Rabu, 30 September 2009

Perempuan Yang Bercerita Tentang Seseorang Yang Dipanggilnya D (3)

It's the first thing you see as you open your eyes. The last thing you say as your saying goodbye. Something inside you is crying and driving you on…(Something Inside)


Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat di depan mata kepalaku sendiri , cinta dengan hebat telah mengubah kehidupan seseorang. Perubahan itu bukanlah terjadi semata pada apa yang dapat dilihat oleh indera, terkadang perubahan yang terjadi malah sama sekali tak dapat diindera oleh orang lain. Dan bersamaan dengan itu, untuk pertama kalinya pula dalam hidupku, aku menghabiskan malam dengan seorang perempuan. Bukan, bukan, jangan berpikiran negatif. Aku dan dia tidak melakukan apa-apa pada malam itu. Dan tak perlu bertanya siapa perempuan yang kumaksud. Aku telah dua kali bercerita tentangnya. Perempuan yang sama telah merebut sebuah sisi dari hatiku untuk peduli, untuk menaruh perhatian pada apa yang dilakukannya hari demi hari.

Memang, kami menjadi dekat sejak pertemuan kami yang kedua. Perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D itu masih tetap bercerita tentang orang yang sama dalam berbagai kesempatan. Pun pada malam yang panjang itu, ketika ia berbaring meringkuk di sofa warnet berbagi dengan dudukku, pada pukul setengah tiga pagi. Ia berkisah dalam gumam. Ia berkisah tentang warnet pada awalnya. Tetapi dapat ditebak kemana kisahnya akan berujung. D. Yang seolah melekat di otak dan tak dapat dia lepaskan. Aku hampir-hampir tak mampu menahan kesabaranku untuk bertanya siapa sebenarnya seorang yang dipanggilnya D itu. Seberapa hebatnyakah dia, seberapa sempurna, sampai seorang perempuan harus memilih jalan seperti yang ia tempuh. Tapi aku menahan diri tak bertanya sampai ia selesai berkisah. Dan ia tertidur. Lalu dalam igauan yang parah pada pukul setengah lima subuh, aku mendapatkannya. Aku mendapatkan sebuah nama yang lalu kucatat dalam ingatanku.

Pukul setengah tiga dinihari itu kami memutuskan menghabiskan sisa malam di warnet. Ia telah kusarankan pulang ke rumah kostnya, tetapi ditolaknya dengan berbagai alasan. Maka di sanalah kami berakhir hingga matahari mulai menampakkan diri, menuntaskan satu paket akses internet selama lima jam. Sebelumnya, kami menjelajah kota sejak lepas isya. Bermula dari sebuah balasan yang kukirim atas smsnya yang bertanya apa rencanaku malam itu.

Tak ad ide mw kmn. Tp ak mw kluar mlm ni. Bgadang x.

Ajak ak. How bout ke alun2 kota?

Utara or selatan?

Both. Pick me up.

Aku menjemputnya pada pukul tujuh malam. Ia membiarkan rambutnya tergerai. Basah. Tentunya habis mandi. Malam itu dia mengenakan t-shirt hitam yang makin membentuk siluet kurus tubuhnya. Wajahnya hampir selalu tampak pucat. Ia jarang berbedak. Ketika aku tiba, ia sudah berdiri di muka teras rumah kosnya. Bergegas menyambar jaket. Lalu sesaat kemudian kami sudah berkendara di jalan raya. Malam itu terang meskipun bulan hanya separuh. Ia mengajakku makan di warung lesehan yang terkenal dengan sambal mentahnya yang enak. Ia makan seperti orang yang benar-benar kelaparan.

“Aku sering lupa makan. Jadi sekalinya makan biasanya langsung kemaruk.” Ia tertawa. Aku tersenyum dan bilang aku suka melihatnya makan seperti itu. Sesungguhnya aku suka karena saat itu aku melihatnya tertawa tanpa beban. Lepas makan, aku mengarahkan sepeda motor ke alun-alun utara kota. Musim liburan begini, alun-alun utara yang pada hari biasa saja sudah selalu ramai semakin terlihat sesak malam itu. Di beberapa sudut terlihat orang berkumpul. Melihat baju-baju yang dijual pedagang di satu pojok, atau melihat penjual kembang api dan mainan-mainan berdemonstrasi di sudut yang lain. Ada pertunjukan kesenian rakyat malam itu, di sebuah kerumunan yang lain. Tanpa bermusyawarah, kami langsung tahu tujuan kami. Perempuan seperti dia, sedikit banyak aku telah mengenalnya, lebih menyukai kesenian rakyat ketimbang berburu baju-baju yang dijual di sana. (Aku mengetahuinya sebab ia sering sekali mengungkapkannya keinginannya untuk berkunjung ke bangunan-bangunan semacam keraton atau pemandian putri dan selir-selir. Suatu hari aku akan memuaskan keinginannya itu.)

Ia duduk diam di boncengan sepeda motorku. Pukul sepuluh malam kesenian itu usai dan kami masih tetap di sana. Rupanya para penjual kembang api telah kelarisan. Malam itu kami melihat puluhan kembang api dibakar dan berpijaran di angkasa, di atas alun-alun utara kota. Ada binar kesenangan seperti di mata anak-anak saat aku mendapati ia menatap ke angkasa yang berpendaran. Entah siapa yang memulai, kami bergenggaman tangan di bawah pijaran kembang-kembang api itu. Seperti sebuah adegan dalam drama Korea. Orang masih ramai di sana, membakar kembang-kembang api yang lain saat pada sebelas malam ia mengajakku berpindah. Sepasang muda-mudi berpelukan dan berciuman tepat di depan mata membuatnya tak nyaman. Ia bergumam bahwa di kota ini kebebasan sudah mencapai titik yang harus diperhatikan. Tak mau membuatnya lebih jengah, aku membawanya meninggalkan alun-alun utara.

Alun-alun Selatan kota. Ternyata tengah malam di sana lebih ramai. Setelah memarkir sepeda motor, ia menyeretku ke sebuah sudut dan kami duduk bersisian.

“Siapa yang kau harapkan ada bersamamu saat ini?” Ia bertanya. Aku tiba-tiba teringat kekasihku. Lalu aku menyebutkan namanya. Ia mengangguk-angguk.

“Kau tak menanyaiku?” . Ia bertanya lagi. Tangannya memilin-milin bunga rumput yang basah oleh embun yang mulai turun.

“Aku tak mau bertanya untuk mendapatkan jawaban yang sudah kuketahui.”

Sejurus ia terdiam. Matanya memandang orang-orang, sepasang kekasih, ayah dan anak, siapa saja yang melintas di depan kami mengayuh sepeda tandem sewaan di dalam alun-alun sambil tertawa-tawa. Ternyata diamnya berlanjut. Ia malah terlihat melamun. Akhirnya aku memecahkannya, kebisuan itu.

“Mengapa kau kesulitan melupakannya?”

“Aku sendiri heran. Aku berpikir aku sudah melupakannya. Kau ingat kan kejadian yang kuceritakan itu?”. Ya. Aku mengingatnya. Ia meneleponku hanya untuk menceritakan bahwa ia bermimpi tentang seorang yang dipanggilnya D dan dalam mimpi itu ada hal yang membuatnya sedih kemudian menangis. Ia tiba-tiba terbangun ketika merasa wajahnya basah. Ia bermimpi, ia menangis dalam mimpi itu, dan yang terjadi pada saat itu dalam tidurnya, air matanya benar-benar mengalir. Ia terjaga dengan heran sebab tak pernah ia mengalami hal itu sebelumnya. Sepanjang hari itu pun ia tak memikirkan apa-apa tentang seorang dalam mimpinya, dan telah beberapa minggu ia sanggup tak menangis. Ia menekannya, ia selalu mengalihkannya pada hal lain jika kesedihan itu mendatanginya. Tetapi air matanya mencari jalan sendiri. Dalam tidur lelap dan bermimpi, air matanya membebaskan diri.

Cinta banyak membawa keajaiban. Permusuhan dapat dilerai, orang dapat berubah menjadi lebih baik atau malah sebaliknya, dunia dapat berubah, arah angin dapat dibelokkan. Ajaib sekali ada hal-hal terjadi di luar jangkauan pikiran kita. Ajaib sekali cintaku pada kekasihku telah membawaku sejauh ini, menemukan sosok perempuan kalut di pantai itu, mendengarnya bercerita juga tentang cinta, melihatnya demikian bahagia namun juga demikian tersiksa mengalami cinta, aku kemudian memahami bahwa aku pun berubah menjadi lebih kuat dan tegar karena cinta, cinta pada dia yang lebih dulu meninggalkanku dari dunia.

Kami bergeser ke tengah alun-alun Selatan ketika jam telah menunjuk pukul satu malam. Masih banyak orang di sana, mencoba-coba kemampuan melintas tepat di antara dua pohon beringin besar dengan mata tertutup. Ada kepercayaan setempat bahwa hanya orang terpilih yang mampu melintasinya tanpa berbelok arah. Kami berdiri saja. Melihat sekian banyak orang melangkah ke berbagai arah yang menurut mereka lurus ke depan. Perempuan itu tak mau mencoba. Ia enggan. Akhirnya kami melintas di antara kedua pohon beringin besar itu tanpa penutup mata. Tentu saja kami sukses. Kami bergerak lurus dan berakhir di sebuah warung tenda. Aku memesan segelas jahe susu sementara ia memilih segelas jahe hangat. Saat itu pukul setengah dua dinihari.

“Manis?” Aku sedang mengaduk gelasku saat ia bertanya. Aku menyeruput.

“Ya.”

“Dia suka jahe susu, tapi tak suka yang manis. Tadi, aku hampir saja mengingatkan penjualnya untuk memberi tak banyak gula, lalu aku ingat aku sedang denganmu.” Ia tertawa. Tapi getir. Aku menatapnya. Kadang-kadang, aku iba padanya. Ia cantik. Ia menarik. Ia cerdas dan bekerja di sebuah bidang yang kebanyakan dipegang kaum adam. Ia satu-satunya perempuan di sana dan mampu menjalani pekerjaan itu. Aku iba karena ia mempunyai banyak pilihan tetapi terjebak di tempat. Tak kemana-mana, tak membuka mata untuk melihat. Malah, ia memilih cara-cara itu. Masih ingat kan tentang konsep cinta sejati yang sudah bergeser itu? Ia memang, kulihat, menikmati kebersamaannya dengan macam-macam orang akhir-akhir ini. Mereka yang membawa cinta semu seperti yang dia bilang dulu. Aku iba, sebab ia sedang merendahkan dirinya sendiri. Aku tahu ia tak melacurkan apa-apa dari raganya, tetapi ia sedang melacurkan harga dirinya!

*

D, siapapun kau, di manapun kau, mungkin kau pun bertanya apakah aku termasuk dalam jajaran cinta yang semu itu. Aku tak tahu apa posisiku dalam kehidupannya. Perempuan yang memanggilmu D itu seolah telah menjadi orang terdekatku. Padanya aku membaca cinta, kesungguhan dan luka. Darinya aku mendapat cahaya untuk menemukan jalan, untuk membuang kesedihanku dan menggantinya dengan harapan-harapan baru akan masa depan. Ajaib. Padahal ia masih jalan di tempat, entah kapan keluar dari masalahnya sendiri. Aku merasa ia demikian dekat, demikian dekat. Kau pun mungkin pernah merasakan ia begitu dekat denganmu, dan sangat dekat.

Tak usah menyangkal. Perempuan itu pernah berkisah pada waktu yang lain, tentang malam kalian melihat purnama di tepian rel kereta api di mana di hadapan membentang persawahan. Mungkin kau lupa, maka aku mengingatkanmu. Saat itu kau berkata padanya bahwa perempuan yang memanggilmu D itu adalah sosok perempuan terdekat denganmu, dalam kehidupanmu, setelah ibumu. Kau mungkin tak tahu ia begitu bahagia saat mengingat itu. Ia bertanya di ujung kebahagiaannya, masihkah tempat itu untuknya ataukah ia telah tergantikan. Aku tak dapat menjawab, D, sebab aku tak tahu. Tapi aku menghiburnya bahwa tempat seseorang di dalam hati tak akan tergantikan oleh orang lain. Seperti ruang maya, hati memiliki jumlah ruang tak berbatas untuk meletakkan setiap orang yang masuk ke ruang-ruang tersendiri tanpa harus menyisihkan seseorang. Mungkin, D, kau masih meletakkannya di hatimu meskipun di sudut yang jauh. Mungkin. Aku tak tahu tentang itu. Tetapi mungkin pula kau berusaha menguncinya di sebuah ruangan yang tak dijangkau. Mungkin kau berusaha menghapusnya dengan menghubungi lagi bekas kekasihmu, membangun kontak dengannya, lalu membangun lagi ruangan baru untuk bekas kekasihmu, demi benar-benar menghapus perempuan yang memanggilmu D.

Ia bilang bahwa ia merasakannya, D. Ia tak tahu darimana ia tahu tetapi ada suara di dalam hatinya.

Sampai di sini, kadang-kadang aku ingin marah. Mengapa ada orang yang mencintai dan tak mendapatkan balasan yang indah dari rasa cintanya? Apa yang telah dilakukannya di masa lalu sehingga alam menghukumnya?

‘Aku bukan orang baik’. Ia selalu berkata begitu.

*

Selesai dengan segelas jahe hangatnya, ia memantik rokok. Semalaman ini, baru saat ini ia memantik rokok.

“Aku pernah mengalami bahagia yang hebat saat dengannya. Aku berterimakasih untuk itu. Bahagia yang paling puncak dibanding bahagia-bahagiaku yang lain. Aku pernah dapat mencintai dengan keseluruhan jiwa ragaku, dengan kesediaan untuk melakukan apapun, dan itu jarang terjadi padaku. Aku berterimakasih aku pernah memiliki rasa cinta yang hebat dan kuat. Meskipun segalanya berakhir tak seperti yang aku kehendaki, aku tetap berterimakasih. Tanpanya, aku tak akan menjadi diriku yang sekarang.”

“Kau benar. Itu yang harus kau lewati.”

“Kadang, aku merasa mendendam.”

“Apa yang kau ingin lakukan saat begitu?”

“Aku tak ingin mengenalnya lagi dan tak berharap berjumpa. Namun jika waktu membiarkanku berjumpa dengannya aku ingin melakukan satu hal.”

“Hm?”

“Menampar hingga bibirnya pecah dan berdarah, untuk semua yang telah kualami dan kurasakan hingga hari ini, meskipun itu tak akan pernah sebanding.”

“Kau sangat membencinya.”

“Kau salah. Aku mencintainya.”

Ia membuang puntung rokok ke jalanan. Digamitnya lenganku. Pukul dua lebih kami meninggalkan area alun-alun selatan yang mulai sepi.

Seperti yang kuceritakan di awal, aku telah menyarankannya pulang ke rumah kost, tapi ia beralasan. Matanya mulai memerah dan ia mulai menggigil. Sepanjang jalan kota kami yang mulai beralih diisi para pedagang yang menuju pasar untuk lebih gasik menggelar dagangannya, dinihari itu, ia memeluk pinggangku. Aku merasakan gigil tubuhnya. Aku menarik lengannya agar lebih mendekap tubuhku, dan kujalankan sepeda motor pelan-pelan.

Di warnet, ia membuka situs jejaring sosial dan membalas beberapa pesan. Lalu meringkuk berbagi sofa dengan dudukku. Aku membuka email sambil mendengar gumamnya, masih tentang D. Sampai ia mengigau parah subuh itu, aku masih duduk menjagai tidurnya, sesekali kupandangi wajahnya yang resah. Aku menyimpan igauan itu darinya. Hanya sebuah nama. Yang kucatat dalam hati. Kelak, aku akan membukanya jika waktunya tiba. Barangkali nama itu adalah D yang selalu diresahkannya atau mungkin orang lain. Perempuan itu meskipun sangat dekat denganku saat ini, ia masih demikian misterius. Kadang, aku tak mengerti mengapa ada orang yang bisa meninggalkan dia. Bukankah kemisteriusan itu adalah daya tarik? Ia hitam, gelap, penuh tanda tanya. Ia telah membuatku merasa ingin masuk lebih jauh untuk mengenalinya dan mengerti alasan pilihan-pilihan yang kadang berada di luar jalur nalarku.

Kami di warnet sampai pagi, menghabiskan satu paket akses internet selama lima jam. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menghabiskan penuh satu malam dengan seorang perempuan, bukan kekasihku, hanya seorang yang pernah kukenal di sebuah pantai, yang menunjukkan padaku kekuatan dan keganasan cinta dalam mengubah kehidupan seseorang.

I’ve been sitting, watching life pass from the sidelines. Been waiting for a dream to seep in through my blinds. I wondered what might happen if I left this all behind. Would the wind be at my back, could I get you off my mind, this time....(This Time)


29 September 2009, 22.56, 26A


(Something Inside & This Time, taken from August Rush OST, all by Jonathan Rhys Meyer )








Tidak ada komentar: