How can I just let you walk away, just let you leave without a trace
When I stand here taking every breath with you
You're the only one who really knew me at all
How can you just walk away from me, when all I can do is watch you leave
Cos we've shared the laughter and the pain, and even shared the tears
You're the only one who really knew me at all
So take a look at me now, 'cos there's just an empty space
And there's nothing left here to remind me, just the memory of your face
Take a look at me now, 'cos there's just an empty space
And you coming back to me is against all odds and that's what I've got to face
I wish I could just make you turn around, turn around and see me cry
There's so much I need to say to you, so many reasons why
You're the only one who really knew me at all
So take a look at me now, 'cos there's just an empty space
And there's nothing left here to remind me, just the memory of your face
Take a look at me now, 'cos there's just an empty space
But to wait for you, well that's all I can do and that's what I've got to face
Take a good look at me now, 'cos I'll still be standing here
And you coming back to me is against all odds
That's the chance I've got to take
Just take a look at me now
(Phil Collins)
You're the only one who really knew me at all
How can you just walk away from me, when all I can do is watch you leave
Cos we've shared the laughter and the pain, and even shared the tears
You're the only one who really knew me at all
So take a look at me now, 'cos there's just an empty space
And there's nothing left here to remind me, just the memory of your face
Take a look at me now, 'cos there's just an empty space
And you coming back to me is against all odds and that's what I've got to face
I wish I could just make you turn around, turn around and see me cry
There's so much I need to say to you, so many reasons why
You're the only one who really knew me at all
So take a look at me now, 'cos there's just an empty space
And there's nothing left here to remind me, just the memory of your face
Take a look at me now, 'cos there's just an empty space
But to wait for you, well that's all I can do and that's what I've got to face
Take a good look at me now, 'cos I'll still be standing here
And you coming back to me is against all odds
That's the chance I've got to take
Just take a look at me now
(Phil Collins)
Perempuan itu bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D. Sudah satu jam aku duduk di atas pasir, di dekatnya, mendengarnya. Saat dia bercerita mendadak lautan seolah bisu. Angin diam. Ombak diam. Bagai melihat sebuah film bisu. Aku merasakan angin, merasakan jilatan ombak di kakiku yang telanjang. Tapi indera pendengarku tak bekerja selain menangkap suara perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D. Suaranya menyihirku. Suara itu terdiri dari nada-nada yang cenderung rendah. Seharusnya timbul tenggelam di antara suara deburan ombak di saat normal.
Perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D, kukenal beberapa saat yang lalu. Aku menyusuri pantai ini untuk mengenang kekasihku, lalu bertemu dengan perempuan itu. Ia sedang berusaha menyalakan pemantik ketika aku lewat di sampingnya. Ia tidak peduli denganku. Ia tidak memandangku. Bahkan matanya menembus tubuhku saat kusengaja berdiri di jurusan pandangnya. Akhirnya kudekati dia. Kuhalangi angin agar dia bisa menyalakan pemantik itu. Ia tidak berkata apa-apa, hanya matanya mengisyaratkan sesuatu semacam terima kasih. Ia membiarkan aku menjatuhkan tubuh di sampingnya.
“Sendirian?” Ah. Aku seharusnya menyapa dia dengan kata-kata yang lain. Tapi dia tersenyum. Dan tidak menjawab pertanyaan bodohku tadi. Bukankah memang sudah jelas dia sendirian?
“Harusnya tadi kau bertanya apa yang sedang ada dalam kepalaku.”
“Memangnya apa yang sedang ada dalam kepalamu?”
“Mau mendengar ceritaku?”
Aku mengisyaratkan tak keberatan. Kenapa tidak, aku juga sedang enggan mengingat kesedihan yang pernah menimpaku di sini. Lalu perempuan itu mulai bercerita. Cerita yang melompat-lompat . Cerita yang akan sulit dimengerti jika ditulis dalam sebuah cerita pendek. Cerita-ceritanya berupa mozaik yang terlepas satu sama lain. Aku menghubungkannya sendiri dengan kemampuanku melihat hal besar dari detail-detail yang kecil.
Perempuan itu menceritakan tentang seseorang yang dipanggilnya D. Perempuan itu tidak memberitahukan siapa seseorang yang dipanggilnya D itu dalam kaitan dengan kehidupan pribadinya. Tapi menilik dari kedalaman ia mengenal seseorang yang dipanggilnya D, aku menarik kesimpulan bahwa seseorang yang dipanggilnya D adalah sosok yang telah sangat ia kenal. Perempuan itu mengerti segala kebiasaan seseorang yang dipanggilnya D, mulai dari makanan dan minuman kegemarannya, buku yang dibacanya, serial yang tak pernah dilewatkannya, selera berbusananya, bahkan tahap-tahap saat ia tertarik untuk bercinta. Perempuan itu menuturkannya seperti seorang guru menyampaikan materi ajar yang sudah dikuasainya bertahun-tahun. Ia hanya jeda untuk mengisap rokok yang terselip di jarinya, atau menyalakannya lagi ketika angin membuatnya padam. Satu dua kepulan asap. Lalu mengalir lagi segala yang seolah sudah disiapkan dan dilatihnya untuk diceritakan padaku. Padahal kami baru saja bertemu.
Dari mozaik-mozaik yang tidak beralur itu aku menangkap kepedihan. Perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D itu kadang tertawa lepas saat sampai pada bagian-bagian lucu, tetapi pada saat yang bersamaan matanya terlihat berkaca-kaca. Aku melihat ada yang bertolak belakang antara mimik yang berusaha dimunculkannya, dengan ekspresi yang tersirat di kedalaman matanya. Ada yang bilang bahwa mata tak bisa menyimpan kebohongan.
Memang, kemudian ia jujur pada mozaik yang terakhir. Ia tengah dirundung kesedihan . Ia telah kehilangan seseorang yang dipanggilnya D, yang diceritakannya itu.
“Apa ia pergi dengan wanita lain?”
“Mungkin.”
“Atau ia membohongimu?”
Ia membuang rokok yang tinggal puntung. Meraba ke dalam tas kecilnya, mengeluarkan kotak rokok lalu menarik sebatang dari dalam sana. Beberapa detik kemudian suara pemantik terdengar berulang-ulang. Aku menghalangi angin dengan telapak tanganku agar pemantiknya menyala.
“Mungkin ia membohongiku. Eh, kau tidak merokok?”
Aku menggeleng. Aku menatapnya memberi isyarat bahwa aku ingin tahu kelanjutan jawabannya.
“Aku merasa dia membohongiku. Itu saja. Tak banyak yang bisa kukatakan.”
Angin terasa bertiup menerbangkan pasir ke wajahku. Tapi aku masih tidak mendengar suara angin ataupun suara laut dan orang-orang yang berkejaran di sana. Suara perempuan itu magis. Maka ketika ia terdiam sejurus lamanya setelah mengucapkan kalimat itu, kehidupan terasa mati di sekelilingku.

Perempuan yang sedang berhenti bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D kini menghembuskan asap rokok ke atas, yang segera tersapu angin pantai yang bertiup cukup kencang. Rokoknya berkali-kali padam sepanjang kami duduk di sana. Lalu seperti tadi, ia memandang kosong ke laut lepas. Kami sama-sama diam. Aku menunggu. Akhirnya suara itu memupus kesepian di sekelilingku.
“Apakah perhatianku membuatnya tidak nyaman? Aku selalu ingin memberi, tidak pernah memperhitungkan berapa banyak. Jika ia menginginkan sesuatu, aku selalu berusaha mendapatkannya untuk dia. Apakah aku bersalah? Mengapa ia dengan mudahnya melakukan itu, setelah kuberikan padanya hampir semua yang kumiliki dan semua yang bisa kuusahakan? Sampai detik aku bercerita padamu ini, aku masih tak sanggup membenci dia. Aku hanya bisa memilih untuk tidak mengenalnya lagi. Tidak sedikitpun. “
Perempuan itu memuntahkan semuanya. Itu adalah bentuk nyata dari bayangan kepedihan yang ditekan di balik sinar matanya. Ia tidak menangis. Tetapi aku melihat tangisan yang mahahebat di balik pancaran sinar matanya. Mungkin ia telah menangis berkali-kali sebelum ini. Ia hanya menghirup udara banyak-banyak untuk memenuhi paru-parunya. Aku tiba-tiba menggenggam tangannya. Perempuan itu tidak menepiskan genggamanku. Aku teringat kekasihku. Kekasihku hanyut di pantai ini hanya sesaat setelah kami memerankan sebuah kisah tentang laut dalam pementasan terakhir teater kami. Setelah itu teater kami bubar. Masing-masing berpencar menjelajah kehidupan nyata dengan membawa sebuah kenangan ganjil yang menyakitkan. Terlebih-lebih aku. Aku terkungkung dalam kesedihan yang tak mampu kuungkapkan. Kesedihan itu bergumpal makin masif menjajah tubuhku. Berkala, aku menghidupkan kekasihku dengan menyusuri pantai ini sendirian.
Aku mencium jemari perempuan yang duduk di sampingku. Terlarut dalam tangisan yang terperangkap di dalam matanya, aku seperti melihat diriku sendiri. Aku mendadak terisak. Air mataku turun. Tuhan, aku ingat belum pernah bisa menangis sejak kehilangan kekasihku.
“Hei, kau menangis?”
Aku menantang pandangan matanya. Ia bertanya dengan tatapan yang aneh.
D, siapapun kau, di manapun kau, aku hanya ingin menuliskan sesuatu setelah pertemuanku yang hanya sekali itu dengan seorang perempuan yang memanggilmu D.
Masa lalu. Ada orang-orang yang ketika diingatkan akan sesuatu yang telah terjadi dan terlipat di dalam waktu, mereka berkata; ah, itu masa lalu. Hei, bukankah seseorang tak akan pernah menjadi dirinya kini jika tidak melewati sesuatu bernama masa lalu itu? Tidak ada yang pernah terbuang percuma di dalam hidup, meskipun ada kejadian-kejadian yang membuatmu merasa membuang waktu. Kenangan. Itu adalah hal lain yang berbanding lurus dengan masa lalu. Kenangan akan membentuk dirimu menjadi manusia yang utuh. Mungkin kau memang akan merasa terperangkap di dalamnya. Mungkin kau pernah berpikir untuk melupakannya, bahkan mengingkarinya, menyangkalnya ketika teman-temanmu mengingatkanmu tentang kenangan itu. Mungkin kau mempunyai seribu satu macam alasan untuk menekannya dalam-dalam. Tetapi, D, kenangan tidak akan pernah mati. Apa yang tak abadi, ia akan abadi dalam kenangan, ia akan abadi bersama waktu. Saat segalanya mati di bumi ini, waktu tidak mati.
Setelah membuang kotak rokoknya yang telah kosong, perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D, menepiskan genggamannya, dan beranjak.
“Aku ingin pulang.”
Aku berdiri. Tepat di hadapannya. Aku menawarkan sebuah pelukan, karena aku sendiri merasa membutuhkan pelukan. Entah mengapa kenangan membuncah-buncah tentang kekasihku saat aku berdiri di hadapannya; seolah-olah kepedihannya mewakili apa yang menggumpal masif di dalam diriku. Ia menyambut pelukanku, dan berbisik.
“Suatu waktu, aku pernah berharap ia akan memelukku seperti ini, sekali saja untuk saat yang terakhir, agar aku bisa melepaskan himpitan yang menyesakkan dadaku. Tetapi tidak. Begitu saja. Maka aku meraba dalam gelap, aku berenang menggapai permukaan tanpa pedoman.”
Lalu aku dan perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D berpisah. Seperti pertemuan kami, laut dan semesta masih diam. Langit diam. Pasir diam. Angin diam. Perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D lebih dulu meninggalkan pantai. Aku melihat lambaian rambutnya untuk yang terakhir kali di tikungan, sedikit terhalang pokok cemara laut yang tumbuh sedang. Lalu aku pulang.
Perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D, kukenal beberapa saat yang lalu. Aku menyusuri pantai ini untuk mengenang kekasihku, lalu bertemu dengan perempuan itu. Ia sedang berusaha menyalakan pemantik ketika aku lewat di sampingnya. Ia tidak peduli denganku. Ia tidak memandangku. Bahkan matanya menembus tubuhku saat kusengaja berdiri di jurusan pandangnya. Akhirnya kudekati dia. Kuhalangi angin agar dia bisa menyalakan pemantik itu. Ia tidak berkata apa-apa, hanya matanya mengisyaratkan sesuatu semacam terima kasih. Ia membiarkan aku menjatuhkan tubuh di sampingnya.
“Sendirian?” Ah. Aku seharusnya menyapa dia dengan kata-kata yang lain. Tapi dia tersenyum. Dan tidak menjawab pertanyaan bodohku tadi. Bukankah memang sudah jelas dia sendirian?
“Harusnya tadi kau bertanya apa yang sedang ada dalam kepalaku.”
“Memangnya apa yang sedang ada dalam kepalamu?”
“Mau mendengar ceritaku?”
Aku mengisyaratkan tak keberatan. Kenapa tidak, aku juga sedang enggan mengingat kesedihan yang pernah menimpaku di sini. Lalu perempuan itu mulai bercerita. Cerita yang melompat-lompat . Cerita yang akan sulit dimengerti jika ditulis dalam sebuah cerita pendek. Cerita-ceritanya berupa mozaik yang terlepas satu sama lain. Aku menghubungkannya sendiri dengan kemampuanku melihat hal besar dari detail-detail yang kecil.
Perempuan itu menceritakan tentang seseorang yang dipanggilnya D. Perempuan itu tidak memberitahukan siapa seseorang yang dipanggilnya D itu dalam kaitan dengan kehidupan pribadinya. Tapi menilik dari kedalaman ia mengenal seseorang yang dipanggilnya D, aku menarik kesimpulan bahwa seseorang yang dipanggilnya D adalah sosok yang telah sangat ia kenal. Perempuan itu mengerti segala kebiasaan seseorang yang dipanggilnya D, mulai dari makanan dan minuman kegemarannya, buku yang dibacanya, serial yang tak pernah dilewatkannya, selera berbusananya, bahkan tahap-tahap saat ia tertarik untuk bercinta. Perempuan itu menuturkannya seperti seorang guru menyampaikan materi ajar yang sudah dikuasainya bertahun-tahun. Ia hanya jeda untuk mengisap rokok yang terselip di jarinya, atau menyalakannya lagi ketika angin membuatnya padam. Satu dua kepulan asap. Lalu mengalir lagi segala yang seolah sudah disiapkan dan dilatihnya untuk diceritakan padaku. Padahal kami baru saja bertemu.
Dari mozaik-mozaik yang tidak beralur itu aku menangkap kepedihan. Perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D itu kadang tertawa lepas saat sampai pada bagian-bagian lucu, tetapi pada saat yang bersamaan matanya terlihat berkaca-kaca. Aku melihat ada yang bertolak belakang antara mimik yang berusaha dimunculkannya, dengan ekspresi yang tersirat di kedalaman matanya. Ada yang bilang bahwa mata tak bisa menyimpan kebohongan.
Memang, kemudian ia jujur pada mozaik yang terakhir. Ia tengah dirundung kesedihan . Ia telah kehilangan seseorang yang dipanggilnya D, yang diceritakannya itu.
“Apa ia pergi dengan wanita lain?”
“Mungkin.”
“Atau ia membohongimu?”
Ia membuang rokok yang tinggal puntung. Meraba ke dalam tas kecilnya, mengeluarkan kotak rokok lalu menarik sebatang dari dalam sana. Beberapa detik kemudian suara pemantik terdengar berulang-ulang. Aku menghalangi angin dengan telapak tanganku agar pemantiknya menyala.
“Mungkin ia membohongiku. Eh, kau tidak merokok?”
Aku menggeleng. Aku menatapnya memberi isyarat bahwa aku ingin tahu kelanjutan jawabannya.
“Aku merasa dia membohongiku. Itu saja. Tak banyak yang bisa kukatakan.”
Angin terasa bertiup menerbangkan pasir ke wajahku. Tapi aku masih tidak mendengar suara angin ataupun suara laut dan orang-orang yang berkejaran di sana. Suara perempuan itu magis. Maka ketika ia terdiam sejurus lamanya setelah mengucapkan kalimat itu, kehidupan terasa mati di sekelilingku.

Perempuan yang sedang berhenti bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D kini menghembuskan asap rokok ke atas, yang segera tersapu angin pantai yang bertiup cukup kencang. Rokoknya berkali-kali padam sepanjang kami duduk di sana. Lalu seperti tadi, ia memandang kosong ke laut lepas. Kami sama-sama diam. Aku menunggu. Akhirnya suara itu memupus kesepian di sekelilingku.
“Apakah perhatianku membuatnya tidak nyaman? Aku selalu ingin memberi, tidak pernah memperhitungkan berapa banyak. Jika ia menginginkan sesuatu, aku selalu berusaha mendapatkannya untuk dia. Apakah aku bersalah? Mengapa ia dengan mudahnya melakukan itu, setelah kuberikan padanya hampir semua yang kumiliki dan semua yang bisa kuusahakan? Sampai detik aku bercerita padamu ini, aku masih tak sanggup membenci dia. Aku hanya bisa memilih untuk tidak mengenalnya lagi. Tidak sedikitpun. “
Perempuan itu memuntahkan semuanya. Itu adalah bentuk nyata dari bayangan kepedihan yang ditekan di balik sinar matanya. Ia tidak menangis. Tetapi aku melihat tangisan yang mahahebat di balik pancaran sinar matanya. Mungkin ia telah menangis berkali-kali sebelum ini. Ia hanya menghirup udara banyak-banyak untuk memenuhi paru-parunya. Aku tiba-tiba menggenggam tangannya. Perempuan itu tidak menepiskan genggamanku. Aku teringat kekasihku. Kekasihku hanyut di pantai ini hanya sesaat setelah kami memerankan sebuah kisah tentang laut dalam pementasan terakhir teater kami. Setelah itu teater kami bubar. Masing-masing berpencar menjelajah kehidupan nyata dengan membawa sebuah kenangan ganjil yang menyakitkan. Terlebih-lebih aku. Aku terkungkung dalam kesedihan yang tak mampu kuungkapkan. Kesedihan itu bergumpal makin masif menjajah tubuhku. Berkala, aku menghidupkan kekasihku dengan menyusuri pantai ini sendirian.
Aku mencium jemari perempuan yang duduk di sampingku. Terlarut dalam tangisan yang terperangkap di dalam matanya, aku seperti melihat diriku sendiri. Aku mendadak terisak. Air mataku turun. Tuhan, aku ingat belum pernah bisa menangis sejak kehilangan kekasihku.
“Hei, kau menangis?”
Aku menantang pandangan matanya. Ia bertanya dengan tatapan yang aneh.
*
D, siapapun kau, di manapun kau, aku hanya ingin menuliskan sesuatu setelah pertemuanku yang hanya sekali itu dengan seorang perempuan yang memanggilmu D.
Masa lalu. Ada orang-orang yang ketika diingatkan akan sesuatu yang telah terjadi dan terlipat di dalam waktu, mereka berkata; ah, itu masa lalu. Hei, bukankah seseorang tak akan pernah menjadi dirinya kini jika tidak melewati sesuatu bernama masa lalu itu? Tidak ada yang pernah terbuang percuma di dalam hidup, meskipun ada kejadian-kejadian yang membuatmu merasa membuang waktu. Kenangan. Itu adalah hal lain yang berbanding lurus dengan masa lalu. Kenangan akan membentuk dirimu menjadi manusia yang utuh. Mungkin kau memang akan merasa terperangkap di dalamnya. Mungkin kau pernah berpikir untuk melupakannya, bahkan mengingkarinya, menyangkalnya ketika teman-temanmu mengingatkanmu tentang kenangan itu. Mungkin kau mempunyai seribu satu macam alasan untuk menekannya dalam-dalam. Tetapi, D, kenangan tidak akan pernah mati. Apa yang tak abadi, ia akan abadi dalam kenangan, ia akan abadi bersama waktu. Saat segalanya mati di bumi ini, waktu tidak mati.
*
Setelah membuang kotak rokoknya yang telah kosong, perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D, menepiskan genggamannya, dan beranjak.
“Aku ingin pulang.”
Aku berdiri. Tepat di hadapannya. Aku menawarkan sebuah pelukan, karena aku sendiri merasa membutuhkan pelukan. Entah mengapa kenangan membuncah-buncah tentang kekasihku saat aku berdiri di hadapannya; seolah-olah kepedihannya mewakili apa yang menggumpal masif di dalam diriku. Ia menyambut pelukanku, dan berbisik.
“Suatu waktu, aku pernah berharap ia akan memelukku seperti ini, sekali saja untuk saat yang terakhir, agar aku bisa melepaskan himpitan yang menyesakkan dadaku. Tetapi tidak. Begitu saja. Maka aku meraba dalam gelap, aku berenang menggapai permukaan tanpa pedoman.”
Lalu aku dan perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D berpisah. Seperti pertemuan kami, laut dan semesta masih diam. Langit diam. Pasir diam. Angin diam. Perempuan yang bercerita tentang seseorang yang dipanggilnya D lebih dulu meninggalkan pantai. Aku melihat lambaian rambutnya untuk yang terakhir kali di tikungan, sedikit terhalang pokok cemara laut yang tumbuh sedang. Lalu aku pulang.
...masih terasing di 709, 13 Agustus 2009