada saat-saat bahagiaku. Bukan dia, bukan siapa-siapa. Aku membiarkannya kosong saja. Aku sudah tak perlu lagi membagi segala bahagiaku kepadanya sebab tak bakal ia peduli. Cerita- cerita kehidupanku hanya akan jadi angin lalu saja di telinganya. Melintas dan hilang. Orang-orang hanya peduli pada siapa yang mengambil peran besar di dalam hati dan kehidupan. Aku tidak mengambil peran yang besar, aku tidak memiliki ruang yang disediakan olehnya di dalam hati dan kehidupan, maka tahu dirilah jalan satu-satunya. Tahu diri adalah pilihan yang sulit. Tahu diri juga dapat berarti harus merelakan sesuatu. Tahu diri juga dapat berarti mundur, dan kehilangan kesempatan.
Ia sudah jarang muncul di kepala saat aku sedang bahagia. Tetapi masalah lain, ia justru sangat sering muncul saat aku sedang sedih. Ia adalah point kesedihan. Ia adalah momentum dimana aku tak sanggup mengatasi segala macam yang kurasakan dan kualami, dia adalah momentum hilangnya kontrol atas diriku sendiri. Dan, sekarang, mendekati hari-hari pertengahan September aku serasa dikekang dalam ruangan beton tanpa celah. Ruangan yang terbangun dari campuran kesedihan dan kenangan, kesakitan, kegagalan, keterpurukan. Selalu saja perasaan gagal dan terpuruk mengikuti segala bentuk ingatan tentang dia yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan bulan September. Gagal. Dan terpuruk. Betapa tidak nyamannya perasaan itu
Hei, kau, kau yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan September, kenapa tak membiarkan aku duduk tenang dan tidur nyenyak? Aku masih berputar-putar dalam labirin sementara waktuku sudah habis. Aku masih berputar-putar mencari jalan untuk pergi dari sini. Ruangan ini galau, pucat, perih. Hei, kau, aku hanya ingin merasakan tempatmu yang tenang, tidurmu yang lelap dan mimpimu yang indah. Kau pasti bisa tertawa lepas sebab tak ada lagi yang merecoki hidupmu, tak ada lagi yang merecoki makanan di piringmu, tak ada lagi yang mengganggumu dengan sms-sms atau telepon di waktu-waktu istirahatmu. Kau pasti juga menghapus namaku dari daftar orang-orang yang pantas kau ajak bicara. Kau sudah terbebas. Tak merasa perlu untuk sekedar menyapaku atau bertanya apa kabar. Kau, yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan September, kau memang tak perlu menyapa. Aku menghalangi diriku sendiri untuk mengenalmu lagi. Aku membuat halang rintang di depanku jika itu adalah tentang mengaksesmu, segala informasi atau jalan yang mengarah kepada dirimu. Aku telah dengan kesadaran dan keinginanku sendiri menutup semua celah itu.
Benarkah aku dapat melakukannya?
Di pagi hari, aku masih terbangun dengan resah setelah tidur malam yang selalu terlalu larut dan mendekati dinihari. Aku masih menatap hari dengan nanar. Aku masih diganggu denging dan suara beep di kepalaku yang mengingatkanku tentang dia yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan September. Aku masih diganggu bunyi beep di latar belakang dalam hari-hariku yang sangat padat. Aku masih diingatkan akan sebuah hari sebelum pertengahan September. Alarm sialan itu seperti tak mau patuh dengan perintah berhenti yang kuteriakkan hingga suaraku parau.
Aku memang sudah tak bernama. Tak terekam. Tak memiliki sesuatu yang patut diingat. Maka biarkan aku. Biarkan aku sembuh dan dapat berlari mengejar apa yang jadi impian. Biarkan aku sembuh dan kembali normal, detak jantungku normal, dadaku tidak sakit, ingatanku selalu mengingat yang bahagia. Aku sudah memberi terlalu banyak, aku ingin berhenti memberi. Memberi cinta. Memberi kasih. Aku mau membanting alarm itu seandainya kutemukan dimana letaknya. Aku akan membiarkannya jatuh berkeping-keping dan mati. Benar-benar mati. Segala yang mengingatkanku tentang dia hanya membawaku pada muara yang sama. Aku tambah sakit. Bertumpuk-tumpuk. Maka aku tak ingin mengenalnya. Tidak. Itu sangat menyakitkan. Itu berat. Itu juga menakutkan. Takut aku tak lebih kuat dari sekarang.
Hei, aku menutup telingaku dengan bantal. Aku membenam kuat-kuat di tempat tidur. Aku tak mau mendengar suara beep selirih apapun. Aku tak mau mengingat! Aku mau tepat di sebuah hari sebelum pertengahan September aku telah menemukan letak alarm sialan itu dan membuangnya jauh-jauh ke jalan raya, biar dilindas mobil-mobil yang lewat. Sampai remuk. Sampai lumat. Tak berbentuk. Seperti yang terjadi pada jantungku beberapa bulan yang lalu, dan masih menyisakan nganga yang menetes darah. Perih, tahu!
Sebuah hari sebelum pertengahan bulan September membawaku memasuki sebuah lorong waktu. Ada aku. Ada dia yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan bulan itu di dalam dokumen-dokumen pribadinya. Dan ada kejadian-kejadian yang terekam dalam memori otak. Senja, pagi, malam. Seribu petualangan di alam, seribu percumbuan di bawah rembulan. Juga seribu pertengkaran yang terjadi di dalam batin, antara aku dan diriku, juga pertengkaran sunyi antara dia dan dirinya sendiri, terkait dengan seribu petualangan dan seribu percumbuan itu. Sebab karenanya seribu larangan telah dilanggar, seribu norma telah diabaikan, dan seribu perjanjian pernah dibuat. Pernah dibuat. Tetapi tak ada realisasi. Seperti sebuah mimpi yang adalah bunga tidur; angan-angan pernah dilepas dan diulur tinggi, lalu angin memberat dan makin memberat, memutus apa yang terulur tinggi itu.
Hei, aku sedang sakit. Aku ingin membaringkan tubuhku di ruang yang tenang dan tak ada cahaya yang menyilaukan. Aku ingin mengeluarkan semua suara bising yang berpusar, berkejar dan membelit-belit itu. Semua suara yang mengingatkan aku; alarm tentang sesuatu di sebuah hari sebelum pertengahan bulan September. Aku ingin beranjak dan mematikan alarm itu (rasanya aku sudah mematikannya sejak bulan Agustus). Tetapi hari ini alarm itu berdentang keras memekak di jantungku. Padahal jantungku sedang sakit. Dadaku sedang sakit. Dan ingatanku sedang sakit. Maka aku tambah sakit. Detak jantungku semakin cepat , dadaku panas. Ingatanku mau meledak. Aku telah menyediakan sebaskom es untuk mengompres. Aku mengompres sendirian. Kubasahi sapu tangan dari salah satu lelaki-ku, kuperas lalu kutempelkan di dadaku. Alarm itu tidak mati-mati. Ada bunyi sirine yang terus menerus di kepalaku.
Aku tersiksa. Sungguh tersiksa.
Aku meraba-raba dinding. Mencari tombol untuk mematikan suara itu. Tetapi tanganku tak menjangkau apa-apa. Aku sedang sakit. Aku tidak sanggup menemukan di bagian mana dalam otakku alarm itu terletak. Dia yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan bulan September bagaikan ideologi laten yang bersembunyi di dalam kepalaku. Tidak hilang. Ada. Dan muncul pada saat paling lemahku, paling sepiku, paling sendiriku dan paling sedihku. Dulu, ia yang pertama muncul dalam kepala di saat sedang bahagiaku. Tetapi beberapa bulan ini aku me-reset semua sehingga bukan dia yang muncul di kepala pada saat-saat bahagiaku. Bukan dia, bukan siapa-siapa. Aku membiarkannya kosong saja. Aku sudah tak perlu lagi membagi segala bahagiaku kepadanya sebab tak bakal ia peduli. Cerita- cerita kehidupanku hanya akan jadi angin lalu saja di telinganya. Melintas dan hilang. Orang-orang hanya peduli pada siapa yang mengambil peran besar di dalam hati dan kehidupan. Aku tidak mengambil peran yang besar, aku tidak memiliki ruang yang disediakan olehnya di dalam hati dan kehidupan, maka tahu dirilah jalan satu-satunya. Tahu diri adalah pilihan yang sulit. Tahu diri juga dapat berarti harus merelakan sesuatu. Tahu diri juga dapat berarti mundur, dan kehilangan kesempatan.
Ia sudah jarang muncul di kepala saat aku sedang bahagia. Tetapi masalah lain, ia justru sangat sering muncul saat aku sedang sedih. Ia adalah point kesedihan. Ia adalah momentum dimana aku tak sanggup mengatasi segala macam yang kurasakan dan kualami, dia adalah momentum hilangnya kontrol atas diriku sendiri. Dan, sekarang, mendekati hari-hari pertengahan September aku serasa dikekang dalam ruangan beton tanpa celah. Ruangan yang terbangun dari campuran kesedihan dan kenangan, kesakitan, kegagalan, keterpurukan. Selalu saja perasaan gagal dan terpuruk mengikuti segala bentuk ingatan tentang dia yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan bulan September. Gagal. Dan terpuruk. Betapa tidak nyamannya perasaan itu
Hei, kau, kau yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan September, kenapa tak membiarkan aku duduk tenang dan tidur nyenyak? Aku masih berputar-putar dalam labirin sementara waktuku sudah habis. Aku masih berputar-putar mencari jalan untuk pergi dari sini. Ruangan ini galau, pucat, perih. Hei, kau, aku hanya ingin merasakan tempatmu yang tenang, tidurmu yang lelap dan mimpimu yang indah. Kau pasti bisa tertawa lepas sebab tak ada lagi yang merecoki hidupmu, tak ada lagi yang merecoki makanan di piringmu, tak ada lagi yang mengganggumu dengan sms-sms atau telepon di waktu-waktu istirahatmu. Kau pasti juga menghapus namaku dari daftar orang-orang yang pantas kau ajak bicara. Kau sudah terbebas. Tak merasa perlu untuk sekedar menyapaku atau bertanya apa kabar. Kau, yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan September, kau memang tak perlu menyapa. Aku menghalangi diriku sendiri untuk mengenalmu lagi. Aku membuat halang rintang di depanku jika itu adalah tentang mengaksesmu, segala informasi atau jalan yang mengarah kepada dirimu. Aku telah dengan kesadaran dan keinginanku sendiri menutup semua celah itu.
Benarkah aku dapat melakukannya?
Di pagi hari, aku masih terbangun dengan resah setelah tidur malam yang selalu terlalu larut dan mendekati dinihari. Aku masih menatap hari dengan nanar. Aku masih diganggu denging dan suara beep di kepalaku yang mengingatkanku tentang dia yang memiliki sebuah hari sebelum pertengahan September. Aku masih diganggu bunyi beep di latar belakang dalam hari-hariku yang sangat padat. Aku masih diingatkan akan sebuah hari sebelum pertengahan September. Alarm sialan itu seperti tak mau patuh dengan perintah berhenti yang kuteriakkan hingga suaraku parau.
Aku memang sudah tak bernama. Tak terekam. Tak memiliki sesuatu yang patut diingat. Maka biarkan aku. Biarkan aku sembuh dan dapat berlari mengejar apa yang jadi impian. Biarkan aku sembuh dan kembali normal, detak jantungku normal, dadaku tidak sakit, ingatanku selalu mengingat yang bahagia. Aku sudah memberi terlalu banyak, aku ingin berhenti memberi. Memberi cinta. Memberi kasih. Aku mau membanting alarm itu seandainya kutemukan dimana letaknya. Aku akan membiarkannya jatuh berkeping-keping dan mati. Benar-benar mati. Segala yang mengingatkanku tentang dia hanya membawaku pada muara yang sama. Aku tambah sakit. Bertumpuk-tumpuk. Maka aku tak ingin mengenalnya. Tidak. Itu sangat menyakitkan. Itu berat. Itu juga menakutkan. Takut aku tak lebih kuat dari sekarang.
Hei, aku menutup telingaku dengan bantal. Aku membenam kuat-kuat di tempat tidur. Aku tak mau mendengar suara beep selirih apapun. Aku tak mau mengingat! Aku mau tepat di sebuah hari sebelum pertengahan September aku telah menemukan letak alarm sialan itu dan membuangnya jauh-jauh ke jalan raya, biar dilindas mobil-mobil yang lewat. Sampai remuk. Sampai lumat. Tak berbentuk. Seperti yang terjadi pada jantungku beberapa bulan yang lalu, dan masih menyisakan nganga yang menetes darah. Perih, tahu!
(seperti yang dikisahkan pelan-pelan kepadaku, waktu demi waktu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar